Universitas Gadjah Mada Ikatan Mahasiswa Akuntansi Gadjah Mada
Accounting Students Association of Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • IMAGAMA
      • Brief History
      • Vision, Mission, and Function
      • Values and Culture
      • Board of Director
      • Organizational Structure
    • Bureaus
      • Human Resource
      • Media & Information System
      • Finance & Administration
    • Departments
      • Career Preparation
      • External Affairs
      • Intellectual Development
      • Organizational Affinity and Service
      • Sport, Art, & Society
  • IDE Corner
    • IDE Times (Article)
    • AQUIFER (Facts & Quiz)
    • ISC & Test Bank
    • Inspiring Stories
  • Opportunities
    • Competitions
    • Scholarships
    • Internship & Career
    • Seminar & Trainings
    • Our Events
  • Contact Us
  • Beranda
  • 2018
Arsip:

2018

Critical Audit Matters (CAM) Standar Baru yang Mengubah Laporan Auditor

IDE Times (Accounting Article) Sunday, 2 December 2018

Disusun oleh : Achmad Fauzi,  Nathalie Anin, Erica Lesmana

 

Critical Audit Matters (CAM) merupakan pengungkapan masalah yang timbul dari hasil audit laporan keuangan yang dikomunikasikan atau perlu dikomunikasikan kepada komite audit berkaitan dengan akun atau pengungkapan yang material untuk laporan keuangan serta termasuk penilaian auditor yang menantang, subjektif, dan kompleks.

Kriteria yang dimiliki oleh suatu subjek sehingga dikatakan CAM setidaknya memenuhi 3 kriteria, yakni:

  1. Setiap materi yang muncul dari suatu audit laporan keuangan telah atau sepatutnya dikomunikasikan kepada komite audit.

Menurut AS 1301 “Communications with Audit Committees” hal-hal yang harus dikomunikasikan dengan komite audit adalah:

  1. Memuat risiko signifikan yang teridentifikasi oleh auditor
  2. Materi yang berkaitan dengan kebijakan dan estimasi akuntansi
  3. Transaksi signifikan yang tidak biasa
  4. Hal-hal signifikan lainnya yang mengharuskan auditor untuk mengawasi proses pelaporan laporan keuangan.
  5. Berelasi dengan hal-hal yang material bagi laporan keuangan

Kata “berelasi” memiliki makna bahwa CAM bisa jadi adalah komponen dari suatu akun yang material dan tidak harus berhubungan dengan seluruh laporan keuangan.

Contoh:

  1. Jika nilai goodwill material bagi laporan keuangan, impairment dari goodwill dapat menjadi CAM, meskipun sejatinya tidak ada nilai impairment.
  2. Evaluasi auditor terhadap kemampuan perusahaan secara berkelanjutan dapat menjadi CAM. Meskipun hal ini tidak berkaitan dengan akun manapun, tetapi hal ini memiliki efek yang meluas pada semua akun di laporan keuangan.
  3. Berhubungan dengan penilaian auditor terkait materi yang menantang, subjektif, dan kompleks.

Dalam menentukan apakah suatu hal yang tersebut menantang, subjektif, dan kompleks, auditor harus mempertimbangkan sendiri atau dalam kombinasi, faktor-faktor berikut, serta faktor-faktor lain yang spesifik untuk audit:

  1. Penilaian auditor atas risiko misstatement material, termasuk risiko signifikan;
  2. Tingkat penilaian auditor terkait dengan area dalam laporan keuangan yang melibatkan penerapan penilaian atau estimasi signifikan oleh manajemen, termasuk estimasi dengan ketidakpastian pengukuran yang signifikan;
  3. Sifat dan waktu dari transaksi tidak biasa yang signifikan dan sejauh mana upaya audit terkait dengan transaksi ini;
  4. Tingkat subjektivitas auditor dalam menerapkan prosedur audit untuk mengatasi masalah atau dalam mengevaluasi hasil prosedur tersebut;
  5. Sifat dan tingkat upaya audit yang diperlukan untuk mengatasi masalah, termasuk tingkat keterampilan khusus atau pengetahuan yang diperlukan atau sifat konsultasi di luar tim keterlibatan mengenai masalah ini; dan
  6. Sifat bukti audit yang diperoleh mengenai hal tersebut.

Dalam sebagian besar audit, auditor akan menentukan bahwa setidaknya terdapat satu hal yang termasuk penilaian auditor terkait materi yang menantang, subjektif, atau kompleks

 

Lalu, bagaimana hubungan CAM (Critical Audit Matters) dengan KAM (Key Audit Matters)? KAM adalah hal-hal yang menurut penilaian auditor mencakup porsi yang signifikan dalam laporan audit pada periode tersebut. KAM biasanya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan governance dari suatu perusahaan. Inilah yang membedakan KAM dan CAM dimana CAMs harus berelasi terhadap salah satu disclosure/account yang material dalam sebuah laporan keuangan.

Menurut PCAOSB & IAASB, penetapan CAM atau KAM sepenuhnya bergantung pada judgement dari auditor. Aturan ISA 701 “Communicating Key Audit Matters in the Independent Auditor’s Report” melingkupi framework untuk pengambilan keputusan berdasarkan judgement untuk membantu auditor terkait penentuan KAMs. Di sisi lain, dalam menentukan suatu CAM, auditor berpegang pada prinsip yang tertera dalam AS 1301, “The Auditor’s Report on an Audit of Financial Statements When the Auditor Expresses an Unqualified Opinion” sehinga auditor akan mempertimbangkan faktor-faktor tertentu (sebagaimana ditentukan dalam standar baru), seperti penilaian auditor terhadap materialitas risiko yang ada ketika ada kesalahan dalam laporan keuangan perusahaan, dll.

Kedua hal tersebut sebenarnya memiliki tujuan yang sama yakni meningkatkan relevansi & memberi pandangan yang lebih jelas terhadap pembaca laporan keuangan terkait laporan keuangan perusahaan, terutama bagi para investor.

15 Desember 2020, menjadi tanggal efektif pemberlakuan aturan AS 1301 atau biasa disebut “the new standard”, dimana aturan mengenai CAM telah resmi diimplementasikan & harus ditaati oleh semua perusahaan.

Seperti dikutip dari Martin F. Baumann (PCAOB Chief Auditor and Director of Professional Standards), “Komunikasi CAM dalam laporan audit akan menandai suatu era baru untuk komunikasi auditor-investor, investor akan memiliki pandangan lebih dalam mengenai suatu audit & informasi tersebut dapat menjadi modal dalam pengambilan keputusan yang penting.”

Dengan disahkannya aturan ini, tentu ada pressure tambahan yang harus diemban oleh auditor dalam menentukan & mengkomunikasikan CAM. Pressure tersebut juga diikuti dengan bertambahnya tanggung jawab auditor karena menentukan CAM sepenuhnya berdasarkan judgement auditor. Oleh karena itu, penting bagi para calon auditor untuk memahami konsep dasar CAM agar dapat menghasilkan laporan audit yang lebih representatif kedepannya.

 

Daftar Pustaka

 

Banham, R. (2018). Critical audit matters coming into focus. [online] Journal of Accountancy. Available at:

https://www.journalofaccountancy.com/issues/2018/oct/critical-audit-matters-reporting.html [Accessed 19 Nov. 2018].

 

“Critical Audit Matters: Key Concepts and FAQs for Audit Committees, Investors, and Other Users of Financial Statements,” thecaq.org [Accessed 19 Nov.2018]

Ryan, V. (2018). What Is a Critical Audit Matter? -. [online] CFO. Available at: http://ww2.cfo.com/auditing/2018/07/whats-critical-audit-matter/ [Accessed 19 Nov. 2018].

 

Pcaobus.org. (2018). PCAOB Adopts New Standard to Enhance the Relevance and Usefulness of the Auditor’s Report with Additional Information for Investors. [online] Available at:

https://pcaobus.org/News/Releases/Pages/auditors-report-standard-adoption-6-1-17.aspx [Accessed 19 Nov. 2018].

 

Pcaobus.org. (2018). AS 3101: The Auditor’s Report on an Audit of Financial Statements When the Auditor Expresses an Unqualified Opinion. [online] Available at: https://pcaobus.org/Standards/Auditing/Pages/AS3101.aspx [Accessed 30 Nov. 2018].

 

 

 

Cloud Computing: An Efficient Solution in Accounting Process

IDE Times (Accounting Article) Sunday, 23 September 2018

Persaingan bisnis di zaman modern ini sungguh ketat dan diprediksi akan semakin
ketat di kemudian hari. Oleh karena itu, inovasi adalah hal yang wajib dilakukan oleh
setiap perusahaan salah satunya dengan menerapkan cloud computing. Cloud
computing adalah teknologi yang menjadikan internet sebagai pusat pengelolaan
data dan aplikasi.

Menurut Sage’s “Practice of Now” 83% akuntan mengaku bahwa sekarang klien
mereka berekspektasi lebih terhadap pelayanan mereka dibandingkan dengan lima
tahun yang lalu ( Alexander, A., 2018) . Solusi yang dapat diterapkan untuk
meningkatkan pelayanan ini adalah dengan memperbaharui teknologi yang
digunakan, salah satunya dengan menggunakan cloud computing. Klien juga dapat
mengakses beberapa informasi yang memang diizinkan oleh perusahaan. Hal ini
menunjukkan peningkatan transparansi perusahaan terhadap klien. Perusahaan
dapat memberikan informasi secara real time dan akurat kepada klien, sehingga
perusahaan dapat menjangkau klien yang lebih banyak lagi.

Dengan adanya cloud computing, karyawan dimungkinkan untuk mengakses
data-data perusahaan dimana saja. Hal ini memungkinkan perusahaan menerapkan
sistem bring your own device (BYOD). Dengan sistem ini, karyawan menggunakan
perangkat keras mereka sendiri untuk melakukan pekerjaannya. Karyawan juga
tidak harus datang setiap hari ke kantor untuk mengerjakan pekerjaan mereka.
Karyawan bisa mengerjakannya dirumah atau dimanapun yang mereka inginkan.
Selain itu, penggunaan BYOD ini juga menurunkan cost perusahaan untuk membeli
perangkat keras yang juga memungkinkan timbulnya biaya perawatan. Perusahaan
hanya perlu melakukan reimburse atas biaya yang dikeluarkan karyawan seperti
biaya listrik dan biaya kuota.

Kini dikenal juga cloud computing accounting software, dimana sistem kerjanya mirip
dengan SaaS ( Software as a Service ) business model . Data akan dikirim ke cloud
yang kemudian data yang telah diproses akan dikirim kembali pada para users .
Semua aplikasi tidak terdapat di desktop pengguna melainkan berbasis off-site dan
dapat diakses melalui cloud application service provider . Dengan menggunakan
cloud computing software ini, perusahaan dapat memotong biaya install software
dan juga biaya perawatannya. Perusahaan tidak perlu menyediakan ruang untuk
server, serta memungkinkan pegawai di perusahaan cabang untuk mengakses data
yang sama dan versi aplikasi yang sama. Application providers biasanya akan
membebankan biaya berdasarkan intensitas penggunaannya.Hal ini berbeda dari
traditional accounting software yang biasanya menggunakan license fee . Accounting
data backup dan disaster recovery biasanya sudah termasuk dalam akun cloud
computing accounting software .

Dengan cloud computing semua informasi bisnis perusahaan dapat tersimpan pada
satu tempat yang aman, serta memungkinkan semua pekerja untuk mengakses
informasi yang diizinkan dimanapun dan kapanpun, selama device mereka
terkoneksi dengan internet. Cloud computing memungkinkan integrasi dari document
scanning , memungkinkan invoices untuk dipindai dan secara otomatis akan terkirim
ke accounting sistem secara daily basis , sehingga akuntan dapat memeriksa dan
mengkonfirmasi entry dengan cepat. Tentunya dengan hal ini dapat memotong
processing cost secara drastis, mengurangi cost dari bookkeeping services juga
memberikan efisiensi bagi perusahaan. Akuntan dapat fokus pada pekerjaan lain
seperti menganalisis perkembangan perusahaan, analisis pajak dan lain-lain karena
tugas administratifnya dapat diselesaikan lebih cepat. Akuntan dapat menyediakan
informasi yang lebih tepat waktu dan para klien juga dapat memeriksa bagaimana
performa bisnisnya untuk membuat keputusan dengan lebih akurat dengan informasi
yang tersedia secara tepat waktu tersebut.

Cloud computing tidak hanya menjanjikan peluang bisnis yang lebih baik, namun
juga memiliki berbagai tantangan. Masalah teknis adalah salah satu hal yang harus
menjadi fokus. Pertama, koneksi internet yang harus baik dimanapun dan kapanpun
agar semua pekerjaan dapat berjalan dengan baik. Tidak hanya itu, sistem ini juga
mungkin mengalami d isrupts services (terganggunya layanan yang biasanya
disebabkan oleh faktor alam seperti bencana yang menyebabkan server tidak dapat
bekerja dengan semestinya), bahkan cloud service providers terbaik pun dapat
mengalaminya.

Isu lain dari cloud computing adalah masalah privasi dan keamanan data. Pegawai
yang dengan begitu mudah mengakses data dimana saja dan akan meningkatkan
kemungkinan data sensitif perusahaan dapat terungkap secara luas. Selain itu,
perusahaan juga harus memastikan bahwa tidak ada pihak luar yang bisa
mengakses sistem tersebut. Hal ini dapat diantisipasi dengan pemberian izin akses
ke sistem yang diperketat.

Dengan menggunakan cloud computing berarti kita menyerahkan informasi sensitif
perusahaan kepada pihak ketiga, untuk itu sebelum kita memutuskan untuk
menggunakan cloud computing, kita harus memastikan bahwa service provider yang
kita gunakan terpercaya. Seperti yang anda semua tahu, data maupun aplikasi
apapun yang tersambung dengan internet tidak aman 100 persen dan masih rentan
untuk diretas, termasuk data penting yang tersimpan di cloud.
Keputusan untuk menerapkan cloud computing atau tidak merupakan keputusan
besar tetapi penuh dengan risiko. Semuanya tergantung pada keputusan manajer.
Namun, perusahaan bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar seperti
efisiensi, cost yang lebih rendah, dan kepuasan klien yang meningkat apabila dapat
mengelola risiko seperti kebutuhan internet yang harus stabil, kebocoran data, dan
sistem yang eror dengan baik.

Referensi :
Alexander, A. (2018). A supplement to accounting today Your Firm In The Cloud .
[online] Lsc-pagepro.mydigitalpublication.com. Available at:
https://lsc-pagepro.mydigitalpublication.com/publication/?i=524246#%22{%22
[Accessed 13 Sep. 2018].
Beal, V. (2018). What is Cloud Accounting Software? Webopedia Definition . [online]
Webopedia.com. Available at:
https://www.webopedia.com/TERM/C/cloud_computing_accounting_software.html
[Accessed 15 Sep. 2018].
Kinsella, K. (2018). The Advantages of Cloud Computing for Accountants and
Business . [online] Cpaireland.ie. Available at:
http://www.cpaireland.ie/your-business/business-resource/technology/how-cloud-co
mputing-can-benefit-accountants [Accessed 15 Sep. 2018].
Suryadinata, W. (2018). CLOUD COMPUTING . [online] School of Information
Systems. Available at: https://sis.binus.ac.id/2016/12/16/cloud-computing/ [Accessed
13 Sep. 2018].
Ace Cloud Hosting. (2018). The Impact of Cloud Computing on Accounting Industry .
[online] Available at:
https://www.acecloudhosting.com/blog/impact-cloud-computing-accounting-industry/
[Accessed 15 Sep. 2018].
Viswanathan, P. (2018). Cloud Computing: Know the Pros and Cons . [online]
Lifewire. Available at: https://www.lifewire.com/cloud-computing-explained-2373125
[Accessed 15 Sep. 2018].

Paradigma Accounting Treatment pada Pemain Sepak Bola: Expired Cost, Capitalized, atau Off-Balance Sheet

IDE Times (Accounting Article) Monday, 27 August 2018

FIFA 2018, AFF Championship 2018, hingga Asian Games 2018 berhasil membuat sepak bola menjadi salah satu olahraga yang menarik untuk diikuti bagi berbagai kalangan. Akan tetapi, lebih dari sekedar hiburan, industri ini telah disulap menjadi sebuah alat penghasil uang. Hingga saat ini, sepak bola menjadi sebuah olahraga yang paling menguntungkan. Harjai, (2018), mengungkapkan dalam Economicswire, bahwa sepak bola telah menguasai setidaknya 36,7% pendapatan dari industri olahraga.

Layaknya sebuah entitas bisnis pada umumnya, sebuah club membutuhkan sumber daya manusia untuk beroperasi. Dalam konteks sepak bola, club membutuhkan pemain. Transfer pemain antara satu club ke club lain merupakan hal yang lumrah terjadi. Proses pembelian pemain pun terjadi pada suatu bursa. Pada saat pembelian pemain, club tentunya mengorbankan sejumlah sumber daya ekonomi untuk memperolehnya—umumnya kas. Club yang melakukan pembelian tentunya akan mengurangi kas yang dimiliki perusahaan. Yang menjadi topik untuk digarisbawahi adalah pemain yang dibeli dengan menggunakan aset club terkait. Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah bisa sebuah club mencatat nilai suatu pemain bola sebagai aset atau hanya mengakuinya sebagai expired cost, atau memperlakukannya sebagai off-balance sheet?Apakah melakukan pencatatan terhadap nilai pemain bola dapat memastikan bahwa laporan keuangan telah disajikan secara benar dan wajar (true and fair)?

Membebankan masing-masing pemain sebagai biaya (expired cost) memang sejalan dengan prudence concept—Pada Conceptual Framework tahun 2010 (IASB, 2010), konsep ini menjelaskan diperlukannya kehati-hatian dalam melakukan estimasi terhadap penilaian/pengukuran/pengakuan saat menghadapi kondisi ketidakpastian agar aset atau pendapatan tidak overstated dan liabilitas ataupun biaya tidak understated. Akan tetapi, membebankan seluruh pembelian pemain bola sebagai biaya juga tidak dapat dibenarkan. Pasalnya, sejak tahun 2010, prudence concept sudah dihapus dari Conceptual Framework  oleh International Accounting Standard Boards (IASB)—walaupun pada Conceptual Framework tahun 2018, IASB kembali memperjelas peran prudence concept dalam IFRS. Selain itu, pencatatannya sebagai biaya akan merusak matching principle, karena manfaat yang diterima tidak dapat diterima langsung pada periode diakuinya biaya—ini juga berkaitan dengan effort and accomplishment. Hal ini disebabkan kontrak pemain sepak bola yang berjangka lebih dari satu tahun (satu periode fiskal), sehingga biaya yang diakui pada saat membeli pemain tidak dapat langsung disandingkan dengan manfaat yang seharusnya dapat diterima dalam masa kontraknya—kecuali kontrak pemain dilakukan dalam satu periode fiskal saja.

Pencatatan sumber daya manusia dengan nilai yang sama tentunya tidak memberikan gambaran yang jelas kepada pengguna laporan keuangan, mengenai berapa aset yang dimiliki perusahaan terkait. Dalam sebuah klub sepak bola, masing-masing pemain memiliki kapabilitas yang berbeda. Misal, apakah nilai seorang Christiano Ronaldo dapat disamakan dengan Gianluigi Buffon? Tidak bukan, keduanya bahkan memiliki peran yang berbeda di dalam lapangan. Christiano Ronaldo berada pada posisi centre forward dan berperan sebagai striker. Di sisi lain, Gianluigi Buffon berbanding terbalik dengan Ronaldo, Ia berperan sebagai goalkeeper. Keduanya memiliki expertise yang berbeda, sehingga tidak dapat dinilai dan dicatat pada laporan keuangan dengan cost yang sama.

Karenanya, semenjak IAS 38 keluar—mengenai intangible assets—pemain sepak bola akhirnya ditetapkan harus di-capitalized (Oprean and Oprisor, 2014). Akan tetapi, bukan sebagai tangible assets, melainkan sebagai intangible assets dan objek yang dicatat pada laporan keuangan bukanlah pemainnya secara langsung, melainkan kontrak pemain .Namun, yang perlu diperhatikan kembali dalam industri sepak bola adalah banyaknya  jenis pemain sepak bola (football players). Masing-masing dari jenis pemain bola tersebut memiliki metode pengukuran yang berbeda. Berdasarkan Opreon dan Oprisor (2014) ada tiga cara pengakuisisian pemain bola, antara lain:

  • Menetapkan kontrak dengan melakukan transfer pemain
  • Melakukan kontrak dengan pemain yang ditetapkan sebagai free agent
  • Pemain muda yang baru memasuki regu sepakbola dari akademi sepak bola, disebut sebagai youth players.

Perlu ditekankan, bahwa ketiga jenis pemain tersebut diasumsikan akan memberikan manfaat ekonomi (generate economic benefits) kepada klub. Asumsi ini bertujuan agar masing-masing dari jenis pemain memenuhi karakteristik dari aset. Berdasarkan Conceptual Framework for Financial Reporting 2018, diungkapkan setidaknya ada tiga karakteristik dari sebuah aset, (1) sumber daya yang dikendalikan atau dikuasai oleh entitas tertentu, (2) merupakan hasil dari kejadian di masa lampau (berupa transaksi), (3) Pemanfaatannya diperkirakan akan memberikan manfaat ekonomi di masa mendatang kepada entitas.  Oleh karena itu, asumsi nomor tiga ditekankan pada masing-masing jenis pemain.

Penilaian transfer players relatif lebih mudah dibandingkan dua jenis pemain lainnya. Klub yang membayar sejumlah uang untuk membeli licensed—agar memperoleh hak menggunakan—pemain bola yang bersangkutan, mencatat sebesar transfer fee. Penilaian berdasarkan transfer fee dapat dibenarkan untuk transfer player karena memang ada pasar yang aktif dalam memperjualbelikan pemain.  Untuk menerapkan matching principle, kontrak tersebut yang diperlakukan sebagai intangible assets diamortisasi dengan metode garis lurus—umumnya selama 5 tahun. Cost dari pemain juga dapat diturunkan (impairment) apabila diperkirakan kinerja dari pemain turun karena hal-hal yang tidak dapat diduga (unpredictable), seperti konflik, cedera, dan lain-lain.

Permasalahan kemudian muncul apabila kontrak dari player telah habis dan klub yang terkait tidak lagi menawarkan kontrak dengan nilai dan klausa yang sama, maka player dikategorikan sebagai free agent. Saat memperoleh status sebagai free agent, maka seorang player dapat  menegosiasikan kontraknya dengan klub yang tertarik dengan dirinya secara langsung.   Karena dalam negosiasi dan pembelian kontraknya tidak ada transfer fee, maka seorang free agent umumnya meminta gaji yang lebih tinggi (Oprean and Oprisor, 2014). Hal ini kemudian mempersulit proses pengukuran (measurement) player berjenis free agent. Mencoba melakukan kapitalisasi terhadap cost dari kontrak tidak dapat dijustifikasi, disebabkan total cost dari pemain tersebut bukan berasal dari pasar yang aktif—ingat, pembelian free agent dilakukan secara langsung antara player dengan club terkait, tanpa perantara dari bursa pemain.

Jenis pemain yang terakhir adalah, pemain muda. Jenis pemain ini tidak dapat dilaporkan sebagai intangible assets. Oprean and Oprisor (2014) mengungkapkan, ada syarat yang tidak dipenuhi oleh jenis pemain ini yang tidak sesuai dengan IAS38—mengenai intangible assets. Salah satunya adalah, entitas—dalam konteks ini adalah club—tidak memiliki kendali terhadap pemain muda. Setiap pemain muda dapat dikontrak dalam jangka waktu paling lama tiga tahun setelah cukup umur ke dalam club, tetapi tidak ada kewajiban yang mengikat untuk menerima kontrak tersebut. Selain itu, pemain muda kurang diyakini dapat menghasilkan manfaat ekonomik di masa mendatang. Karena nyatanya, aktivitas di akademik pelatihan justru lebih menghabiskan sumber ekonomi club. Oleh karena itu, umumnya, pemain yang dikembangkan sendiri oleh klub tidak dikapitalisasi. Lozano and Gallego (2011), mengungkapkan bahwa salah satu pemain profesional dunia, Leonel Messi, tidak memiliki nilai pada laporan keuangan. Dengan kata lain, tidak dikapitalisasi pada laporan keuangan pada saat dia menjadi pemain sepak bola.

Beberapa alternatif metode untuk melakukan valuasi terhadap dua jenis pemain bola lainnya—youth player dan free agent—juga sudah dikemukakan pada bebearpa literatur.  Oprean dan Opresor, (2014), mengungkapkan bahwa teori Jan Erik Grojer dan Eric Flamholtz dapat mengatasi masalah tersebut. Grojer mengatasi masalah penilaian dengan melakukan kapitalisasi terhadap gaji yang diterima. Dengan teori grojer, penilai harus mengestimasi gaji dari pemain tersebut selama masa kontrak kemudian mencari present value dari gaji tersebut. Di sisi lain, Flamholtz menyatakan expenditure dari club yang dapat dikapitalisasi adalah recruitment cost, seperti kos pelatihan, gaji, hingga, kos untuk menyediakan fasilitas  bagi pemain.

Kedua metode penilaian tersebut pun masih memiliki beberapa defisiensi. Misalnya, pengestimasian gaji dari pemain di masa mendatang akan cukup sulit bagi pemain bola. Lawrence Technological University, (2017), mengungkapkan ada sekitar 55 atribut untuk menentukan gaji yang diperoleh dari pemain bola. Salah satu dari atribut tersebut yang paling krusial adalah performance—sesuatu yang sulit untuk diprediksi. Bagaimana jika saat kontrak berjalan, pemain yang bersangkutan memiliki kondisi kinerja yang buruk dan kemudian gajinya turun atau sebaliknya. Jika pengestimasian gaji dilakukan secara rata-rata kemudian mencari present value-nya tentu akan melukai prudence concept. Nilai dari pemain bola akan cenderung overstated atau understated. Pada teori Flamholtz, sebagai mana yang dikemukakan Oprean and Opresor, (2014), bahwa recruitment cost cenderung bersifat umum.  Kos yang timbul untuk menyediakan fasilitas kepada pemain, kos pelatihan cenderung bersifat umum pada seluruh anggota dalam akademi. Melakukan kapitalisasi terhadap hal tersebut tentunya tidak memberikan nilai yang reliable.

Namun, hingga saat ini, Penulis memiliki keraguan dengan konsep ini, yaitu perlakuan kapitalisasi terhadap pemain bola. Jika kita coba menilik dengan memulai dari makna aset sebenernya, dalam Agenda Paper 10B yang dikeluarkan IAS diungkapkan bahwa ada defisiensi dari definisi aset. Seharusnya, kata “expected” diganti dengan kata “potential to produce.” Artinya, sebuah aset harus dapat dipastikan memiliki potensi untuk menghasilkan manfaat ekonomik (di masa yang akan datang). Jika mengajuk pada Amerika, Financial Accounting Standar Boards (FASB) mengeluarkan Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) 6. Dalam SFAC 6, diungkapkan, salah satu karakteristik aset adalah, “probable future economic benefit.” Dimana kata “probable” disamakan dengan sebuah kondisi bahwa manfaat ekonomik tersebut, “more likely than not to occur” (Kieso, 2014).  Hal ini yang menjadi dasar kenapa Penulis berargumen bahwa pemain bola tidak dapat diidentifikasi sebagai aset, baik itu intangible asset maupun tangible asset. Pemain bola tidak dapat dipastikan (probable) menghasilkan manfaat ekonomik masa mendatang. Pertandingan sepak bola terlalu dinamis dan sulit untuk diprediksi. Jika demikian, bagaimana kita dapat menerapkan matching principle? Dengan amortisasi? Menurut Penulis kurang menggambarkan effort and accomplishment dan justru melukai matching principle itu sendiri. Pencatatannya sebagai aset akan melukai prudence concept.

Oleh karena itu, Penulis lebih setuju apabila pemain bola dicatat pada catatan atas laporan keuangan (CALK). Hal ini lebih dapat diterima, dikarenakan, menurut Penulis, pemain bola lebih tepat disebut sebagai contingent asset—sebuah aset yang tidak pasti dalam hal waktu maupun jumlah manfaat ekonomiknya, sehingga tidak diakui pada laporan keuangan, tetapi pada CALK (Kieso, 2014). Sebagaimana argumen sebelumnya, bahwa pemain bola tidak dapat memberikan kepastian yang cukup memadai akan memberikan manfaat ekonomik kepada entitas yang menguasainya. Dengan kata lain, tidak memiliki potential to produce untuk menghasilkan manfaat ekonomik di masa yang akan datang, sehingga hanya bisa dicatat pada CALK, bukan laporan keuangan.

Terlepas dari berbagai macam paradigma dalam hal perlakuan akuntansi terhadap pemain bola, kita hanya dapat menyampaikan pemikiran terhadap masalah tersebut. Mengkritisi menjadi hal yang fundamental bagi kita (mahasiswa). Sebagaimana yang diungkapkan Suwardjono, (2003), proses belajar sejatinya merupakan kegiatan mandiri yang sudah terstruktur dan kuliah merupakan kegiatan untuk penguatan (reinforcement) pemahaman mahasiswa. Oleh karena itu, penulis harapkan, tulisan ini dapat menjadi ajang konfirmasi atau penguatan pemahaman Penulis—baik oleh dosen, maupun sesama mahasiswa.

 

 

Reference:

Deloitte. Conceptual Framework-Agenda Paper 10B. Deloitte, 2016.

Financial Accounting Standard Boards. Statement of Financial Accounting Concept No.6. Connecticut: FASB, 1985.

Gallego, Lozano and. “Journal of Management Control.” Deficits of accounting in the valuation of rights to exploit the performance of professional players in football clubs. A case study, 2011.

Goshunova, Kulikova and. “Mediterranean Journal of Social Sciences.” Human Capital Accounting in Professional Sport: Evidence from Youth Professional Football, 2014: 4.

Harjai, Nouriel. The World’s Most Lucrative Sports. January 7, 2018. https://www.economicswire.net/the-worlds-most-lucrative-sports.html (accessed August 18, 2018).

International Accounting Standard Boards. Conceptual Framework for Financial Reporting. March 2018. https://www.ifrs.org/issued-standards/list-of-standards/conceptual-framework/ (accessed August 16, 2018).

Johan, Martin Bengstoon and Wallstrom. “Accounting and disclosure of football player registrations: Do they present a true and fair view of the financial statements?” 2014: 18.

Kieso, Donald E., dkk. Intermediate Accounting: IFRS Edition. Hoboken: Wiley, 2014.

Lawrence Technological University. Are the world’s highest paid football players overpaid? Big data says yes. July 31, 2017. https://www.sciencedaily.com/releases/2017/07/170731095413.htm (accessed August 16, 2018).

Lindholm, Cecilia. “Accounting in Football.” A Study on the Human resource accounting of football players in Alsvenskan, 2016: 39.

Oprean, Victor-Bogdan and Tudor Oprisor. “Emerging Markets Queries in Finance and Business.” Accounting for soccer players: capitalization paradigm vs expenditure, 2014: 4-6.

Suwardjono. Revolusi Paradigma Pembelajaran Perguruan Tinggi: Dari Penguliahan ke Pembelajaran, 2003: 7.

HOLA IMAGAMA 2018

Accounting News Thursday, 9 August 2018

Hello, accountants wanna be!

Selamat datang di Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada.
Yuk cari tahu apa dan bagaimana sih Departemen Akuntansi dan FEB UGM itu lewat HOLA IMAGAMA 2018.

Hola IMAGAMA merupakan buletin yang memberikan pengetahuan-pengetahuan umum tenyang Akuntansi dan memperkenalkan IMAGAMA kepada teman-teman khususnya mahasiswa baru 2018.

Penasaran bagaimana isinya?
Langsung cek di file berikut!

 

HOLA IMAGAMA 2018

Mahasiswa UGM Membentuk Silk World Foundation, Lembaga Pengelolaan Potensi Sutera Desa Karang Tengah

Uncategorized Monday, 16 July 2018

Desa Karang Tengah merupakan salah satu desa wisata yang terletak di Kabupaten Bantul, tepatnya dalam lingkup Kecamatan Imogiri. Layaknya desa wisata lainnya yang memiliki keunggulan atas suatu sumber daya, Desa Karang Tengah dikenal dengan potensi suteranya. Kepompong ulat sutera yang berasal dari kebun jambu mete di daerah tersebut termasuk dalam dua jenis ulat sutera yaitu sutera emas dan sutera coklat. Dalam sekali panen, penduduk Desa Karang Tengah dapat meraup kepompong ulat sutera, emas dan coklat, hingga sepuluh kilogram.

Pada awalnya, terdapat kelompok tani yang menindaklanjuti hasil panen kepompong ulat sutera tersebut hingga menjadi lembaran kepompong ulat sutera. Namun, seiring dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, kelompok tani ini seolah mati dirundung zaman. Lemahnya pengetahuan dan teknologi bagi penduduk Desa Karang Tengah sekarang ini menyebabkan tidak optimalnya pengelolaan potensi sutera yang dimilikinya.

Atas latar belakang tersebut, sebuah pengabdian masyarakat bertajuk Silk World Foundation dibentuk oleh beberapa mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM. Tim yang beranggotakan Putri Hayuning Tyas (Akuntansi FEB), Melynda Rukmmana Devi (Manajemen FEB), Thariq Surya Gumelar (Akuntansi FEB), dan Wafa Rizki (Akuntansi FEB), serta dibantu oleh empat volunteer yang terdiri dari Anisabila Galuh, Nadhifa Aisha, Mutiara Amalia, dan Wildan Sulchan ini melakukan pengabdian masyarakat secara periodik ke Desa Karang Tengah.

Salah satu tim PKM M ini memiliki tujuan untuk meningkatkan pengetahuan penduduk Desa Karang Tengah dalam mengelola potensi alam yang dimilikinya guna meningkatkan kesejahteraan penduduk Desa Karang Tengah itu sendiri. Program pengabdian masyarakat ini mulai diinterpretasikan pada penduduk desa sejak bulan April hingga Juli 2018 dengan sasaran penduduk Desa Karang Tengah yang diketuai oleh Bapak Pargiyanto.

Pembinaan yang secara rutin digalakan kepada penduduk Desa Karang Tengah ini dihadiri oleh penduduk desa yang mayoritas adalah ibu-ibu non-produktif. Dalam kurun waktu empat bulan ini, pembinaan yang telah dilaksanakan meliputi pembinaan produksi, pembinaan proses akuntansi, dan pembinaan pemasaran produk.

Pembinaan produksi yang dilakukan oleh tim berupa pembuatan kerajinan kap lampu dan buku tulis yang memanfaatkan kepompong ulat sutera kering sebagai hiasan. Selain kerajinan, tim juga memberikan pengarahan dan pelatihan penggunaan alat yang telah dirancang untuk produksi benang dari bahan mentah kepompong ulat sutera. Untuk menambah nilai jual, benang yang sudah jadi sebagian ditenun dengan bekerja sama dengan salah satu lembaga di Yogyakarta.

Di samping pembinaan dalam bidang produksi, pembinaan proses akuntansi tidak luput diberikan oleh tim yang berlatar belakang mahasiswa ekonomi ini. Penduduk Desa Karang Tengah diberikan pelatihan berkaitan dengan cara memberi harga pada suatu produk dan cara melakukan pencaatatan pada setiap pengeluaran serta pemasukan yang didapat.

Dalam rangka menambah kesejahteraan penduduk Desa Karang Tengah, penduduk direkomendasikan untuk bisa menjual produk yang telah diproduksi. Oleh karena itu, pembinaan pemasaran produk sangat penting untuk dilaksanakan. Tim membantu pemasaran produk yang telah diproduksi dengan dua metode pemasaran, yaitu pemasaran online dengan bantuan media sosial Instagram dan pemasaran offline dengan melakukan kerja sama dengan Oentu Boutiq.

Contact Person : Thariq Surya Gumelar (thariq.surya.gumelar@mail.ugm.ac.id / 081328573969)

 

Panama Papers, Bukti Kemakmuran Tersembunyi dalam Tax Havens

IDE Times (Accounting Article) Sunday, 10 June 2018

Panama Papers merupakan julukan untuk sebuah dokumen rahasia milik suatu perusahaan jasa yang beroperasi di Panama bernama Mossac Fonseca. Dirintis oleh Jürgen Mossack dan Ramón Fonseca pada tahun 1977, perusahaan ini merupakan entitas yang legal karena sudah memiliki sertifikat sebagai badan hukum. Mossac Fonseca menyediakan jasa pelayanan bagi perusahaan lain meliputi pembentukan, pengelolaan, hingga manajemen aset. Panama Papers berisi nama-nama klien yang bekerja sama dengan perusahaan tersebut. Ada sebanyak 11,5 juta dokumen didalamnya yang berupa dokumen digital, foto, serta surat-surat perjanjian dan transaksi usaha.

Dokumen Panama menyimpan rahasia penghindaran pajak terbesar keempat di dunia, setelah Swiss, Hong Kong, serta Amerika Serikat. Dokumen ini memuat sebuah jaringan usaha yang sangat besar nilai materialnya. Penghindaran pajak yang dilakukan didasarkan pada keprihatinan terhadap tingginya beban pajak yang dibebankan pada para pengusaha. Namun pada praktiknya, terdapat penyelewengan etika usaha yang sudah melampaui batas. Hal ini terjadi karena Perusahaan Mossac Fonseca melakukan usaha yang sedemikian rupa untuk menutupi kewajiban pajak dan arus keuangan dari para kliennya yang berada di berbagai belahan dunia. Lebih dari itu, Panama Papers ini juga berpotensi menjadi bentuk penyelewengan politik uang untuk mendongkrak kekuasaan politik sebagian pihak. Pasalnya dalam dokumen tersebut terdapat nama pimpinan lima negara. Diantaranya masuk sebagai lima negara terkaya di Timur Tengah, yakni Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Islandia sedangkan sisanya adalah nama pemimpin negara Argentina dan Ukraina. Selain lima nama pemimpin negara tersebut ada pula pejabat negara dan kepala pemerintahan lain beserta kerabat dekat mereka yang tersebar di kurang lebih 40 negara berbeda. Tercantum setidaknya lebih dari 140 nama badan luar negeri di dalam Panama Papers tersebut.

Panama Papers dan dokumen-dokumen serupa lain membuka rahasia mengenai penyimpangnan etika yang terjadi. Hal tersebut jelas karena pada praktiknya perusahaan-perusahaan penyedia jasa seperti Mossac Fonseca justru menjadi surga bagi para pengusaha dari luar daerahnya yang mana terdampak pajak tinggi . Mossac Fonseca yang berbasis di Panama menerapkan sebuah “kebijakan” bernama tax havens melalui kerjasama dengan lembaga keuangan yang besar serta memiliki kekuatan yang mendominasi. Perusahaan tersebut membangun kompleksitas jaringan yang menyebabkan alur transaksinya sulit dilacak oleh para kolektor pajak dari satu tempat ke tempat lainnya di berbagai belahan dunia. Posisi Panama sebagai tax havens ini selanjutnya akan berpotensi menyebabkan negara lain merugi. Secara lebih lanjut, tax heaven atau yang sering dijuluki tax havens merupakan sistem penerapan pajak yang sangat rendah pada sebuah negara. Negara yang menggunakan sistem ini akan memberikan proteksi pajak bagi warga negaranya berikut dengan seluruh investasi yang ada di negara tersebut. Tax havens merupakan suatu negara yang dapat dijadikan surga bagi para investor yang menginginkan laba maksimal dalam investasinya karena negara tersebut menerapkan pungutan pajak yang sangat rendah atau bahkan 0%. Namun, perlu digarisbawahi bahwa tidak semua penerapan tarif pajak yang rendah merupakan tax havens , bisa jadi pajak yang rendah tersebut merupakan konsekuensi atas negosiasi antar negara.

Dalam sejarahnya, tax havens muncul akibat adanya peningkatan pajak di berbagai lini secara signifikan pasca terjadinya Perang Dunia I. Dampak yang dirasakan pasca Perang Dunia I merambat pada penurunan ekonomi di sebagian besar negara pada berbagai belahan dunia. Kelesuan ekonomi ini mendorong pemerintah masing-masing negara untuk mendapatkan suntikan dana yang cepat melalui penerapan pajak yang tinggi. Kemudian, istilah tax havens muncul dan pertama kali digunakan oleh majalah The Times 17 Mei 1894 karena pada saat itu banyak warga Inggris memindahkan kekayaannya untuk menghindari pajak (Suryowati, 2016). Swiss menjadi negara yang mempelopori lahirnya tax havens ini, dimulai dari Kota Zurich, Geneva, dan Basel sebagai pusat penghindaran pajak yang legal. Hal ini sebagai konsepsi etis mengingat adanya hak-hak warga negara yang harus dilindungi dari kepentingan pemerintah untuk mengembalikan kekuatan perekonomian mereka secara masif.

Pada masa kini, keberadaan tax havens tak dapat dipungkiri akan “melicinkan” niat Multi-National Enterprise s yang ingin melakukan strategi penghindaran pajak. Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) merupakan salah satu strategi tax planning untuk menghindari pajak dengan cara menyembunyikan atau mengalihkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak yang lebih kecil atau bahkan ke negara yang bebas pajak (OECD, 2013). Strategi tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan celah-celah yang ada dalam peraturan perpajakan. Celah yang dimaksud dapat timbul karena peraturan perpajakan tidak berkembang secepat perkembangan globalisasi dan teknologi informasi. Alhasil, para pelaku pengemplang pajak akan memilih jalan pintas dengan memanfaatkan negara-negara tax havens sebagai tempat untuk mengalihkan hartanya.

BEPS akan sangat merugikan apabila perusahaan-perusahaan multinasional yang seharusnya berkontribusi besar atas pemasukan pajak suatu negara dibiarkan begitu saja menyembunyikan hartanya hingga terbebas dari kewajiban membayar pajak. Selain itu, BEPS menimbulkan ketidakadilan serta persaingan tidak sehat dalam perekonomian dunia yang juga akan mengancam kestabilan keuangan global. Oleh karena itu, muncul berbagai upaya dalam melawan BEPS tersebut, salah satunya yaitu dengan “ BEPS Action Plan ” yang telah dirumuskan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).

Terdapat 15 rencana aksi yang dapat membantu pemerintah suatu negara dalam merumuskan kebijakan yang sesuai untuk mengatasi masalah BEPS. Ke-15 rencana aksi tersebut juga sekaligus akan meningkatkan koherensi kebijakan antar negara dalam perpajakan internasional. Salah satu dari rencana aksi tersebut berbunyi “ require taxpayers to disclose their aggressive tax planning arrangements ”. Aggressive tax planning merupakan upaya penghindaran pajak yang tidak diperkenankan. Salah satu contohnya adalah memindahkan subjek dan/atau objek pajak ke negara-negara tax havens semata-mata untuk penghindaran pajak, bukan untuk tujuan bisnis. Dalam rencana aksi tersebut, pemerintah suatu negara harus berupaya untuk memperoleh informasi mengenai perencanaan pajak sedini mungkin agar dapat mendeteksi adanya skema aggressive tax planning . Cara yang dapat dilakukan yaitu antara lain dengan aturan kewajiban pengungkapan tax planning sebelum atau bersamaan penyampaian SPT. Dengan itu, negara akan dapat mengidentifikasi resiko serta resolusi atas skema tersebut sehingga akan mengecil kemungkinan bagi para pelaku pengemplang pajak untuk menyembunyikan hartanya di negara tax havens .

Ditemukannya Panama Papers menjadi bukti masih sangat diperlukannya upaya untuk mengatasi BEPS maupun strategi penghindaran pajak lainnya. Kebijakan masing-masing negara mutlak perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi yang ada sekarang, yaitu dengan memperhatikan globalisasi dan perkembangan teknologi informasi serta menjaga koherensi-nya dengan kebijakan multilateral seperti BEPS Action Plan . Antar negara pun dibutuhkan kerjasama yaitu untuk saling membuka informasi yang berguna dalam mengungkap berbagai kasus yang mungkin saja masih tersembunyi. Sehingga, ke depan diharapkan Panama Papers lainnya akan segera terungkap dan mampu membersihkan dunia perpajakan dari kecurangan.

 

 

Sumber:

Suryowati, Estu. 2016. Mengenal “Tax Haven” atau Suaka Pajak, dan Fakta Mencengangkan di Baliknya .https://ekonomi.kompas.com/read/2016/04/11/060300926/Mengenal.Tax.Haven .atau.Suaka.Pajak.dan.Fakta.Mencengangkan.di.Baliknya. Diakses 20 Mei 2018.

OECD. 2013. Addressing Base Erosion and Profit Shifting . OECD Publishing, Paris. https://simpan.ugm.ac.id/s/hZUcwCjHuUYIwy6. Diakses 20 Mei 2018. Darussalam dan Ganda C Tobing. 2014. Rencana Aksi Base Erosion Profit Shifting dan Dampaknya terhadap peraturan pajak di Indonesia . https://workingpaper.ddtc.co.id/wp-0714/mobile/index.html#p=18. Diakses 20 Mei 2018.

Darussalam, dan Danny Septriadi. 2009. Tax Avoidance, Tax Planning, Tax Evasion, dan Anti Avoidance Rule. http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=36&q=&hlm=1. Diakses 20 Mei 2018

Whistleblower​ – Pahlawan atau Pembelot?

IDE Times (Accounting Article) Saturday, 14 April 2018

Bayangkan anda adalah seorang Akuntan dalam sebuah korporasi besar. Suatu ketika, Anda dihadapkan pada suatu fakta bahwa korporasi tempat Anda bekerja tersebut melakukan pencucian uang sebesar 1 Triliun Rupiah. Apakah yang akan Anda lakukan? Diam demi keselamatan keluarga Anda atau melaporkannya demi kebenaran & integritas?

Ketika kita dihadapkan pada hal demikian, timbul suatu dilema etika dalam benak kita. Di satu sisi, kita dituntut untuk bertindak sesuai norma, aturan, atau hukum yang ada. Di sisi lain, kejujuran ternyata membahayakan nyawa bahkan orang-orang terdekat kita. Orang yang mampu untuk membeberkan suatu tindak kejahatan/ilegal/tidak etis dalam suatu organisasi kepada suatu otoritas atau publik disebut dengan istilah “Whistleblower”.

Whistleblower bisa berasal dari pekerja dalam organisasi tersebut, supplier, klien, atau individu lainnya yang mengetahui informasi tentang kecurangan tersebut. Dengan perannya yang krusial ini, pihak-pihak yang merasa dirugikan akan berusaha untuk membungkam para whistleblower. Biasanya, dengan pesan-pesan bernada mengancam, tuntutan, hingga yang sangat ekstrim yakni pembunuhan.

Tentunya terdapat alasan yang menyebabkan seseorang merasa terancam ketika menjadi seorang “peniup-peluit”. Alasan-alasan tersebut menjadi dilema tersendiri bagi para Whistleblower di dalam melakukan pengungkapan terhadap praktik kecurangan yang dilakukan perusahaan. Beberapa alasan tersebut meliputi (Luke, 2017):

1.) Adanya ketidaksetujuan perusahaan terhadap praktik Whistle-Blowing​. Menurut penelitian yang dilakukan oleh John P. Keenan dinyatakan bahwa karyawan tingkat bawah memiliki empati lebih besar terhadap kegiatan Whistle-blowing. Dalam hal ini, perusahaan berpikir bahwa hal tersebut akan merusak struktur yang telah diterapkan. Karyawan tingkat bawah seharusnya tidak ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan oleh manajemen tingkat atas.

2.) Adanya ketidaksetujuan dari rekan kerja​. Rekan kerja menjadi salah satu faktor dilema seorang Whistleblower. Mereka akan berpikir bahwa seorang Whistleblower merupakan pengkhianat dan hanya sekedar mencari keuntungan dari kegiatan yang dilakukan dalam mengungkap kecurangan.

3.) Pengaruh kepada karyawan secara personal​. Luke menjabarkan bahwa ketika seseorang merasa tidak terlibat dan tidak terseret ke dalam kesalahan yang dibuat oleh perusahaan, maka karyawan tersebut akan menjaga reputasi perusahaan dengan baik. Begitu sebaliknya.

4.) Kesetiaan terhadap perusahan dimana ia bekerja​. Ketika seorang karyawan merasa dirinya dianggap sebagai bagian yang penting oleh perusahaan, karyawan tersebut cenderung menjaga reputasi perusahaan agar tetap terjaga dengan baik.

5.) Tidak adanya bukti yang cukup memadai. Alasan ini menjadikan seorang Whistleblower merasa takut untuk muncul ke permukaan. Hal tersebut juga menghindari adanya tuduhan yang salah kepada orang – orang yang melakukan kecurangan.

Salah satu kasus yakni terkait seorang Auditor muda Bumiputera Malaysia Finance (BMF) yang terbunuh di Hongkong pada tahun 1983. BMF adalah bank terbesar kedua di Asia Tenggara. BMF mempunyai 3 peminjam utama di Hongkong. Salah satunya adalah Carrian Investment Limited (CIL). CIL yang merupakan sebuah perusahaan milik George Tan yang pada tahun 1981 hanyalah perusahaan berskala kecil mendadak menjadi salah satu perusahaan terbesar di Hongkong. Pada 1982, CIL mengalami masalah likuiditas. Jalil Ibrahim, selaku auditor, diminta untuk menilai aset CIL. Ternyata, ia menemukan indikasi adanya mark-up nilai aset sebesar 20 juta USD. Oleh karena itu, ia segera memberi tahu BMF tentang hasil pemeriksaannya dan memaksa BMF untuk membatalkan perjanjian pinjaman tersebut. Ia selaku penanggungjawab perjanjian hutang tidak meluluskan pinjaman yang diajukan oleh CIL. Namun, beberapa hari setelahnya, Jalil Ibrahim ditemukan terbunuh dan mayatnya dibuang di sebuah ladang pisang. Pada hari yang sama, pinjaman dikeluarkan untuk CIL.

Kala itu, Jalil Ibrahim tentunya dihadapkan pada suatu dilema etik. Di satu sisi, ia merasa ada ancaman terhadap dirinya. Sehari sebelum kematiannya, ia menulis surat yang ditujukan kepada istrinya. Di dalam surat tersebut, ia menceritakan kecemasan yang ia hadapi. Di sisi lain, ia merasa bahwa keputusan untuk membongkar adanya praktik kejahatan finansial di tubuh CIL harus dilakukan. Integritas inilah yang memang seharusnya dimiliki oleh setiap Akuntan di dunia.

Menilik dari Kode Etik Akuntan yang disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Jalil dihadapkan dengan ancaman intimidasi (intimidation threat), yakni ancaman yang terjadi ketika Akuntan Profesional dihalangi untuk bertindak secara objektif karena tekanan yang nyata atau dirasakan, termasuk upaya memengaruhi Akuntan Profesional secara tidak sepantasnya. Ancaman ini dapat menggoyahkan integritas seseorang dimana menyebabkan apa yang kita sebut diawal sebagai dilema etik.

Menurut Arens dan Loebecke (2008) dilema etika adalah: “Situasi yang dihadapi seseorang dimana keputusan mengenai perilaku yang pantas harus dibuat”. Intinya adalah dalam kehidupan sehari-hari seseorang selalu dihadapkan pada peperangan batin, antara melakukan sesuatu yang benar namun mengancam atau melakukan sesuatu yang tidak benar walaupun ia mengetahui yang sebenarnya. Analoginya seperti ketika seseorang menemukan sebuah cincin berlian di tengah jalan lalu ia dihadapkan pada suatu dilema apakah dia harus mengembalikan kepada pemiliknya atau mengambil cincin tersebut.

Menurut Kode Etik Akuntan, ketika seorang Akuntan meyakini adanya informasi keuangan yang mengandung kesalahan material atau pernyataan yang menyesatkan, ada tuntutan untuk mengambil tindakan dengan pertimbangan langkah-langkah yang sesuai dengan Prinsip Dasar Akuntansi dan akibat yang ditimbulkannya. Jika permasalahan tetap tidak dapat diselesaikan, Akuntan Profesional juga dapat berkonsultasi dengan orang yang tepat di Kantor Akuntan atau organisasi tempatnya bekerja, meminta saran profesional dari IAI secara anonim, atau dengan penasehat hukum tanpa melanggar prinsip kerahasiaan dibawah perlindungan hak istimewa (privilege) dalam hukum.

Perlindungan untuk Akuntan yang ingin mengungkap praktik kejahatan finansial atau memutuskan untuk menjadi Whistleblower sebenarnya sudah terkandung dalam perundang-undangan Indonesia, pada UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2006 yang berisi bahwa seorang pekerja boleh mengajukan surat pengunduran diri atas dasar penyuapan yang dilakukan orang yang mempekerjakannya. Pekerja tersebut harus diberikan hadiah/kompensasi atas jasanya sebagai Whistleblower.

Jadi, berdasarkan penjelasan tersebut apakah kamu akan tergerak menjadi seorang Whistleblower yang berkorban dan dapat diandalkan? Atau hanya menggigit jari dan membiarkan virus kejahatan menyebar di seluruh dunia?

 

REFERENSI :

citvasia.com. (n.d.). The Banker Who Knew Too Much. Diakses 8 April 2018 dari http://www.citvasia.com/shows/banker-who-knew-too-much

Elder Randal J, Mark S Beasley, Alvin A. Arens, Amir Abadi Jusuf. Auditing and Assurance Service: an Integrated Aproach An Indonesian Adaption. Edisi 12. New Jersey. Prentice Hall/Pearson Education. 2009

Ikatan Akuntan Indonesia. (2016). Kode Etik Akuntan Profesional. Diakses 16 Maret 2018,dari http://iaiglobal.or.id/v03/files/file_berita/Kode%20Etik%20Akuntan%20Profesional.p df

Luke, M. (2017). Five Ethical Dilemmas Faced by Employees in Whistle-Blowing. [online] Bizfluent. Available at: https://bizfluent.com/info-8546932-five-dilemmas-faced-employees-whistleblowing.h tml [Diakses 10 Maret 2018].

Recent Posts

  • Creative Accounting: Kecerdikan ataukah Fraud?
  • [Kolaborasi IDE Times X ESC] THR dan Ekonomi Lebaran: Antara Euforia Konsumsi dan Inflasi Musiman
  • Perang Dagang dan Pelaporan Keuangan: Implikasi Tarif terhadap Persediaan, Aset, dan Laba
  • IFRS vs GAAP, Serupa Tapi Tak Sama
  • Get to Know IFRS 18: Better Information for Better Analysis
Universitas Gadjah Mada

Faculty of Economics & Business
Universitas Gadjah Mada
Student Club Lounge, 1st Floor, North Wing
Sosio Humaniora Street, Number 1
Bulaksumur, Yogyakarta, 55281
Indonesia

Email : imagama.feb@ugm.ac.id

   

Your Lifetime Partner,
IMAGAMA

© IMAGAMA FEB UGM 2024

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY