Kemajuan teknologi dan sektor industri merupakan pencapaian terbesar dalam abad-21. masyarakat global berproduksi dengan skala yang masif sehingga menghasilkan output yang signifikan, terutama di bidang perekonomian. kegiatan produksi tersebut nyatanya sering kali menghasilkan eksternalitas negatif terhadap alam dan lingkungan. Perekonomian yang bertumbuh serta konservasi alam merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Tantangan dalam mencapai stabilitas kedua hal tersebut adalah perubahan lingkungan, keterbatasan modal, serta sinergitas masyarakat dunia yang belum terbangun. Green Financing merupakan kontrak yang tepat dalam menjembatani antara perekonomian dan konservasi alam. Green Financing diharapkan dapat berperan sebagai bantuan moneter dunia dalam mengkonstruksi pembangunan hijau yang berkelanjutan, seperti melestarikan lapisan ozon, menjaga ketahanan pangan serta eksplorasi hijau lainnya.
Green Financing merupakan terobosan terbaru bagi industri keuangan untuk mengalirkan dan mengalokasikan aliran dana kepada bisnis yang berorientasi pada keberlangsungan lingkungan. Hal ini juga secara luas dapat merujuk ke investasi keuangan yang mengalir ke proyek-proyek pembangunan berkelanjutan dan inisiatif, produk lingkungan, dan kebijakan yang mendorong pengembangan ekonomi yang berkelanjutan. Höhne, et al (2012). Tujuan utama dari konsep Green Financing adalah praktik berkelanjutan sebagaimana diartikulasikan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan salah satu isu yang menjadi perhatian global. Pelaksanaan SDGs harus melibatkan seluruh aspek kehidupan, termasuk aspek bisnis di berbagai sektor. Di sektor keuangan, salah satu wujud komitmen keberlanjutan adalah konsep green financing. Tujuannya adalah untuk mendorong sponsor perusahaan yang menghormati lingkungan dan menggunakan energi bersih.
Pada dasarnya, instrumen keuangan utama dalam Green Financing adalah utang dan ekuitas. Komponen utang dan ekuitas merupakan investasi terbaik dalam meembangun sektor keuangan berkonsep kelingkungan. Ekuitas tersebut dapat merujuk pada saham-saham perusahaan yang telah berorientasi pada keberlanjutan lingkungan dalam jangka panjang, hal ini dapat dinilai dengan output yang dihasilkan perusahaan berdampak bagi lingkungan. Suksesnya Green Financing didasarkan pada peluang yang baik untuk investasi di sektor swasta dan sektor dengan jangkauan yang lebih luas. Pelestarian ekosistem dunia membutuhkan modal yang besar, hal ini termasuk dengan modal tambahan dan modal investasi swasta yang menjadi sumber modal utama. Sumber pendanaan dari investasi tersebut, digunakan untuk mengatasi hambatan kebijakan, memperkuat kapasitas kelembagaan atau menunjukkan pendekatan konservasi yang inovatif, meletakkan dasar untuk investasi lebih lanjut.
Berdasarkan penelitian oleh IFAC, sekitar 81% mahasiswa akuntansi mengatakan bahwa dampak utama pada bisnis di tahun 2024 adalah penurunan sumber daya alam. Akuntan memiliki peran penting dalam menyukseskan Green Financing, terutama dalam struktur keorganisasian perusahaan. Akuntan diharapkan dapat melihat permintaan yang lebih tinggi dalam pelaporan berkelanjutan dalam 10 tahun ke depan. Sebagai akuntan yang telah berorientasi pada misi lingkungan, akuntan tidak lagi terbatas pada pencatatan dan pelaporan kinerja bisnis, tetapi perlu bekerja sama dengan stakeholder untuk memitigasi risiko, menambah nilai, dan mengembangkan strategi green financing yang berkelanjutan.
Di Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga turut mendorong praktik green financing melalui kebijakan keuangan berkelanjutan yang tertuang dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap 1 (2015-2019) dan Tahap 2 (2021-2025), Peraturan OJK no. 51 tahun 2017 tentang Penerapan Keuangan Berkelanjutan, dan Taksonomi Hijau Indonesia (THI). THI disusun untuk memudahkan lembaga jasa keuangan (LJK) dalam menilai aktivitas ekonomi debitur terkait mitigasi perubahan iklim. Berdasarkan butuhkan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan pendanaan terkait perubahan iklim dalam jumlah yang memadai.
- Meningkatkan daya tahan dan daya saing LJK, Emiten, dan Perusahaan Publik melalui pengelolaan risiko sosial dan Lingkungan Hidup yang lebih baik dengan cara mengembangkan produk dan/atau jasa keuangan yang menerapkan prinsip Keuangan Berkelanjutan sehingga mampu berkontribusi positif pada stabilitas sistem keuangan.
- Mengurangi kesenjangan sosial, mengurangi dan mencegah kerusakan Lingkungan Hidup, menjaga keanekaragaman hayati, dan mendorong efisiensi pemanfaatan energi dan sumber daya alam
- Mengembangkan produk dan/atau jasa keuangan yang menerapkan prinsip Keuangan Berkelanjutan.
THI mencakup pengklasifikasian 919 subsektor ekonomi, dari total 2.733 subsektor, dengan menggunakan sistem traffic light (lampu merah). Terdapat tiga klasifikasi yang membedakan antar sektor dalam program THI,, yakni merah, kuning, dan hijau. Merah merupakan sektor yang tidak ramah lingkungan dan memerlukan penangan lebih dalam hal pemeliharaan lingkungan. Kuning adalah sektor yang bertransisi menuju prinsip Environment, Social and Governance (ESG) dan tidak berpotensi membahayakan lingkungan. Sedangkan hijau adalah kondisi ideal, yaitu yang berdampak positif terhadap lingkungan. Penggunaan THI diharapkan membantu perbankan dalam membiayai bisnis yang ramah lingkungan. Sejalan dengan program THI, OJK juga mengeluarkan kebijakan terkait penerbitan efek dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 60/POJK.04/2017 tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang Berwawasan Lingkungan.
Penerapan green finance dapat menguntungkan perbankan melalui peningkatan reputasi. Investor disinyalir merespon positif penerapan ESG dan green banking, yang dapat dilihat dari kenaikan ESG rating perusahaan. Direktur Kepatuhan Bank BRI, A. Solichin Lutfiyanto, menilai penerapan ESG dapat meningkatkan daya saing perusahaan, terutama dalam menghadapi generasi millennial yang menilai penting reputasi suatu perusahaan. Meskipun demikian, beberapa pengamat berpendapat bahwa penerapan ESG masih akan menghadapi beberapa tantangan, antara lain:
- Keterbatasan jumlah proyek berkelanjutan dikarenakan nasabah kesulitan memenuhi persyaratan seperti seperti sertifikasi ISPO/RSPO atau investasi teknologi hijau agar dapat dikategorikan sebagai sektor hijau.
- Biaya dan manfaat kegiatan ekonomi atau disebut eksternalitas seperti polusi udara dan air, tidak diinternalisasi dalam sistem penetapan harga
- Kurangnya informasi juga menjadi tantangan karena beberapa investor yang bertanggung jawab secara lingkungan dan sosial tidak mengetahui tempat atau perusahaan untuk berinvestasi. Selain itu, investor tidak memiliki data atau alat untuk menganalisa investasi dalam proyek ramah lingkungan
- Ekosistem green finance masih dalam tahap awal perencanaan. Pendukung ekosistem tersebut, seperti regulasi, kerangka kerja serta standarisasi produk green finance masih dalam tahap pengembangan.
- Portofolio pembiayaan atau instrumen hijau yang masih relatif rendah, serta data pendukung yang belum memadai. Tantangan ini sesuai dengan fakta bawa secara global, belum terdapat standar pelaporan dan metode pengukuran risiko untuk menghitung risiko finansial yang terkait dengan iklim dalam neraca bank.
- Kurangnya insentif bagi perusahaan. Meskipun masyarakat semakin sadar akan konsep green finance, terutama pada generasi muda, pertimbangan ekonomi masih menjadi prioritas utama. Penerapan prinsip ESG menimbulkan biaya tambahan bagi perusahaan. Disisi lain, penerapan prinsip ESG juga tidak memberikan timbal balik yang sangat menguntungkan bagi perusahaan. Biaya pungutan untuk green bond, misalnya, hanya sebatas 5%, dan secara perhitungan bank tidaklah signifikan. Kemudian, sertifikasi green yang tidak mudah, dimana biaya yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan fasilitas yang didapatkan.
- Aturan yang cenderung bersifat sebagai anjuran tanpa adanya insentif atau penalti. Adanya insentif bagi bank untuk mendorong pembiayaan kepada sektor hijau dapat digunakan sebagai pendorong investasi dalam keuangan berkelanjutan. Sementara penalti dapat mendorong kepatuhan dikalangan LJK untuk menerapkan prinsip ESG. Dengan tidak adanya kedua instrumen tersebut, penerapan ESG akan kurang maksimal.