Penerimaan pajak merupakan salah satu instrumen negara dalam membangun infrastruktur dan mewujudkan kesejahteraan nasional. Sejatinya, pajak berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, pemerintah bersama masyarakat sudah seharusnya berupaya untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan menjalankan fungsinya masing-masing. Pemerintah membuat kebijakan yang tepat sedangkan rakyat mematuhi kebijakan tersebut.
Menurut Organization of Economic Co-operation and Development (OECD), Tax Ratio pajak terhadap PDB Indonesia masih rendah, jauh berada di bawah rata-rata negara yang bergabung dalam OECD yakni 34,3%. Ekonom Senior OECD, Andrea Goldstein mengatakan bahwa penyebab dari rendahnya tax ratio Indonesia adalah kepatuhan pajak yang buruk, insentif dan pengurangan tarif yang meluas, serta minimnya orang yang membayar Pajak Penghasilan Pribadi (PPh Pribadi).
Terlebih, ketika masa pandemi menerpa. Realisasi APBN Indonesia pada tahun 2020 mengalami defisit sebesar Rp 947,6 triliun. Defisit tersebut bahkan hingga di atas 6 persen dari PDB Indonesia .Di sisi lain, pemerintah ingin meningkatkan penerimaan pajaknya, tetapi melihat kondisi yang demikian membuatnya harus menerapkan kebijakan fiskal ekspansif mengingat keadaan ekonomi yang sedang “letih”.
Selama masa pandemi, banyak restrukturisasi anggaran terjadi demi menyelamatkan kepentingan dan konsensus bersama. Keadaan tersebut memengaruhi rasio penerimaan pajak terhadap PDB (Tax Ratio) Indonesia. Di tahun 2020, tax ratio berada pada angka 8,33 persen dan naik ke 9,11 persen di tahun 2021. Hal ini membuktikan kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat di tengah krisis. Optimisme untuk meningkatkan penerimaan di tahun 2022 terus berlanjut dengan mengimplementasikan UU HPP, salah satunya adalah kenaikan PPN menjadi 11% pada beberapa barang dan jasa.
Pengimplementasian UU HPP tersebut tidak terlepas dari recovery keadaan perekonomian Indonesia yang terus membaik. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021 sebesar 3,69% yang lebih tinggi jika dibandingkan kondisi pada tahun 2020 yang mengalami kontraksi sebesar 2,07%. Kemudian, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022 diproyeksikan sebesar 4,8-5,5%. Kondisi yang demikian telah memberikan sinyal bahwa keadaan perekonomian sedang dalam keadaan ekspansif sehingga pemerintah “tergerak’ untuk melakukan kebijakan fiskal kontraktif dengan meningkatkan penerimaan pajak demi menyokong pemulihan ekonomi yang sempat “sakit”.
Per tanggal 1 April 2022, pajak pertambahan nilai (PPN) mengalami kenaikan sebesar 1 persen dari yang semula hanya berpatok di 10 persen. Kenaikan PPN memengaruhi perilaku konsumsi masyarakat di kuartal ke-II tahun 2022. Hal ini sebagai imbas dari pengimplementasian Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Peraturan ini disusun dengan tujuan meningkatkan pemulihan perekonomian masyarakat dan konsolidasi anggaran fiskal yang berfokus dalam memperbaiki defisit anggaran.
Secara umum pengenaan PPN dikenakan atas objek:
- Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP), misalnya PPN terhadap kosmetik dan pakaian yang dibeli di pusat perbelanjaan.
- Impor BKP dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP)/BKP Tak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Misalnya: layanan streaming film dan musik.
- Ekspor BKP dan/atau JKP oleh PKP
- Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan. Misalnya, PPN atas bangunan.
- Penyerahan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
Namun, terdapat Barang dan jasa tertentu yang tetap diberikan fasilitas bebas PPN antara lain barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa sosial, jasa asuransi, jasa keuangan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, vaksin, buku pelajaran dan kitab suci, air bersih termasuk biaya sambung/pasang dan biaya beban tetap, listrik, rusun sederhana, rusunami, RS, RSS, jasa konstruksi untuk rumah ibadah dan jasa konstruksi untuk bencana nasional, mesin, hasil kelautan perikanan, ternak, bibit/benih, pakan ternak, pakan ikan, bahan pakan, jangat dan kulit mentah, bahan baku kerajinan perak, minyak bumi, gas bumi, panas bumi, emas batangan dan emas granula, senjata/alutsista, dan alat foto udara. Sedangkan barang tertentu dan jasa tertentu yang tetap tidak dikenakan PPN antara lain barang yang merupakan objek Pajak Daerah, jasa yang merupakan objek Pajak Daerah, uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, surat berharga, jasa keagamaan, dan jasa yang disediakan oleh pemerintah.
Secara global, tarif PPN Indonesia sebenarnya masih berada di bawah rata-rata. Namun, dalam skala ASEAN, Indonesia menempati urutan kedua. Berikut grafik perbandingan tarif PPN Indonesia dibandingkan negara sahabat ASEAN lainnya.
Selain kenaikan PPN, Undang Undang HPP juga mengatur terkait pengampunan pajak (Tax Amnesty), UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Cukai, dan UU KUP. Hal ini semata-mata untuk meningkatkan kinerja penerimaan pajak yang telah bekerja dengan ekstra semasa pandemi. Pengesahan UU HPP juga diharapkan dapat menopang penerimaan negara sebab uang yang masuk dari wajib pajak dapat menambah modal pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui program pendidikan, kesehatan, perumahan dan pembangunan infrastruktur.
Kenaikan level konsumsi masyarakat dan produksi domestik yang relatif stabil seiring pemulihan aktivitas perekonomian menjadi alasan pemerintah dalam melakukan reformasi perpajakan. Reformasi di sektor pajak perlu dilakukan untuk menyesuaikan dengan kondisi dan kemampuan masyarakat saat ini. Kenaikan persentase Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% pada beberapa barang merupakan salah satu langkah konkret pemerintah dalam merespons meningkatnya konsumsi dan pendapatan per kapita masyarakat. Penerimaan yang didapat dari kebijakan ini nantinya sebagai instrumen konsolidasi fiskal untuk mendistribusikan kesejahteraan kepada seluruh masyarakat. Namun, pemerintah hendaknya berhati-hati dalam menerapkan kebijakan kenaikan tarif PPn ini karena momentumnya yang berdekatan dengan Bulan Ramadhan serta Hari Raya Idul Fitri. Ekonom dan Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengungkapkan, meskipun kebutuhan sembako tidak dikenakan PPN oleh pemerintah, tapi dikhawatirkan penjual akan menyesuaikan harga di level konsumen sehingga inflasi yang terjadi akan melonjak tinggi.