GoTo merupakan perusahaan Indonesia hasil merger dari dua Startup raksasa, yaitu Gojek dan Tokopedia. Kedua perusahaan tersebut mengumumkan merger ini pada tanggal 17 Mei 2021. Setelah merger, GoTo menjadi gabungan usaha terbesar yang pernah ada di Indonesia dan menjadi kombinasi terbesar antara dua perusahaan berbasis internet dan layanan media di wilayah Asia. Selain itu, GoTo memberikan kombinasi layanan e-commercer, on-demand, serta layanan keuangan dan pembayaran pertama di Asia. GoTo memiliki total Gross Transaction Value (GTV) secara grup lebih dari US$ 18 miliar pada 2020 yang menjadikan GoTo sebagai Decacron pertama di Indonesia, mencapai lebih dari 1,8 miliar transaksi pada 2020, lebih dari 2 juta mitra driver yang terdaftar per Desember 2020, lebih dari 11 juta mitra usaha atau merchant per Desember 2020, lebih dari 100 juta pengguna aktif bulanan, dan berkontribusi 2 persen pada total PDB Indonesia.
GoTo menawarkan berbagai produk finansial dengan tujuan membantu konsumen dan pelaku usaha kecil di Indonesia untuk berkembang, tujuan ini sejalan dengan tujuan kedua perusahaan sebelumnya. Gojek bertujuan untuk memberdayakan pengusaha mikro agar dapat menciptakan berbagai layanan yang membuat kota lebih mudah diakses dan menarik. Sedangkan, Tokopedia ingin mewujudkan pemerataan ekonomi secara digital, memberdayakan jutaan konsumen dan pedagang melalui platform marketplace. Dengan latar belakang tujuan yang sama itulah, Gojek dan Tokopedia memilih melakukan merger dan saling melengkapi serta mendukung satu sama lain.
Pada awal perkembangannya, GoTo terlibat sengketa merek dagang dengan PT. Terbit Financial Technology. TFT menggugat Gojek dan Tokopedia Rp2,08 Triliun atas penggunaan merek ‘GOTO’. Gugatan ini diakui pihak Gojek Tokopedia dalam prospektus perusahaan.
Sengketa ini berawal pada 2 November 2021 ketika PT Terbit Financial Technology mengajukan gugatan atas tuduhan pelanggaran merek oleh GoTo dan Tokopedia di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan Registrasi Perkara No. 71/Pdt.Sus-Merek/2021/PN.Niaga.Jkt.Pst. Dalam gugatan tersebut PT TFT menuntut pengadilan untuk menyatakan bahwa GoTo telah melakukan pelanggaran terhadap merek ‘GOTO’ yang dimiliki oleh PT TFT. Penggugat juga memerintahkan GoTo untuk membayar ganti rugi atas kerugian materiel dan imateriel kepada PT TFT. Pengadilan lantas diminta untuk mengeluarkan perintah penghentian penggunaan merek ‘GOTO’ dan variannya. Sengketa ini masih berlanjut hingga saat ini dan sedang melalui masa persidangan.
Pembentukan GoTo Grup mengombinasikan layanan e-commerce, on demand, dan layanan keuangan serta pembayaran dengan nama “Dompet Karya Anak Bangsa” yang tentunya dapat memperbanyak merchant yang bisa mencakup lebih banyak konsumen dan memiliki akses data yang besar untuk dapat dikelola sebagai sumber pendapatan baru. Layanan tersebut berhasil menjadikan Goto grup sebagai platform pertama di Asia Tenggara yang menyediakan layanan penting dalam satu ekosistem. Dalam pengoperasiannya, GoTo Grup disokong oleh investor perusahaan ternama, diantaranya Alibaba Group, Astra International, BlackRock, Capital Group, DST, Facebook, Google, JD.com, KKR, Pacific Century Group, Northstar, Paypal, Provident, Sequoia Capital, SoftBank Vision Fund 1, Telkomsel, Temasek, Tencent, Visa, dan Warburg Pincus.
Sebelum melakukan Initial Public Offering (IPO) GoTo telah melakukan funding kepada investor lain yang saat itu harga penawarannya Rp 377 per lembar. Dari transaksi tersebut, GoTo telah menggunakan sebesar $1,3 Miliar sebagai suntikan modalnya. Uniknya lagi, GoTo juga membagikan sahamnya kepada mitra drivernya sehingga mereka menjadi bagian dari pemegang saham perusahaan.
Pada tanggal 11 April 2022, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GoTo) resmi melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia. Dalam proses IPO nya GoTo melakukan penawaran harga saham di Rp 316 – 346 per lembar dengan proyeksi perolehan dana sebesar Rp 18 triliun. IPO GoTo menjadi hal yang menarik, karena menjadi market leader yaitu perusahaan teknologi terbesar di Indonesia. Nilai IPO GoTo juga menjadi nilai kedua terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan perolehan dana sebesar Rp17,99 triliun. Dalam masa pra IPO, GoTo juga sudah mengantongi dana sebesar US$400 juta atau sekitar Rp 5,7 triliun dari penggalangan dana yang dipimpin oleh anak usaha Abu Dhabi Investment Authority (AIDA).
Dalam penerapan IPO GoTo memiliki hal unik yang berbeda dengan emiten IPO lainnya. GoTo menerapkan sistem Multiple Voting Share (MVS) dalam menjalankan perusahaannya, dimana pemegang saham seri A yaitu pemegang saham publik dan lainnya mendapatkan hak suara sebanyak 1 perlembar sahamnya. Sedangkan pemegang saham seri B yaitu khusu pendiri GoTo mendapatkan hak suara ganda yang memberikan ruang kepada para pendiri GoTo agar lebih leluasa dalam menjalankan perusahaan.
Dalam mekanismenya, GoTo menggunakan sistem greenshoe untuk menunjukkan komitmennya kepada para calon investor dan para pemegang saham existing. Greenshoe merupakan hak yang diberikan kepada underwriter IPO untuk menjual lebih banyak saham ke publik ketika demand dalam pasar berlebihan. Kemudian apabila hasil penjualannya lebih maka bisa dipakai untuk membeli sahamnya lagi ketika harganya jatuh di bawah harga IPO dengan syarat maksimal 15% dari saham IPO dan jangka waktu pelaksanaan maksimal 30 hari.
Tujuan GoTo menerapkan Greenshoe yaitu untuk menstabilkan harga saham apabila mengalami penurunan hingga dibawah harga IPO, kemudian hal ini juga digunakan untuk menarik investor dan merasa lebih aman karena setelah listing harga saham akan terus dijaga. Dalam penerapan Greenshoe ini, GoTo akan melepas 52 miliar saham ke publik. Apabila demand nya berlebihan, maka underwriter bisa menjual tambahan 7,8 miliar lagi. Apabila hal ini terjadi, maka GoTo akan mendapatkan dana 1 triliun dari IPO saham biasa dan 2,5 triliun dari IPO saham dengan sistem greenshoe. Selain itu, GoTo juga bekerjasama dengan CIMB Securities, dimana apabila setelah 30 hari listing di Bursa Efek harga saham GoTo turun dibawah harga IPO, maka CIMB Securities akan melakukan pembelian untuk menstabilkan harga.
Sesuai dengan Pasal 6 POJK No. 22/2021 GoTo mewajibkan pemegang saham seri B yaitu para pendirinya untuk melakukan Lock Up selama 2 tahun. Lock Up ini mewajibkan para pemegang saham seri B tersebut agar tidak dapat menjual sahamnya dalam periode tersebut. Ketentuan ini dilakukan untuk menunjukkan komitmen GoTo agar tidak menjadikan IPO sebagai cara keluar cepat atau jalan pintas bagi para pemegang saham seri B dalam mengambil keuntungan.
Dana IPO akan digunakan oleh GoTo untuk strategi pengembangan, termasuk akuisisi pelanggan, penjualan dan pemasaran, pengembangan produk, ekspansi pasar, dan beban operasional. Adapun untuk porsinya dibagi menjadi enam bagian, yaitu untuk GoTo sendiri sebagai modal kerja sebesar 30%, Tokopedia untuk lokapasar sebesar 30%, Gopay 25%, Gojek Vietnam dan Gojek Singapura 5%, serta Multifinance anak sebesar 5%.
GoTo memiliki valuasi tertinggi di Indonesia yang mencapai US$18 miliar. Nilai tersebut didapatkan berdasarkan putaran penggalangan dana Gojek pada 2019 dan Tokopedia pada awal 2020. Apabila dilihat dari kinerja keuangannya, GoTo memiliki total Gross Transaction value (GTV) Rp 325 triliun pada tahun 2021 dan tumbuh sebesar 34,86% dari tahun 2020 dan diperkirakan akan naik dari tahun ke tahun. Gross Transaction Value ini merupakan jumlah total transaksi yang dilakukan melalui aplikasi, dimana makin besar GTV nya maka makin bagus kinerja keuangannya.
Di Asean, GoTo bukan satu satunya raksasa teknologi, terdapat beberapa pesaing besarnya yaitu Grab dan SEA yang sama sama mengembangkan teknologi. Dari sisi pendapatan, GoTo mengalami peningkatan dari Rp 2,34 triliun ke Rp 3,4 triliun atau sebesar 45,49% pada 2021 dan diperkirakan akan terus meningkat. Nilai ini memang masih tergolong kecil dibanding pendapatan Grab dan SEA. Pendapatan Grab mencapai Rp 7,9 triliun dan tumbuh 121,2% lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Sedangkan pendapatan SEA mencapai Rp 96,38 triliun dan tumbuh sebesar 139,68% lebih tinggi dari tahun sebelumnya. Untuk kerugian bersihnya, pada tahun 2021 GoTo memiliki kerugian paling kecil dibanding Grab dan Sea. GoTo mengalami rugi bersih sebesar Rp12,25 triliun atau meningkat sebesar 7,17%, sedangkan Grab mengalami rugi bersih sebesar Rp35,14 triliun atau meningkat sebesar 16,36%. Peningkatan keduanya masih tergolong kecil dibanding kerugian SEA, karena pada tahun 2021 SEA mengalami rugi bersih sebesar Rp20,42 triliun yang artinya kerugiannya meningkat sebesar 29,73% dari tahun sebelumnya. Kerugian ini masih umum terjadi pada perusahaan perusahaan besar, karena mereka masih harus fokus pada inovasi produk, perluas jaringan, dan marketing yang diperkirakan kerugiannya akan terus meningkat dari tahun ke tahun. (nilai ini dihitung berdasarkan Kurs Rp14.315 per dolar AS). Untuk GTV-nya sendiri, GoTo berada di peringkat kedua jika dibandingkan dengan Grab dan SEA.
Apabila dilihat dari indikator-indikator tersebut, posisi GoTo dan Grab sangat ketat dalam persaingannya. Sedangkan SEA masih menjadi perusahaan teknologi terbesar di Asean, dimana sumber pendapatan utamanya didapatkan dari Shopee yaitu sebesar 53,94%. Perusahaan besar umumnya masih mengalami kerugian bersih, karena dananya akan diputar untuk pengembangan bisnisnya baik diferensiasi produk ataupun ekspansi pasar.
GoTo sebagai decacron pertama di Indonesia menyediakan layanan finansial dengan tujuan mulia, yaitu memberdayakan sektor usaha dan masyarakat Indonesia. Kehadiran GoTo juga membawa dampak signifikan pada atmosfer bisnis digital di wilayah Indonesia serta ASEAN pada umumnya. Dibalik banyaknya layanan finansial yang ditawarkan, GoTo tentunya memerlukan suntikan modal investor yang besar pula, hal ini terlihat dari nilai IPO GoTo yang mencapai Rp 15.8 Triliun. Jika dilihat dari nilai GTV dan track finansial, GoTo pasca IPO memiliki peluang yang baik dalam bersaing dengan perusahaan raksasa teknologi lainnya seperti Grab dan SEA.