Author: Aurel Diyah, Aurora Btari, dan Della Nurhaliza
Utang Garuda Indonesia meningkat sebesar 229% tahun 2020 dibandingkan dengan 2019 akibat penerapan PSAK 73. Perusahaan mencatat peningkatan yang signifikan dalam beban depresiasi dan beban keuangan, yaitu sebesar 738% dan 296. Informasi ini telah diungkapkan oleh perusahaan dalam catatan yang terdapat pada laporan keuangan konsolidasian perusahaan per tanggal 31 Desember 2020. Selain itu, total liabilitas perusahaan juga mengalami peningkatan drastis, mencapai US$12,73 miliar, naik sebesar 228,75% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar US$3,87 miliar.
Mulanya, lonjakan utang ini disebabkan oleh meningkatnya permintaan jasa yang memaksa Garuda untuk terus menambah kemampuan kapasitas industri. Namun, jika kita tinjau dari status quo, ternyata Garuda lebih memilih untuk menyewa aset tetap melalui leasing daripada membelinya. Leasing merupakan pilihan yang dapat mengurangi resiko keuangan perusahaan untuk alasan pertumbuhan dan perluasan operasi usaha. Secara khusus, pemilihan opsi sewa dapat lebih efisien karena metode ini dapat membantu menekan modal investasi.
Peningkatan utang yang mencolok ini berdampak pada total aset perusahaan, yang mencatat kenaikan sebesar 142%, mencapai US$10,78 miliar dari posisi sebelumnya sebesar US$4,45 miliar pada tahun 2019. Peningkatan ini terutama terjadi pada aset tidak lancar, yang meningkat menjadi US$10,25 miliar dari sebelumnya US$3,32 miliar, dengan peningkatan yang signifikan pada aset tetap.
Pada bulan September 2021, laporan keuangan Garuda Indonesia mencatat posisi defisit sebesar USD 2,8 miliar. Keadaan ini merupakan salah satu faktor teknis yang menyebabkan Garuda menghadapi masalah keuangan yang serius. Salah satu penyebab penurunan signifikan dalam neraca keuangan Garuda Indonesia adalah penerapan PSAK 73 oleh perusahaan selama tahun 2020-2021. Hal ini berkontribusi pada penurunan ekuitas yang semakin dalam, terutama karena pengakuan utang yang harus dibayar kepada lessor di masa depan.
Berdasarkan PSAK 73, transaksi sewa dikenakan prinsip pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan yang bertujuan untuk memastikan bahwa penyewa dan pesewa menyediakan informasi yang relevan dan akurat mengenai transaksi sewa. Informasi ini menjadi dasar bagi para pemakai laporan keuangan untuk menilai dampak transaksi sewa terhadap posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas perusahaan. PSAK 73, yang diterbitkan oleh IAI, menggantikan beberapa PSAK dan ISAK yang sebelumnya ada, seperti PSAK 30 tentang Sewa, ISAK 8 yang membahas penentuan apakah suatu perjanjian termasuk sewa, ISAK 23 yang mengatur sewa operasi insentif, ISAK 24 yang mengevaluasi substansi transaksi yang melibatkan bentuk hukum sewa, dan juga ISAK 23 yang berfokus pada Hak atas Tanah. PSAK 73 memperkenalkan model akuntansi tunggal untuk transaksi sewa, yang mana salah satu poin pentingnya adalah kewajiban penyewa untuk mengungkapkan aset hak guna dan liabilitas sewa pembiayaan dalam laporan keuangan mereka. Selain itu, pengklasifikasian antara sewa pembiayaan dan sewa operasi harus diakui secara berbeda oleh pesewa.
Sejak 1 Januari 2020, PSAK 73 mulai berlaku efektif dan beberapa entitas publik yang mengikuti IFRS. Penerapan ini pastinya akan berdampak pada cara laporan keuangan disajikan, terutama dalam hal pengakuan aset hak guna dan liabilitas sewa. Model akuntansi sewa tunggal yang diperkenalkan oleh PSAK 73 juga mempengaruhi cara pencatatan dan pengakuan beban serta liabilitas sewa. Perubahan dalam standar akuntansi ini memiliki dampak yang cukup signifikan, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara yang mengadopsi IFRS. Sebuah studi yang dilakukan oleh PwC pada tahun 2016 mengenai dampak kapitalisasi sewa terkait penerapan IFRS 16 menunjukkan bahwa rata-rata utang dari 3.199 entitas di seluruh dunia mengalami peningkatan sebesar 22%.
PSAK 73 membawa perubahan signifikan dalam pengakuan transaksi sewa, khususnya dalam hal sewa pembiayaan. Standar ini mengenalkan kriteria yang lebih luas untuk mengklasifikasikan transaksi sewa sebagai sewa pembiayaan. Dalam peraturan sebelumnya, terdapat sejumlah kriteria yang harus dipenuhi agar suatu transaksi dianggap sewa pembiayaan. Namun, PSAK 73 memfokuskan pada dua kriteria utama: jangka waktu sewa yang pendek (kurang dari 12 bulan) dan nilai sewa yang rendah. Ini berarti bahwa transaksi sewa yang sebelumnya mungkin dianggap sebagai sewa operasi sekarang harus diakui sebagai sewa pembiayaan. Perubahan ini bertujuan untuk mendorong perusahaan agar lebih transparan dalam mencerminkan komitmen keuangan mereka terkait dengan transaksi sewa.
Dalam melaksanakan PSAK 73 Sewa, perusahaan perlu memperhatikan beberapa aspek penting berikut:
1.Identifikasi Apakah Terdapat Kontrak Sewa atau Tidak
Perusahaan yang menyewa harus mampu mengklasifikasikan segala transaksi atau aktivitas sewa yang terjadi, termasuk sewa guna usaha dan sewa operasi sejak awal kontrak sewa terbentuk. Namun, dalam beberapa situasi tertentu, seperti sewa berjangka pendek (kurang dari 12 bulan), sewa aset bernilai rendah (seperti komputer atau laptop), atau jika perjanjian sewa tidak memiliki dampak material, perusahaan dapat memutuskan untuk tidak menganggapnya sebagai kontrak sewa.
2. Biaya yang Terkait dengan Kontrak Sewa
PSAK 73 juga mengatur mengenai biaya yang melekat pada kontrak sewa. Ini mencakup biaya-biaya seperti perawatan, renovasi, restorasi, dan biaya lain yang tercantum dalam kontrak sewa. Semua biaya ini harus diperhatikan dengan seksama dalam proses pengakuan dan pengukuran sewa.
3. Pengakuan Aset Hak Guna dan Liabilitas
PSAK 73 memperkenalkan aturan tentang pengakuan aset hak guna dan liabilitas yang berkaitan. Pengakuan aset hak guna harus dilakukan sebagaimana pengakuan aset lainnya, dan liabilitas hak guna harus diukur sesuai dengan prinsip pengukuran liabilitas keuangan lainnya. Aset hak guna merupakan aset yang diperoleh melalui kontrak sewa, dan perusahaan harus mengakui aset ini pada saat kontrak disahkan. Di samping itu, perusahaan juga harus mengidentifikasi liabilitas yang terkait dengan kontrak sewa dan mencatatnya sebagai liabilitas pada saat kontrak disahkan.
Penerapan PSAK 73 juga memerlukan penyesuaian retrospektif terhadap kontrak sewa yang sudah ada pada awal periode penerapannya. Banyak perusahaan harus mengubah saldo neracanya karena sejumlah besar transaksi sewa yang sebelumnya diabaikan harus sekarang diakui sebagai liabilitas sewa pembiayaan. Meskipun penyesuaian ini bisa menjadi tantangan, hal ini memastikan bahwa laporan keuangan mencerminkan dengan akurat posisi keuangan perusahaan.
Industri penerbangan adalah salah satu contoh yang menggambarkan dampak perubahan ini. Sebelum PSAK 73 diberlakukan, maskapai penerbangan sering tidak mencatat pesawat dalam laporan keuangan mereka, yang membuat rasio utang mereka terlihat rendah. Namun, sebenarnya mereka memiliki kewajiban pembayaran sewa jangka panjang yang signifikan. Dengan penerapan PSAK 73, transparansi meningkat dan perusahaan harus mencatat sewa pesawat sebagai liabilitas sewa pembiayaan, mencerminkan kewajiban yang sebenarnya. Ini membantu pengguna laporan keuangan untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang kondisi keuangan perusahaan tersebut.
Pergantian dalam perlakuan akuntansi yang diperkenalkan oleh PSAK 73 telah mengubah cara perusahaan mengelola transaksi sewa dalam laporan keuangan mereka. Klasifikasi transaksi sewa sebagai sewa pembiayaan atau sewa operasi sekarang tergantung pada kriteria tertentu, seperti durasi sewa dan nilai aset yang disewa. Perusahaan harus mengakui aset sewa hak guna yang sebelumnya tidak diakui sebagai aset dan mengklasifikasikannya sebagai aset tidak lancar. Selain itu, mereka juga harus mengakui liabilitas sewa yang sesuai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, yang dapat menjadi liabilitas jangka pendek atau jangka panjang. Hal ini merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa laporan keuangan mencerminkan dengan akurat dampak transaksi sewa terhadap posisi keuangan perusahaan.
Daftar Pustaka
Bayuaji, K. (2023). Analisis Kilas Balik Utang Garuda Indonesia (GIAA) Melonjak 229% Akibat Penerapan PSak 73. Medium. Diakses dari https://medium.com/@k.bayuaji/analisis-kilas-balik-utang-garuda-indonesia-giaa-melonjak-229-akibat-penerapan-psak-73-namun-ff0e4ba67d28
Bisnis.com. (2021). Utang Garuda (GIAA) Melonjak 229 Persen Akibat Penerapan PSak 73. Diakses dari https://market.bisnis.com/read/20210808/192/1427324/utang-garuda-giaa-melonjak-229-persen-akibat-penerapan-psak-73
Deloitte. (2016). Leases : a guide to IFRS 16.
IAI Global. (2023). Pernyataan SAK 84 (PSAK 73): Sewa. Diakses dari http://iaiglobal.or.id/v03/standar-akuntansi-keuangan/pernyataan-sak-84–psak-73-sewa
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). (2018). Draft Eksposur (DE) PSAK 73 atas Sewa
PwC. (2016). A study on the impact of lease capitalisation IFRS 16: The new leases standard. PwC network.
Tirani, U. G. (2018). Analisis dampak implementasi PSAK 73 terhadap laporan posisi keuangan dan rasio keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).