Author: Muhammad Adam; Editor: Mohammad Fachri, Ratri Dwiyanti
“Climate change is fast, much faster than it seems we have the capacity to recognize and acknowledge; but it is also long, almost longer than we can truly imagine.”
Demikian kutipan dari David Wallace-Wells dalam bukunya yang berjudul “The Unhabitable Earth”. Dengan populasi bumi yang saat ini melampaui 8 miliar jiwa, aktivitas ekonomi produksi yang tak pernah berhenti, dan ketidakstabilan iklim yang semakin meningkat, tak heran apabila kemudian muncul sebuah pertanyaan—bagaimana kondisi bumi di masa depan?
A Brief History of Carbon Accounting
Kemunculan tren greenhouse gas accounting atau carbon accounting telah diperkenalkan pada awal tahun 1970-an. Namun isu ini baru mendapat perhatian yang substansial pada awal tahun 2000-an setelah kesadaran akan urgensi krisis iklim meningkat. Buah dari kesadaran ini adalah ditandatanganinya Paris Agreement, yang secara hukum mengikat 196 negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca nasional, untuk memerangi dampak terburuk dari kondisi iklim saat ini. Perjanjian yang diadopsi pada tahun 2015 ini juga memainkan peran penting dalam mendorong dunia bisnis untuk mengurangi emisi karbon dan memonitor aktivitas penghasil karbon dengan menggunakan carbon accounting.
Principles of Carbon Accounting and Why It’s Essential
Carbon accounting merupakan salah satu bentuk aksi nyata dalam mewujudkan SDGs yang khusus mengatasi permasalahan iklim. Carbon accounting dapat didefinisikan sebagai proses penghitungan atau pencatatan jumlah emisi karbon yang dihasilkan (Kezia, 2024) baik secara langsung maupun tidak langsung dari aktivitas suatu organisasi atau entitas bisnis. Aktivitas bisnis atau organisasi akan menyumbang residu seperti karbon ke lingkungan yang menambah dampak buruk terhadap iklim. Aktivitas tersebut bisa berupa aktivitas langsung seperti proses manufaktur atau penjualan, maupun aktivitas tidak langsung seperti rantai pasok dari hulu ke hilir (konsumen).
Sumber: Crippa et al. (2023)
Data tersebut menunjukkan emisi gas rumah kaca tahunan secara global dari tahun 1970 hingga 2022, diukur dalam miliar metrik ton setara CO2. Pada tahun 1970, emisi global tercatat sekitar 25 miliar metrik ton setara CO2 dan mengalami peningkatan yang hampir terus menerus hingga mencapai sekitar 50 miliar metrik ton setara CO2 pada tahun 2022. Selama periode tersebut, terjadi beberapa fluktuasi kecil, terutama sekitar tahun 2008 dan 2020, yang dapat dikaitkan dengan krisis ekonomi global dan pandemi COVID-19. Peningkatan emisi gas rumah kaca berada dalam satu dekade tertinggi dengan total produksi CO2 sebanyak lebih dari sepuluh miliar ton metrik periode tahun 2000–2010. Ini menunjukkan eskalasi masalah yang memerlukan respons global yang komprehensif dan terkoordinasi. Secara keseluruhan, tren ini menunjukkan peningkatan signifikan dalam emisi gas rumah kaca, menyoroti tantangan yang dihadapi dalam upaya mitigasi perubahan iklim global.
Sumber: Crippa et al. (2023)
Berdasarkan data tersebut, sektor pembangkit listrik, transportasi, dan limbah pembakaran industri adalah tiga besar penyumbang emisi CO2 global pada tahun 2022. Upaya pengurangan emisi harus difokuskan pada sektor-sektor tersebut untuk mencapai dampak yang signifikan dalam mitigasi perubahan iklim. Inisiatif seperti peningkatan efisiensi energi, adopsi energi terbarukan, dan peralihan ke transportasi berkelanjutan akan menjadi respons yang sangat dibutuhkan. Sektor-sektor lain seperti industry process juga perlu dioptimalkan untuk mengurangi emisi. Meski pertanian menyumbang bagian yang kecil, upaya pengurangan emisi di semua sektor tetap penting untuk mencapai tujuan iklim global.
Carbon accounting memiliki kepentingan yang luar biasa besar karena peran kritis dan tak tergantikan yang dimainkan oleh bisnis dengan kontribusinya dalam menyumbang emisi. Menurut laporan Carbon Disclosure Project (CDP), hanya 100 perusahaan yang bertanggung jawab atas 70% emisi GHG industri dunia pada tahun 2017. Statistik ini menyoroti begitu besarnya dampak yang dihasilkan oleh sejumlah perusahaan terhadap perubahan iklim global.
How Carbon Accounting Works
Seperti yang telah diketahui, carbon accounting berusaha untuk mengkuantifikasi jumlah emisi yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dengan melacak dan menghitung jumlah karbon yang dikeluarkan dari seluruh kegiatan perusahaan dalam value chain. Jumlah emisi yang dihasilkan ini biasanya disebut sebagai greenhouse gas (GHG) atau sederhananya sebagai gas rumah kaca. CO2 menjadi gas yang paling umum ditemukan dan sering diklasifikasikan sebagai emisi, hal ini membuatnya dijadikan sebagai metrik utama dalam pengukuran GHG. Selain itu, untuk menghitung total emisi yang dikeluarkan, perusahaan juga harus mengalikan GHG dengan Global Warming Potential (GWP), yaitu suatu rasio yang menghitung seberapa besar energi dari satu ton emisi sebuah gas yang dapat diserap pada suatu periode dibandingkan dengan emisi dari satu ton CO2. Maka dari itu, semakin tinggi GWP, semakin besar pula porsi GHG tersebut berkontribusi terhadap pemanasan global.
Sumber: National Grid (2023)
Menurut GHG Protocol, sebuah badan organisasi pembentuk dasar standarisasi seperti IFRS khusus untuk carbon accounting, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan perusahaan dibagi menjadi tiga kategori. Ketiga kategori tersebut terdiri dari lingkup 1 dan 2 yang wajib dilaporkan serta lingkup 3 bersifat opsional tetapi paling sulit dilacak. Perusahaan yang secara lengkap melakukan pelaporan atas ketiga lingkup tersebut tentunya mendapatkan manfaat yang lebih besar dan dapat meningkatkan keunggulan kompetitifnya dalam jangka panjang.
Pada lingkup pertama, emisi gas rumah kaca dihitung berdasarkan banyaknya karbon yang dihasilkan dari kegiatan atau aset yang dimiliki perusahaan. Dengan kata lain, emisi yang dikeluarkan menuju udara adalah hasil dari kegiatan operasional perusahaan. Apabila perusahaan tidak melakukan aktivitas operasionalnya sehingga tidak mengeluarkan emisi karbon, maka nilai emisi karbon lingkup 1 adalah nihil. Contoh dari emisi gas lingkup pertama adalah penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil untuk aktivitas operasional perusahaan. Karena itu, apabila perusahaan menggunakan kendaraan listrik, emisi perusahaan berubah menjadi kategori lingkup kedua.
Kategori emisi lingkup kedua sering disebut sebagai indirect owned emission. Hal ini disebabkan perusahaan menghasilkan emisi secara tidak langsung melalui pembelian bahan bakar untuk menghasilkan energi yang digunakan dalam kegiatan operasional perusahaan. Kategori lingkup kedua memberikan definisi yang lebih luas dalam mengakui jumlah emisi yang dihasilkan. Perusahaan bisa saja menggunakan energi bersih yang tidak menghasilkan emisi dalam kegiatan operasionalnya, melainkan energi bersih tersebut berasal dari sumber yang menghasilkan emisi. Pada contoh kendaraan listrik, energi bersih yang digunakan tentunya tidak diklasifikasikan sebagai kategori lingkup 1 karena pada kegiatan operasionalnya, kendaraan listrik tersebut tidak menghasilkan emisi. Namun, apabila ternyata sumber listrik berasal dari pembangkit listrik tenaga uap yang menghasilkan emisi, tentunya perusahaan wajib mengakui emisi tersebut dalam laporannya. GHG Protocol mewajibkan untuk melaporkan kedua lingkup kategorisasi tersebut sebagai bentuk pelaporan penuh atas segala aktivitas perusahaan, tidak hanya melihat dari segi produksinya saja.
Lingkup kategori ketiga mencakup segala bentuk emisi yang dihasilkan dari keseluruhan value chain perusahaan mulai dari upstream hingga downstream. Emisi pada lingkup ketiga adalah keseluruhan emisi dikurangi dengan kategori lingkup pertama dan kedua. Emisi yang dihasilkan bukan berasal dari perusahaan itu sendiri namun dari seluruh pihak yang memiliki hubungan dengan perusahaan terlapor. Contohnya adalah ketika dalam instalasi atau perbaikan untuk stasiun pengisian daya mobil listrik perusahaan menggunakan jasa dari pihak lain. Seluruh emisi yang dihasilkan dari pihak tersebut dalam melakukan perbaikan akan dihitung sebagai emisi kategori lingkup ketiga. GHG Protocol tidak mewajibkan untuk melaporkan lingkup ketiga karena perusahaan terlapor sejatinya tidak memiliki kendali penuh dalam mengontrol jumlah emisi dari pihak-pihak yang berhubungan dengannya.
Accounting and Its Grand Opportunity
Carbon accounting tidak hanya menjadi sebuah kewajiban atau pertanggungjawaban semata atas jejak karbon yang dihasilkan, tetapi lebih dari itu, carbon accounting memberikan kesempatan-kesempatan bagi perusahaan untuk mengelola efisiensi emisi karbon untuk keberlanjutan. Dalam hal operasional, carbon accounting memungkinkan perusahaan untuk mengidentifikasi sumber utama emisi GHG dalam operasi mereka. Dengan data yang tepat dan akurat, perusahaan dapat mengoptimalkan proses operasional mereka untuk mengurangi emisi, seperti meningkatkan efisiensi energi atau mengurangi limbah.
Di tengah isu iklim dan lingkungan yang semakin menjadi sorotan, penggunaan carbon accounting menjadi sebuah keunggulan kompetitif tersendiri untuk perusahaan. Transparansi dalam carbon accounting dapat membangun kepercayaan dengan pemangku kepentingan, termasuk pelanggan, investor, dan regulator. Perusahaan yang terbuka tentang jejak karbon mereka dan langkah-langkah yang diambil untuk menguranginya lebih mungkin mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Selain itu, perusahaan yang menunjukkan komitmen terhadap pengurangan emisi karbon dapat menggunakan hal ini sebagai bagian dari strategi branding dan pemasaran mereka. Reputasi sebagai perusahaan yang bertanggung jawab secara lingkungan dapat meningkatkan daya tarik bagi pelanggan yang sadar lingkungan.
Komitmen bersama terhadap emisi karbon pada akhirnya menghasilkan wadah transaksi/perdagangan karbon. Menurut Bank Dunia dalam laporan “State and Trends of Carbon Pricing 2023” yang dirilis pada 23 Mei, saat ini, hampir seperempat emisi gas rumah kaca global atau 23 persen sudah tercakup oleh 73 instrumen pengurangan karbon, baik dalam bentuk ETS maupun pajak karbon. Cakupan itu meningkat dari tujuh persen pada satu dasawarsa lalu ketika Bank Dunia memulai laporan itu. Sebuah pasar pasti ada pembeli dan penjual yang saling berinteraksi. Dalam pasar karbon istilah pembeli merujuk kepada perusahaan yang menghasilkan CO2 dalam volume yang tinggi melakukan pembelian kredit karbon terhadap perusahaan yang sedikit sekali menghasilkan CO2. Sebaliknya, penjual adalah perusahaan yang menjual kredit karbon kepada perusahaan yang menghasilkan emisi CO2 yang tinggi.
Ketika dunia bisnis berkembang semakin pesat, tak terelakkan bahwa emisi karbon yang dihasilkan akan semakin meningkat. Hal ini berimplikasi kepada pemanasan global yang semakin signifikan. Oleh karena itu, pencatatan emisi karbon menjadi alat yang penting untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Dalam beberapa waktu ke depan, seiring berkembangnya ekosistem teknologi dan regulasi, diharapkan carbon accounting mewujudkan SDGs untuk dunia yang lebih baik.
Referensi
Aiuto, K., Huckins, S., & Momblanco, H. (2024). What are greenhouse gas accounting and corporate climate disclosures? 6 questions, answered. World Resources Institute. Diperoleh dari https://www.wri.org/insights/ghg-accounting-corporate-climate-disclosures-explained
Crippa, M., et al. (2023). GHG EMISSIONS OF ALL WORLD COUNTRIES JRC SCIENCE FOR POLICY REPORT. Diperoleh dari https://edgar.jrc.ec.europa.eu/booklet/GHG_emissions_of_all_world_countries_booklet_2023report.pdf
Farbstein, E., Vallinder, A., & Buchmann, L. (2024, April 10). Carbon accounting, explained. Normative. Diperoleh dari https://normative.io/insight/carbon-accounting-explained/
Farnham, K. (2024, February 19). Carbon accounting guide: Standards, best practices & choosing the right software. Diligent Corporation. Diperoleh dari https://www.diligent.com/resources/blog/carbon-accounting
Jackman, H. (2022, July 8). What are carbon reporting scopes? ESG pro Ltd. Diperoleh dari https://esgpro.co.uk/what-are-carbon-reporting-scopes/
National Grid. (2023, June 13). What are scope 1, 2 and 3 carbon emissions?. National Grid Group. Diperoleh dari https://www.nationalgrid.com/stories/energy-explained/what-are-scope-1-2-3-carbon-emissions
World Bank. (2024). State and trends of carbon pricing 2024. Washington, DC: World Bank. Diperoleh dari https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2024/05/21/global-carbon-pricing-revenues-top-a-record-100-billion