Universitas Gadjah Mada Ikatan Mahasiswa Akuntansi Gadjah Mada
Accounting Students Association of Gadjah Mada
  • Home
  • About Us
    • IMAGAMA
      • Brief History
      • Vision, Mission, and Function
      • Values and Culture
      • Board of Director
      • Organizational Structure
    • Bureaus
      • Human Resource
      • Media & Information System
      • Finance & Administration
    • Departments
      • Career Preparation
      • External Affairs
      • Intellectual Development
      • Organizational Affinity and Service
      • Sport, Art, & Society
  • IDE Corner
    • IDE Times (Article)
    • AQUIFER (Facts & Quiz)
    • ISC & Test Bank
    • Inspiring Stories
  • Opportunities
    • Competitions
    • Scholarships
    • Internship & Career
    • Seminar & Trainings
    • Our Events
  • Contact Us
  • Beranda
  • News
Arsip:

News

[Kolaborasi IDE Times X ESC] THR dan Ekonomi Lebaran: Antara Euforia Konsumsi dan Inflasi Musiman

IDE Times (Accounting Article) Friday, 1 August 2025

Author: Adrianus Marselinus Senayuda Dhityra, Gheriya Zahra Aryahiyyah, Muhammad Fadhlan Hakim, Pijar Sahistya Mahiswara; Editor: Farabiana Indira Pamungkas, Mirza Rashid

 

Setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri, satu topik yang hampir selalu menjadi perhatian publik adalah Tunjangan Hari Raya (THR). Baik di meja makan keluarga, grup WhatsApp kantor, hingga lini masa media sosial, THR menjadi topik hangat bukan sekadar soal “dapat atau tidak”, tetapi juga bagaimana uang tersebut akan digunakan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ribuan perusahaan telah menyalurkan THR kepada para pekerja. Beberapa bahkan melengkapinya dengan bingkisan Lebaran sebagai bentuk apresiasi. Misalnya di Semarang, seorang pekerja produksi di PT AST Indonesia mengaku menerima THR sebesar Rp3,4 juta yang langsung masuk ke rekeningnya sebelum pertengahan Ramadhan. Sementara itu, di Bogor, pekerja PT Coats Rejo bersuka cita karena tak hanya menerima THR, tetapi juga paket Lebaran dari perusahaan. Fenomena ini menunjukkan bagaimana THR menjadi aliran dana besar yang tidak hanya menyentuh dompet para pekerja, tetapi juga menggerakkan perekonomian secara lebih luas.

Namun, di balik euforia tahunan ini, THR sesungguhnya memiliki peran ekonomi yang jauh lebih besar daripada sekadar tambahan pendapatan pribadi. Ia berfungsi layaknya stimulus musiman yang memicu konsumsi, menghidupkan sektor-sektor tertentu, dan mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam perspektif ekonomi makro, THR dapat dilihat sebagai penggerak money supply, pemicu inflasi musiman, dan saluran desentralisasi pendapatan dari pusat-pusat likuiditas ke sektor konsumsi rakyat. Dengan mengacu pada teori-teori klasik seperti teori kuantitas uang oleh Irving Fisher dan teori fungsi konsumsi oleh Keynes, kita dapat menelusuri bagaimana THR membentuk pola ekonomi tahunan yang sangat khas di Indonesia.

Pembahasan berikut ini akan menguraikan lebih dalam tentang peran strategis THR dalam siklus ekonomi Indonesia, mulai dari sisi permintaan, produksi, distribusi pendapatan, hingga efek penggandanya terhadap PDB. Tidak hanya berdasarkan teori, tetapi juga dikuatkan oleh data dan fenomena empiris yang terjadi di lapangan.

 

THR dan Dampaknya terhadap Money Supply

Setiap tahun menjelang Hari Raya Idul Fitri, pemerintah dan pelaku usaha swasta memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada para pekerja. Dalam konteks ekonomi makro, THR dapat diibaratkan sebagai tombol stimulus ekonomi yang ditekan oleh pemerintah dan pelaku ekonomi lainnya. Sekali tekan, uang dalam jumlah besar bahkan mencapai miliaran hingga triliunan rupiah langsung mengalir deras ke tangan masyarakat.

Dalam istilah ekonomi, fenomena ini dikenal sebagai penambahan money supply yang beredar di masyarakat. Namun penting untuk dicatat bahwa, THR tidak menciptakan uang baru, melainkan mengedarkan uang yang sebelumnya tidak aktif atau tidak beredar secara luas. Hal ini mirip dengan kebijakan ekspansi moneter, di mana uang yang sebelumnya mengendap kini beredar kembali melalui konsumsi masyarakat.

Mengacu pada prinsip-prinsip makroekonomi yang dijelaskan oleh N. Gregory Mankiw, peningkatan jumlah uang beredar di masyarakat akan menyebabkan pergeseran dari money supply awal ke money supply yang lebih besar. Uang yang lebih banyak di tangan masyarakat akan mendorong konsumsi, meningkatkan permintaan agregat, dan akhirnya menaikkan tingkat harga. Fenomena ini lazim disebut sebagai inflasi musiman, di mana harga-harga barang dan jasa meningkat karena konsumsi masyarakat melonjak dalam waktu singkat, terutama menjelang dan saat Lebaran. Peningkatan konsumsi tersebut juga mendorong pergeseran kurva aggregate demand short run, menandai fase booming ekonomi jangka pendek. Pada titik ini, sektor ritel hidup kembali, pusat perbelanjaan penuh sesak, dan transaksi meningkat pesat. Namun, fase ini bersifat sementara. Ketika euforia Lebaran mulai surut dan dana THR habis terpakai, masyarakat dihadapkan pada kenyataan bahwa pendapatan kembali normal sementara harga-harga masih tinggi. Konsumsi pun menurun, menyebabkan permintaan agregat bergeser kembali posisi semula.

Secara teori, penurunan konsumsi dapat mendorong produsen untuk menyesuaikan output yang tercermin dalam pergeseran kurva aggregate supply ke kiri. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti kontrak upah, ekspektasi inflasi, hingga rigiditas struktural di pasar tenaga kerja. Namun, dalam konteks Indonesia, koreksi justru lebih sering terjadi di sisi permintaan. Setelah Lebaran, daya beli masyarakat menurun drastis, khususnya di kalangan pekerja informal dan ritel kecil. Karena sektor ini sangat responsif terhadap perubahan konsumsi, maka tekanan terhadap harga pun mereda. Akibatnya, harga-harga yang sempat melonjak, sering kali kembali ke level semula. Ini menandakan bahwa inflasi musiman akibat THR tidak bersifat permanen, selama tidak disertai dengan ekspektasi harga tinggi yang terus-menerus.

Fenomena peredaran uang yang cepat akibat pemberian THR ini dapat dijelaskan melalui konsep kecepatan peredaran uang atau velocity of money. Dalam ekonomi makro, kecepatan uang dihitung dengan rumus: V = (P × Y) / M, dengan V adalah velocity of money, P adalah tingkat harga, Y adalah output riil (seperti PDB riil), dan M adalah jumlah uang beredar. Rumus ini berasal dari persamaan kuantitas uang, yaitu: M × V = P × Y, yang diperkenalkan oleh ekonom klasik, Irving Fisher. Persamaan ini menunjukkan bahwa total pengeluaran dalam suatu perekonomian (jumlah uang dikali kecepatan uang beredar) akan selalu sama dengan nilai nominal output (harga dikalikan output riil).

THR tidak menambah jumlah uang secara nominal, tetapi mengaktifkan uang yang sebelumnya mengendap sehingga meningkatkan kecepatan peredaran uang (V) di masyarakat, meskipun hanya sementara. Akibatnya, permintaan terhadap barang dan jasa meningkat, mendorong naiknya P × Y baik dalam bentuk kenaikan harga barang (inflasi), peningkatan transaksi, atau keduanya.

Setelah masa THR berakhir dan konsumsi kembali normal, velocity juga ikut melambat. Artinya, aktivitas ekonomi yang sempat menguat akan mengalami penyesuaian kembali, mengikuti pola musiman yang berulang setiap tahunnya.

 

Dampak THR dalam Perspektif Teori Konsumsi Keynes

Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan merupakan insentif tambahan yang dibayarkan pada hari besar keagamaan di Indonesia seperti hari Lebaran. THR diberikan kepada pegawai sebelum masa Lebaran yaitu saat bulan Ramadan sesuai peraturan pemerintah yang berlaku. THR bukan hanya sekedar tambahan pendapatan bagi para pekerja, tetapi juga berperan sebagai stimulus ekonomi musiman. Sebagai tambahan pendapatan di luar gaji rutin, THR meningkatkan daya beli masyarakat secara mendadak (Purwanto, 2024). Prinsip “people respond to incentives” menjelaskan bahwa insentif finansial mendorong perubahan perilaku konsumen berupa peningkatan konsumsi. 

John M. Keynes merumuskan fungsi konsumsi C = a + bYd, dengan a merupakan konsumsi otonom, b adalah Marginal Propensity to Consume (MPC), dan Yd adalah pendapatan disposabel. Ketika masyarakat menerima THR, Yd meningkat secara tiba-tiba sehingga mendorong kenaikan konsumsi (C) secara proporsional terhadap nilai b (Huzaemah, 2015). Dengan rumus MPC = ΔC / ΔY artinya MPC mengukur seberapa besar tambahan konsumsi yang akan dilakukan seseorang ketika pendapatan mereka meningkat. Dengan demikian, tambahan pendapatan dari THR menjadi pemicu utama peningkatan konsumsi selama periode menjelang lebaran.

Konsumsi tersebut umumnya tertuju pada sektor-sektor, seperti ritel, pangan, transportasi, dan pariwisata. Peningkatan konsumsi ini membuat uang lebih cepat berpindah tangan dalam kegiatan jual beli sehingga perputaran uang di pasar meningkat. Lonjakan permintaan dari sisi konsumen terjadi secara simultan dan dalam waktu yang singkat dapat menciptakan tekanan pada sisi penawaran. Jika produsen tidak mampu merespons kenaikan permintaan secara cepat, ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran akan menyebabkan kenaikan harga. Peristiwa ini dikenal sebagai inflasi yang didorong oleh permintaan (demand-pull inflation), yaitu suatu konsep yang dijelaskan dalam teori Keynesian ketika permintaan agregat melampaui kapasitas produksi jangka pendek (Habibi, 2020). Dalam kasus Indonesia, hal ini terjadi secara musiman dan berulang setiap tahun saat Lebaran. Nugroho, Irfani, dan Aliyani (2023) menegaskan bahwa peningkatan konsumsi masyarakat selama Ramadan dan Lebaran menimbulkan kelebihan permintaan yang tidak diimbangi oleh jumlah pasokan yang cukup sehingga memicu inflasi musiman.

Dari sisi empiris, data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) menunjukkan bahwa kelompok bahan makanan mengalami inflasi bulanan lebih dari 0,5% pada bulan Ramadan, sementara bulan berikutnya mengalami deflasi moderat. Hal ini menandakan bahwa telah terjadi fluktuasi musiman yang kuat. Purwanto (2024) mencatat bahwa THR juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi jangka pendek dengan tambahan Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 0,2–0,3 % pada kuartal kedua tahun 2023. Belanja masyarakat selama periode mudik, yang melibatkan sekitar 193 juta perjalanan, juga meningkatkan aktivitas ekonomi di daerah tujuan mudik, terutama pada sektor konsumsi lokal. Namun, di sisi lain, pekerja sektor informal yang tidak memperoleh THR menghadapi tekanan harga tanpa adanya tambahan pendapatan sehingga memperbesar ketimpangan ekonomi antar kelompok masyarakat (Nugroho et al., 2023).

Dengan demikian, THR berfungsi sebagai stimulus konsumsi musiman yang selaras dengan teori konsumsi Keynes. Tambahan pendapatan disposabel tidak hanya meningkatkan permintaan agregat dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek, tetapi juga menimbulkan inflasi musiman serta potensi ketimpangan. Kebijakan penyeimbang yang efektif dibutuhkan agar efek positif THR berlanjut sekaligus meminimalkan risiko makroekonomi yang mungkin muncul.

 

Reaksi Produsen Terhadap THR

Menjelang lebaran, kebijakan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) oleh pemerintah menjadi salah satu instrumen yang secara langsung dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan bertambahnya pendapatan rumah tangga, konsumsi masyarakat cenderung meningkat secara signifikan dalam waktu singkat. Akibatnya, tingkat permintaan agregat terhadap barang dan jasa di pasar meningkat.

Kondisi ini menjadi sinyal kuat bagi pelaku usaha, khususnya produsen, bahwa terdapat peluang untuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi. Berdasarkan prinsip dasar ekonomi tentang hubungan antara permintaan dan penawaran, jika permintaan naik sementara kapasitas penawaran tetap atau terbatas dalam jangka pendek,  harga pasar cenderung meningkat. Industri melihat situasi ini sebagai momentum yang menguntungkan dan secara strategis bersiap melakukan penyesuaian kapasitas produksi.

Industri-industri yang erat kaitannya dengan pola konsumsi saat lebaran seperti sektor makanan, minuman, tekstil dan, transportasi, hingga layanan keuangan cenderung merespons secara aktif. Mereka meningkatkan output dengan mengoptimalkan faktor produksi variabel, seperti memperpanjang jam kerja, menambah tenaga kerja temporer, hingga meningkatkan pengadaan bahan baku. Selain itu, produsen juga kerap melakukan stockpiling, yaitu menahan stok barang untuk kemudian dijual ke pasar pada saat permintaan mencapai titik puncaknya. Strategi ini dirancang untuk memaksimalkan margin keuntungan saat daya beli konsumen berada dalam fase tertingginya selama periode lebaran.

Selain peningkatan produksi fisik, fenomena THR juga mendorong pelaku usaha untuk merancang proyeksi permintaan jangka pendek berbasis pola musiman. Kebiasaan masyarakat yang rutin meningkatkan konsumsi menjelang hari raya membuat industri mengembangkan strategi antisipatif yang terstruktur. Perusahaan tidak hanya bereaksi terhadap permintaan saat ini, tetapi juga menyiapkan diri berdasarkan tren historis, seperti peningkatan transaksi tahun-tahun sebelumnya. Dengan pendekatan ini, pelaku industri dapat mengatur ritme operasionalnya secara lebih efisien dan tepat sasaran. Persiapan seperti pengadaan bahan baku secara bertahap, penyesuaian distribusi logistik, hingga peluncuran promosi tematik menjadi bagian dari manuver strategis yang terencana untuk menyambut lonjakan konsumsi dalam periode terbatas.

Di sisi lain, dalam teori produksi jangka pendek, perusahaan menghadapi keterbatasan kapasitas karena sebagian besar faktor produksi bersifat tetap. Oleh karena itu, cara yang umum digunakan adalah mengoptimalkan faktor produksi variabel, seperti lembur dan perekrutan tenaga kerja sementara. Strategi ini memungkinkan perusahaan meningkatkan output dalam waktu singkat, namun tetap memiliki batas efisiensi. Ketika permintaan melebihi kapasitas produksi yang optimal, biaya produksi per unit dapat meningkat secara signifikan, dan hal ini berpotensi memicu kenaikan harga dari sisi penawaran. Oleh karena itu, perusahaan perlu menyeimbangkan antara dorongan produksi dan efisiensi operasional agar tidak terjebak dalam risiko biaya tinggi atau kerugian akibat stok berlebih setelah periode puncak konsumsi berlalu.

THR Sebagai Saluran Desentralisasi Pendapatan

THR yang dibayarkan oleh pemerintah dan perusahaan kepada pegawainya menunjukkan pergeseran likuiditas pada peredaran uang. Uang yang semula tersentralisasi, dapat terdistribusi secara merata ke karyawan mereka. Karyawan inilah yang nantinya akan membelanjakan uang mereka pada bisnis skala kecil-menengah. Kondisi tersebut menunjukkan telah terjadinya desentralisasi pendapatan karena pembayaran THR. Namun, apakah ini benar-benar sebuah fakta atau hipotesis semata?

Survei yang dilakukan Bank BTPN menunjukkan bahwa 52% uang yang diterima dari THR digunakan untuk kegiatan konsumsi dan sisanya ditabung. Sumber lain mengatakan bahwa 90% dari THR digunakan untuk melakukan belanja, baik online maupun offline, mengingat pembagian THR berdekatan dengan Hari Raya Lebaran. Kebiasaan konsumsi ini tentu menunjukkan bahwa THR merupakan bentuk desentralisasi pendapatan. Sekali lagi, apakah ini cukup untuk mengatakan bahwa THR merupakan bentuk desentralisasi pendapatan?

Mari cari benang merah lainnya!

Laporan yang diterbitkan Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa terdapat 41% masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor formal. Laporan ini juga mengatakan bahwa mereka menghabiskan 70% pendapatannya pada bisnis skala kecil-menengah. Kondisi ini menyebabkan perubahan pola investasi pada bisnis skala kecil-menengah.

Pada saat institusi yang mempekerjakan mereka mengalami penurunan likuiditas karena pembengkakan biaya THR, justru bisnis masyarakat kecil semakin menggeliat. Contohnya, pedagang nasi goreng membeli kompor baru, pedagang kain membeli rak baru, bakso keliling membeli gerobak baru, dan investasi pada aset tetap lainnya oleh bisnis skala kecil-menengah. Hal ini semakin membuktikan bahwa THR merupakan salah satu bentuk saluran distribusi pendapatan di masyarakat.

Melipatgandakan PDB

Konsep desentralisasi pendapatan yang dijelaskan sebelumnya, ternyata memiliki korelasi dengan konsep multiplier effect. Multiplier effect merupakan konsep ekonomi yang menggambarkan tentang bagaimana suntikan dana awal (seperti THR) dapat menghasilkan dampak ekonomi total yang lebih besar daripada jumlah awal yang dikeluarkan.

Berikut ini adalah contoh sederhana dampak suntikan THR terhadap PDB negara. Asumsikan pemerintah dan perusahaan menggelontorkan 1 triliun untuk THR, apabila rantai ekonomi di atas berjalan dengan MPC 0.9, maka:

Perhitungan tersebut membuktikan bahwa 1 triliun THR yang didistribusikan ke masyarakat dan digunakan untuk konsumsi secara berulang dapat meningkatkan PDB hingga sepuluh kali lipat dari dana yang disuntikkan (1 triliun) dengan asumsi MPC 0.9. Perhitungan ini juga membuktikan bahwa THR merupakan langkah negara dalam meningkatkan PDB.

 

DAFTAR PUSTAKA

Akerlof, G. A., & Shiller, R. J. (2009). Animal Spirits: How Human Psychology Drives the Economy, and Why It Matters for Global Capitalism. Princeton University Press. https://www.jstor.org/stable/j.ctv36mk90z

Badan Pusat Statistik. (2024). Perkembangan Indeks harga konsumen Februari 2024. https://www.bps.go.id

DetikFinance. (2025, 27 Maret). Kemnaker Terima 1.725 Aduan Pencairan THR, Pengusaha Nakal Bisa Didenda. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis

Fisher, I. (1911). The Purchasing Power of Money.

Habibi, Y. (2020). Analisis Pengaruh Inflasi, Bagi Hasil, Produk Domestik Bruto, Jumlah Kantor Terhadap Deposito Bank Syariah Mandiri Periode 2013-2018. Universitas Raden Intan. https://repository.radenintan.ac.id/10782/1/pusat.pdf

Huzaemah, M. (2015). Pengaruh inflasi terhadap konsumsi masyarakat berdasarkan teori Keynes. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. https://repositori.uin-alauddin.ac.id/2870/1/munawwarah%20huzaemah.pdf

Jatengprov.go.id. (2025, 17 Maret). Di Depan Gubernur, Pekerja Ini Senang Perusahaannya Taat Bayar THR. https://jatengprov.go.id/publik

 

Kompas.com. (2025, 31 Maret). Kemnaker Catat 2.295 Pengaduan THR Karyawan. https://money.kompas.com 

Mankiw, N. G. (2020). Principles of Economics (8th ed.).

Marketeers. (2024, March 28). Riset Jenius Ungkap Pergeseran Alokasi THR, 52% Digunakan untuk Belanja. www.marketeers.com. https://www.marketeers.com/riset-jenius-ungkap-pergeseran-alokasi-thr-52-digunakan-untuk-belanja/

Nugroho, M. B., Irfani, M., & Aliyani, R. (2023). Kajian literature: Pengaruh Hari Besar Islam terhadap ekonomi syariah. Journal Islamic Education, 1(4), 764–768. https://maryamsejahtera.com/index.php/Education/article/view/853/750

Purwanto, A. (2024, 20 Maret). Menakar efek THR bagi perekonomian nasional. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/riset/2024/03/20/menakar-efek-thr-terhadap-perekonomian-nasional

Perang Dagang dan Pelaporan Keuangan: Implikasi Tarif terhadap Persediaan, Aset, dan Laba

IDE TimesIDE Times (Accounting Article) Tuesday, 17 June 2025

Author: Apryan Finanta Putra, Farabiana Indira Pamungkas, Kenneth Pratama Widian, Theresya Dehav Wahyuni Tiqwa Putri Jeremi Hia; Editor: Pijar Sahistya Mahiswara

“Pada tanggal 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat (AS) secara resmi telah mengenakan tarif resiprokal kepada Indonesia sebesar 32 persen dari basis tarif sebesar 10 persen yang diterapkan AS kepada semua negara dan tarif yang dikenakan AS saat ini. Tarif resiprokal AS ini akan berlaku mulai tanggal 9 April 2025.”

 

Tarif dalam Perdagangan Internasional

Tarif merupakan pajak yang dikenakan atas barang impor untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu, seperti melindungi industri domestik. Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengatur penerapan tarif agar tidak mengganggu perdagangan bebas secara global. Namun, sejak 2018, dinamika perdagangan internasional berubah drastis akibat perang dagang, khususnya antara Amerika Serikat dan China dengan salah satu dampak utamanya berupa peningkatan tarif impor. Kebijakan tarif tidak hanya mempengaruhi harga barang, tetapi juga menciptakan tantangan baru dalam pelaporan keuangan perusahaan, baik dari segi penilaian persediaan hingga pengungkapan risiko yang lebih transparan.

 

Kebijakan Tarif Amerika Serikat

Selama masa kepemimpinan Presiden Donald Trump, Amerika Serikat menerapkan kebijakan “tarif resiprokal” berdasarkan Undang-Undang Perdagangan 1974 (Section 301). Langkah ini bertujuan untuk melawan praktik perdagangan yang dianggap tidak adil, terutama oleh China. Pada April 2025, Trump mengumumkan tarif resiprokal hingga 125% atas barang-barang asal China. Sebagai balasan, China menerapkan tarif yang sama terhadap barang-barang Amerika Serikat. Kebijakan ini secara langsung berdampak pada biaya produksi dan kelangsungan rantai pasok global.

 

Dampak pada Pelaporan Keuangan

Peningkatan tarif menimbulkan dampak signifikan terhadap praktik akuntansi, khususnya dalam penilaian dan pengakuan persediaan. Berdasarkan PSAK 14, tarif (bea masuk) harus dikapitalisasi ke nilai persediaan sehingga akan menambah nilai persediaan yang dilaporkan perusahaan dalam laporan neraca keuangan. Selain itu, pemberlakuan tarif juga berpotensi memengaruhi penilaian persediaan oleh perusahaan yang menggunakan metode Lower of Cost or Net Realizable Value (LCNRV). Perusahaan harus mengevaluasi apakah kenaikan nilai persediaan berdasarkan NRV akan mengakibatkan impairment atas nilai persediaan yang tercatat.

Dalam berbagai sektor industri, dampak signifikan perubahan tarif yang menyebabkan kenaikan biaya dan penurunan permintaan pelanggan atau gangguan atas dinamika pasar dapat mengakibatkan penurunan arus kas di masa yang akan datang. Jika penurunan arus kas masa depan ini dinilai cukup signifikan, maka dapat mengindikasikan potensi penurunan nilai aset (impairment).

Ketidakpastian yang muncul terhadap ekonomi global akibat perang dagang juga perlu diantisipasi perusahaan. Dalam pelaporan keuangan, perusahaan perlu memberikan pengungkapan khusus mengenai pos-pos yang terdampak signifikan karena penerapan tarif, misalnya pada pos persediaan. Jika terdapat pos lain yang memiliki potensi terdampak juga dapat diberikan penjelasan, misalnya adanya provisi atau kewajiban kontinjensi yang timbul, kenaikan biaya-biaya lain, atau potensi pelanggaran debt covenant. Perusahaan perlu mengungkapkan potensi dampak penerapan tarif terhadap keberlangsungan usaha. Tarif yang muncul akibat perang dagang menciptakan tantangan dalam pelaporan keuangan. Perusahaan harus melakukan pengukuran yang tepat dan melaporkan ketidakpastian secara akurat. Akuntansi yang konsisten dan transparan sangat penting untuk menjaga kepercayaan investor dan memenuhi tuntutan regulasi dalam iklim usaha yang terus berubah.

 

Dampak Perubahan Kebijakan Tarif terhadap Pelaporan Keuangan 

Seiring dengan meningkatnya perhatian terhadap kenaikan tarif impor, muncul implikasi besar yang dirasakan oleh perusahaan. Tim manajemen berfokus pada upaya memitigasi perubahan rantai pasokan yang berpotensi menghambat kegiatan operasional. Di sisi lain, pelaporan keuangan perusahaan juga terdampak oleh kenaikan tarif impor tersebut. Beberapa dampak terhadap akuntansi dan pelaporan keuangan yang perlu dipertimbangkan antara lain:

  1. Dampak Tarif Impor terhadap Penilaian Persediaan

Kenaikan tarif impor secara langsung meningkatkan biaya perolehan persediaan, baik biaya langsung maupun tidak langsung yang diperlukan untuk menyiapkan persediaan hingga siap dipasarkan (Nus, 2025). Kondisi ini membuat nilai persediaan perusahaan melonjak sehingga sangat penting bagi perusahaan untuk memiliki sistem pencatatan yang akurat agar dapat melacak perubahan tarif yang fluktuatif. Selain itu, metode penilaian persediaan berperan besar dalam menentukan nilai akhir dalam laporan keuangan (Rahmawati dkk., 2021). Misalnya, metode First-In, First-Out (FIFO) akan lebih cepat mencerminkan dampak kenaikan tarif baru pada persediaan akhir, sedangkan metode rata-rata tertimbang cenderung menyebarkan kenaikan tarif secara lebih merata ke seluruh unit, yang memerlukan penyesuaian harga rata-rata per unit secara berkala.

Sebagai upaya antisipasi terhadap fluktuasi tarif, perusahaan seringkali melakukan pembelian persediaan dalam jumlah besar di awal periode. Namun, strategi ini menyimpan risiko kerugian penurunan nilai (impairment), terutama jika nilai realisasi bersih (NRV) persediaan di akhir periode lebih rendah dari biaya perolehannya. Sesuai dengan prinsip LCNRV, persediaan dalam kondisi ini harus dicatat sebesar nilai yang lebih rendah dan selisihnya diakui sebagai kerugian dalam laporan laba rugi. Pada perusahaan manufaktur yang umumnya menggunakan sistem biaya standar (standard costing), kenaikan tarif impor dapat menyebabkan biaya aktual melebihi biaya standar sehingga menciptakan selisih (varians) yang berpotensi mencerminkan kinerja manajerial yang kurang optimal. Oleh karena itu, pembaharuan biaya standar secara berkala menjadi krusial untuk menjaga akurasi nilai persediaan dan meminimalkan dampak negatif terhadap evaluasi kinerja perusahaan.

  1. Dampak Tarif terhadap Harga Pokok Penjualan (HPP)

Kenaikan tarif impor secara langsung meningkatkan HPP karena biaya tarif menjadi bagian dari biaya perolehan persediaan sehingga saat persediaan tersebut terjual, HPP yang tercatat turut meningkat. Pengaruh ini juga sangat bergantung pada metode penilaian persediaan yang digunakan (Weygandt dkk., 2019). Dengan metode FIFO, pada awalnya kenaikan HPP tidak akan terasa drastis karena persediaan lama dengan biaya lebih rendah akan terjual terlebih dahulu. Peningkatan signifikan baru muncul saat persediaan baru yang terkena tarif mulai terjual (Needles dkk., 2017). Sebaliknya, metode rata-rata tertimbang akan menyebarkan dampak kenaikan tarif ke seluruh unit persediaan yang tersedia sehingga kenaikan HPP akan langsung terasa merata pada seluruh penjualan (Warren dkk., 2016).

  1. Dampak Tarif terhadap Pendapatan dan Profit Perusahaan

Peningkatan HPP akibat kenaikan tarif secara langsung mengurangi laba kotor perusahaan, terutama bagi mereka yang menggunakan metode rata-rata tertimbang karena biaya perolehan persediaan yang lebih tinggi akan memengaruhi perhitungan HPP secara bertahap (Weygandt, dkk., 2019). Untuk mengimbangi HPP yang lebih tinggi dan menjaga profitabilitas, perusahaan cenderung menaikkan harga jual, sesuai dengan teori cost-plus pricing (Kotler, dkk., 2018) dan/atau mengurangi volume produksi yang mencerminkan pergeseran kurva penawaran. Langkah-langkah ini sering diambil untuk mencapai atau mempertahankan titik impas (break-even point) yang meningkat seiring naiknya HPP (Hansen, dkk., 2017). Namun, strategi ini berisiko menurunkan pendapatan dan laba dalam jangka panjang karena dapat mengurangi permintaan dan menyebabkan hilangnya skala ekonomi serta pangsa pasar. Oleh karena itu, diperlukan langkah strategis untuk menetapkan harga dan volume penjualan yang optimal demi menjaga profitabilitas berkelanjutan.

  1. Dampak Tarif terhadap Nilai Aset Tetap

Tarif impor tidak memengaruhi aset tetap yang sudah dimiliki, tetapi berdampak pada aset tetap baru yang diimpor saat tarif naik. Sesuai PSAK 16, biaya perolehan aset tetap mencakup semua biaya untuk memperoleh dan menyiapkan aset hingga siap digunakan, termasuk tarif impor. Oleh karena itu, tarif dikapitalisasi ke dalam nilai aset tetap. Namun, kenaikan nilai aset akibat tarif juga meningkatkan risiko penurunan nilai (impairment loss). Jika nilai yang dapat dipulihkan lebih rendah dari nilai tercatat, perusahaan harus mencatat kerugian atas selisih tersebut. Semakin tinggi tarif yang ditetapkan, semakin besar potensi risiko impairment jika manfaat ekonomi dari aset tidak sebanding.

 

Laporan Keuangan Sebelum dan Sesudah Tarif

Untuk memberikan gambaran lebih lanjut mengenai implementasi kebijakan tarif, mari simak permisalan di bawah ini.

Perusahaan Amigimi adalah perusahaan manufaktur elektronik dari Amerika yang mengimpor komponen utama dari China, seperti PCB, aluminium, dan suku cadang otomotif. Perusahaan ini terdampak langsung oleh kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan sejak 2018 dan ditingkatkan pada 2025 oleh pemerintah AS terhadap barang asal China, dengan tarif hingga 125%. Dampak tarif tersebut tidak hanya meningkatkan biaya, tetapi juga memengaruhi pencatatan akuntansi dan pelaporan keuangan perusahaan.

Sebelum kebijakan tarif resiprokal yang ditingkatkan pada 2025 sebagai respons terhadap ketidakseimbangan perdagangan dengan China, Perusahaan Amigimi menikmati tarif impor rendah sebesar 1,6% – 2,5%, yang menjaga biaya perolehan persediaan tetap efisien dan margin laba stabil. Sistem pelaporan keuangan berjalan sederhana dengan metode FIFO dan LCNRV, di mana nilai persediaan dicatat pada nilai terendah antara biaya perolehan dan nilai realisasi bersih (NRV). Risiko impairment persediaan dan aset tetap minim karena selisih biaya dan NRV selalu positif. Namun, kenaikan tarif yang mencapai 125% meningkatkan biaya komponen seperti PCB, yang mengakibatkan lonjakan harga pokok penjualan (HPP) dan tekanan pada margin laba kotor. Selain itu, semenjak kebijakan tarif resiprokal hingga 125% yang diumumkan pada 2025 yang memicu lonjakan biaya impor, komponen utama seperti PCB yang semula terkena tarif 2.5% kini dikenai tarif sebesar 25% atau lebih. Hal ini secara langsung menaikkan biaya perolehan persediaan dan berdampak pada berbagai aspek pelaporan keuangan.

Kita dapat melihat adanya perbedaan mencolok dalam struktur pencatatan dan penilaian akuntansi. Ketika tarif masih rendah, biaya impor komponen seperti PCB dan suku cadang otomotif relatif stabil dan tidak memberikan tekanan besar pada nilai persediaan maupun HPP. Namun, setelah tarif dinaikkan secara drastis, perusahaan harus mengkapitalisasi tarif tersebut ke dalam nilai persediaan sesuai ketentuan PSAK 14 yang menyebabkan lonjakan pada nilai aset lancar di neraca dan kenaikan biaya perolehan ini kemudian memicu peningkatan harga pokok penjualan ketika barang dijual yang secara langsung menggerus margin laba kotor perusahaan.

Tidak hanya persediaan, dampak tarif juga dirasakan pada aset tetap. Perusahaan yang mengimpor mesin produksi saat tarif tinggi harus mencatat nilai aset dengan biaya yang lebih besar. Dalam kondisi ketika manfaat ekonomis dari penggunaan aset tersebut tidak cukup untuk menutupi nilai tercatatnya, perusahaan menghadapi risiko penurunan nilai atau impairment yang harus diakui sesuai PSAK 16. Hal ini menyebabkan laporan keuangan mencerminkan beban kerugian tambahan yang sebelumnya tidak terjadi ketika tarif masih rendah.

Perbandingan antara kondisi sebelum dan sesudah tarif menunjukkan bahwa kebijakan tarif internasional tidak hanya memengaruhi sisi operasional, tetapi juga secara mendalam mengubah cara perusahaan mencatat, menilai, dan melaporkan informasi keuangan. Kenaikan tarif memperbesar beban biaya, memicu risiko akuntansi baru, dan mengurangi profitabilitas yang pada masa sebelumnya masih terjaga. Dalam konteks ini, pelaporan keuangan menjadi alat penting untuk mencerminkan realitas ekonomi perusahaan di tengah tekanan kebijakan global yang berubah-ubah.

 

Strategi Perusahaan dan Peran Akuntan

Kebijakan tarif seperti tarif resiprokal yang dilakukan oleh Amerika Serikat telah memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap perdagangan global. Tarif memberikan dampak langsung terhadap pelaporan keuangan perusahaan, terutama mengenai pengungkapan dan penilaian aset dan persediaan. Oleh karena itu, peran akuntan penting dalam membantu perusahaan merumuskan strategi yang tepat. Akuntan memberikan saran strategi kepada perusahaan bagaimana mencegah penurunan nilai aset dan pencatatannya dalam laporan keuangan yang timbul dari kebijakan tarif. Banyak perusahaan mengandalkan peran akuntan publik untuk mengembangkan strategi mitigasi tarif yang efektif (Siciliano dan Zuvich, 2020). Tujuannya untuk mengurangi dampak kenaikan tarif global terhadap profitabilitas bisnis. Untuk menghadapi kebijakan tarif, perusahaan merumuskan beberapa strategi yang berhubungan dengan pelaporan keuangan, yaitu:

  1. Perubahan Rantai Pasokan

Kebijakan tarif dapat berbeda-beda di tiap negara. Amerika menetapkan besaran tarif resiprokal yang berbeda tiap negara dan negara China menjadi negara dengan besaran tarif resiprokal tertinggi. Artinya, perusahaan Amerika Serikat yang mengimpor barang dari China akan dikenai beban tarif yang tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut, perusahaan memindahkan proses produksi ke negara lain dengan tarif lebih rendah atau negara yang tidak dikenakan tarif. Namun, syarat perubahan tersebut adalah barang harus dianggap mengalami transformasi substansial, yaitu perubahan bentuk, fungsi, serta perubahan proses produksi produk secara keseluruhan. Perusahaan harus berkonsultasi dengan dengan ahli dalam menyesuaikan rantai pasokan produksi tersebut.

  1. Memahami Klasifikasi Tarif untuk Setiap Produk

Harmonized Tariff Schedule of the United States (HTSUS) adalah sebuah sistem yang berisi klasifikasi jenis produk impor ke Amerika berdasarkan komposisi material, nama produk, dan fungsinya, beserta besaran tarif yang dikenakan (Noah, 2024). Setiap produk impor memiliki kode tersendiri untuk memudahkan klasifikasi. Setiap produk dapat memiliki besaran tarif yang berbeda sehingga perusahaan harus cermat dalam mengklasifikasikan jenis produk mereka. Untuk menghadapi perubahan kebijakan pada tarif, perusahaan mengimpor komponen tertentu yang belum diolah agar mendapatkan tarif lebih rendah.

  1. Strategi Pembelian Bahan Baku atau Persediaan

Diterapkannya tarif resiprokal oleh Amerika Serikat, menyebabkan perusahaan cenderung melakukan pembelian berlebihan karena khawatir pada kenaikan biaya persediaan akibat kenaikan tarif. Namun hal ini dapat menimbulkan risiko impairment atau penurunan nilai persediaan. Strategi yang dapat dilakukan perusahaan adalah melakukan just-in-time, yaitu pembelian bahan baku atau persediaan sesuai kebutuhan. Perusahaan juga dapat membagi proses pembelian persediaan menjadi beberapa tahap dan tetap memantau perubahan kebijakan atau fluktuasi. Perusahaan juga dapat membuat kontrak dengan pemasok, seperti forward contract yaitu kontrak antara perusahaan dengan pemasok untuk membeli atau menjual barang pada harga tertentu di waktu tertentu di masa depan untuk menghindari fluktuasi harga di masa depan.

  1. Penggunaan Flexible Budgeting

Penggunaan standard costing dapat menyebabkan selisih antara biaya aktual dan biaya standar karena biaya aktual lebih besar akibat kebijakan tarif. Selisih (varians) tersebut dapat menjadi cerminan buruknya kinerja perusahaan. Strategi yang sebaiknya dilakukan adalah menerapkan flexible budgeting, yaitu penyusunan anggaran yang disesuaikan dengan aktivitas bisnis seperti volume produksi atau aktivitas ekonomi lain. Flexible budgeting akan menyesuaikan anggaran pembelian bahan baku sesuai harga aktual bahan baku (setelah kenaikan tarif akibat perubahan kebijakan).

  1. Evaluasi Laporan Keuangan oleh Akuntan

Akuntan berperan dalam menyajikan nilai aset dan kewajiban pada laporan keuangan secara transparan sehingga perlu melakukan impairment test untuk mendapatkan nilai riil aset. Akuntan perlu menilai dan mengevaluasi kontrak jangka panjang apakah masih menguntungkan. Kebijakan tarif berisiko menimbulkan biaya produksi tinggi dan kenaikan harga. Biaya kontrak yang melebihi manfaat ekonomi dapat menjadi kewajiban bagi perusahaan. Selain itu, akuntan juga berperan dalam melakukan pengungkapan yang jelas pada catatan atas laporan keuangan mengenai dampak tarif dan fluktuasi harga terhadap laporan posisi keuangan perusahaan sesuai dengan standar yang diatur IAS 1.

 

Daftar Pustaka

Apple Inc. (2024). Form 10-Q Q1 2024, hlm. 12. Retrieved from https://www.sec.gov/ix?doc=/Archives/edgar/data/0000320193/000032019324000030/aapl-20231230.htm

CFI Team. Forward Contract. Diakses pada 3 Juni 2025, dari https://corporatefinanceinstitute.com/resources/derivatives/forward-contract/

Deloitte. (2024). Global Trade Policy Impacts on Financial Statements. Retrieved from https://www2.deloitte.com

European Commission. (2023). Carbon Border Adjustment Mechanism Guidelines. Retrieved from https://taxation-customs.ec.europa.eu/carbon-border-adjustment-mechanism_en

Ernst & Young. (2024). EY Global Trade Survey 2024: Navigating disruption in uncertain times. Retrieved from https://www.ey.com/en_gl/tax/ey-global-trade-survey-2024

Financial Accounting Standards Board (FASB). (2020). ASC Topic 330: Inventory. Norwalk, CT. Retrieved from https://asc.fasb.org/topic&trid=2121389

Financial Accounting Standards Board (FASB). (2020). ASC Topic 450: Contingencies. Norwalk, CT. Retrieved from https://asc.fasb.org/  topic&trid=2121630

Hansen, D. R., & Mowen, M. M. (2017). Managerial Accounting. Cengage Learning.

IAI. (2023). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 14: Persediaan. Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia.

IAI. (2023). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 71: Instrumen Keuangan. Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia.

Kotler, P., & Armstrong, G. (2018). Principles of Marketing. Pearson.

Mayangsari, A. P., & Nurjanah, Y. (2018). Analisis Penerapan PSAK No . 16 dalam Perlakuan Akuntansi Aset Tetap Perusahaan Studi Kasus pada CV. Bangun Perkasa Furniture. Jurnal Ilmiah Akuntansi Kesatuan, 6(3), 195–204.

Needles, B. E., & Powers, M. (2017). Principles of Financial Accounting. Cengage Learning.

Noah, David. (2024). How to Use the Harmonized Tariff Schedule of the United States. Diakses pada 3 Juni 2025, dari https://www.shippingsolutions.com/blog/how-to-use-harmonized-tariff-schedule

Nus, Jonathan. (2025). Tariff Impacts : Top 10 Accounting and Financial Reporting Issues. A&M. Diakses pada 31 Juni 2025, dari https://www.alvarezandmarsal.com/thought-leadership/tariff-impacts-top-10-accounting-and-financial-reporting-issue

Rahmawati, A., & Daengs, A., (2021). Implementasi Metode FIFO Dalam Perhitungan Nilai Persediaan Pada PT. X Distributor Makanan Di Jawa Timur. Jurnal Aplikasi Akuntansi, 06(1).

Siciliano, Andrew & Zuvich, Douglas P. (2020). Confronting Tariffs: Trade War Tips for CPAs. Diakses pada 3 Juni 2025, dari https://www.journalofaccountancy.com/news/2020/jan/tariffs-trade-war-tips-for-cpas-22557/

Siswati, S. (2016). Revaluasi Aset Tetap Berdasar Aspek Akuntansi PSAK 2016 (revisi 2011) dan Aspek Perpajakan. Jurnal Ilmu Sosial Dan Ekonomi, 06(6).

Securities and Exchange Commission (SEC). (2023). Regulation S-K, Item 303: Management’s Discussion and Analysis. Retrieved from https://www.sec.gov/corpfin/secg-md-a

United States Trade Representative (USTR). (2018–2021). Section 301 Reports. Retrieved from https://ustr.gov/issue-areas/enforcement/section-301-investigations

United States Trade Representative (USTR). (2024). Fact Sheet: Biden-Harris Administration Tariffs. Retrieved from https://ustr.gov/about-us/policy-offices/press-office/fact-sheets

Warren, C. S., Reeve, J. M., & Duchac, J. E. (2016). Accounting. Cengage Learning.

Weygandt, J. J., Kieso, D. E., & Kimmel, P. D. (2019). Financial Accounting. John Wiley & Sons.

White House. (2018). Presidential Memorandum on the Actions by the United States Related to the Section 301 Investigation. Retrieved from https://trumpwhitehouse.archives.gov/presidential-actions/presidential-memorandum-actions-united-states-related-section-301-investigation/

World Trade Organization (WTO). (2023). World Tariff Report 2023. Retrieved from https://www.wto.org/english/res_e/publications_e/world_tariff_profiles23_e.htm

Get to Know IFRS 18: Better Information for Better Analysis

IDE TimesIDE Times (Accounting Article) Thursday, 24 April 2025

Author: Firli Amaliyah, Muhammad Adiyaksa Maulana Tsaqif, Muhammad Fadhlan Hakim, Pijar Sahistya Mahiswara; Editor: Farabiana Indira Pamungkas

 

“Investor demanding for better information about an entity’s financial performance.”

Salah satu media komunikasi yang diandalkan dalam pengambilan keputusan investasi adalah laporan keuangan. Media ini digunakan oleh pihak eksternal, khususnya investor untuk menganalisis performa perusahaan sehingga kualitas informasi yang disajikan dalam laporan keuangan merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Realitanya, pengungkapan dari laporan keuangan masih memerlukan perbaikan agar laporan keuangan dapat memberikan informasi yang lengkap dan berguna untuk tujuan analisis oleh investor. Hal ini mendorong terbitnya standar akuntansi baru, yakni IFRS 18 Presentation and Disclosure in Financial Statements yang menggantikan IAS 1 Presentation of Financial Statements. 

 

Mengenal IFRS 18

IFRS 18 Presentation and Disclosure in Financial Statements merupakan standar akuntansi yang diterbitkan oleh International Accounting Standard Board (IASB) pada April 2024 dengan  tujuan meningkatkan kualitas informasi laporan keuangan sehingga investor dapat melakukan analisis dan perbandingan terhadap performa perusahaan secara lebih baik.

“IFRS 18 represents the most significant change to companies’ presentation of financial performance since IFRS Accounting Standards were introduced more than 20 years ago. It will give investors better information about companies’ financial performance and consistent anchor points for their analysis.” – Andreas Barckow, Chairman of IASB.

IFRS 18 menggantikan IAS 1 Presentation of Financial Statements dan berlaku secara efektif bagi seluruh perusahaan mulai 1 Januari 2027. IFRS 18 tidak akan memengaruhi cara  perusahaan melakukan pengukuran (measurement) terhadap kinerja keuangan, tetapi standar ini akan memengaruhi cara perusahaan mengungkapkan (present and disclose) kinerja keuangannya.

 

Mengapa IFRS 18 Penting?

Stakeholders masih belum puas dengan cara perusahaan mengungkapkan kinerja keuangan melalui standar akuntansi yang sudah ada sehingga IASB menanggapi hal ini dengan menerbitkan IFRS 18. Standar terbaru ini akan meningkatkan kualitas pelaporan keuangan untuk menjawab permasalahan yang dialami oleh stakeholders dengan cara:

1. Penambahan keterangan subtotal pada laporan laba rugi.

Laporan laba rugi perusahaan memiliki variasi struktur dan konten yang beragam. Hal ini dipengaruhi oleh industri ataupun proses bisnis yang dijalankan oleh perusahaan. Penambahan keterangan subtotal yang ditentukan oleh IFRS 18 dapat mempermudah investor dalam melakukan perbandingan kinerja keuangan antarperusahaan.

2. Pengungkapan metode pengukuran yang digunakan oleh manajemen.

Investor memerlukan informasi terkait bagaimana manajemen melakukan pengukuran dan mengapa manajemen menggunakan suatu metode untuk mengukur kinerja keuangannya. Dengan mengungkapkan metode pengukuran, perusahaan diekspektasikan dapat meningkatkan transparansi dan kedisiplinan dalam melakukan kalkulasi terhadap kinerja keuangannya. Hasilnya, investor akan mendapatkan basis analisis yang lebih valid. 

3. Klasifikasi informasi dalam laporan keuangan.

IFRS 18 mengatur jenis informasi yang harus disajikan dalam laporan keuangan utama ataupun catatan atas laporan keuangan (CALK), serta menetapkan prinsip-prinsip dalam menentukan tingkat rincian informasi yang dipresentasikan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas komunikasi antara perusahaan dan stakeholders, serta menjawab permintaan investor yang menginginkan klasifikasi informasi yang layak dalam laporan keuangan.

 

The Effect on Financial Statement

Perubahan aturan yang dilakukan oleh IASB dari IAS 1 ke IFRS 18 membawa pengaruh yang signifikan dalam tata cara penyajian lima laporan keuangan. Dilansir dari website Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), pengaruh perubahan yang paling signifikan terjadi pada laporan laba rugi dan catatan atas laporan keuangan. Laporan arus kas mengalami perubahan yang cukup signifikan, sedangkan perubahan yang tidak terlalu signifikan terjadi pada laporan posisi keuangan dan laporan perubahan ekuitas. Mari kita kulik lebih dalam dengan penjelasan di bawah ini.

 

Perubahan pada Laporan Laba Rugi

IFRS 18 memperkenalkan dua perubahan pada struktur penyajian laporan laba rugi, yaitu terdapatnya lima jenis kategori untuk pengklasifikasian pos-pos akun pendapatan dan beban dalam laporan laba rugi, yaitu operating category, investing category, financing category, income taxes, dan discontinued operations. Terdapat panduan umum untuk mengklasifikasikan pos-pos akun berikut (PwC, 2024):

1. Operating Category

Kategori ini merupakan residu dari pos-pos akun pendapatan dan beban yang tidak memenuhi karakteristik di kategori lain. Pos-pos akun ini biasanya dihasilkan dari aktivitas bisnis utama dari suatu entitas. 

2. Investing Category

Kategori ini dihasilkan dari aktivitas perusahaan asosiasi dan joint ventures, hasil kas dan setara kas, serta aset yang memberikan laba secara individual dan ketergantungan pada sumber daya lain yang cukup besar.

3. Financing Category

Kategori ini mencakup semua pendapatan dan beban yang diakibatkan oleh aktivitas untuk mengeluarkan akun liabilities yang hanya termasuk pengumpulan dana, beban bunga, dan akibat perubahan suku bunga dari akun liabilities yang lain (seperti penghentian diskon pada pension liability).

4. Income Taxes

Kategori ini mencakup pos beban atau pendapatan PPh sesuai dengan IAS 12 Income Taxes dan perbedaan valuasi dari setiap mata uang asing. 

5. Discontinued Operations

Kategori ini mencakup pos beban atau pendapatan dari aktivitas operasi yang dihentikan yang sesuai dengan IAS 5. 

Selain itu, ketentuan tambahan diberikan bagi entitas yang menyelenggarakan aktivitas pembiayaan kepada nasabah atau melakukan investasi pada aset yang mempunyai karakteristik tertentu sebagai kegiatan inti bisnisnya. Oleh karena itu, entitas harus melaporkan pos-pos pendapatan dan beban yang berkaitan dengan kegiatan inti bisnis tersebut ke dalam operating category. Hal ini bertujuan agar kinerja operasional entitas tersebut dapat tergambarkan secara detail (PwC, 2024).

Perubahan kedua mencakup penambahan subtotal yang wajib dicantumkan, yaitu operating profit dan profit before financing dan income taxes. Namun, terdapat pengecualian terhadap pencantuman subtotal tersebut, misalnya apabila bank menggunakan aktivitas financing category sebagai kegiatan usaha utama dan telah menyajikannya secara khusus. Berikut tata letak dari perubahan-perubahan yang telah disebutkan pada laporan laba rugi.

Struktur Penyajian Laporan Laba Rugi Versi IFRS 18

Sumber: Artikel PwC Viewpoint UK tentang IFRS 18

 

Perubahan pada Catatan atas Laporan Keuangan

IFRS 18 memberikan pedoman terkait pengungkapan pada laporan laba rugi. Terdapat empat macam pengungkapan tersebut. Pertama, Management-Defined Performance Measurement (MPMs) yang memuat penjelasan mengenai perbedaan antara ukuran kinerja yang ditetapkan manajemen dengan subtotal yang diwajibkan oleh IFRS (PwC, 2024). Kedua, Disclosure of Expenses by Nature, untuk memudahkan pelacakan alokasi kos. Ketiga, Analysis of Reclassification Adjustments yang berisi penjelasan ukuran nilai dari item yang dipindahkan ke laporan laba rugi dari yang awalnya dicatat di other comprehensive income. Keempat, Analysis of Tax Effects Relating to Each Component of Other Comprehensive Income yang berisi mengenai detail komponen pajak di setiap bagian dari other comprehensive income. 

 

Perubahan pada Laporan Arus Kas dan Semua Jenis Laporan Keuangan

Terdapat perubahan terbatas pada laporan arus kas yaitu kewajiban penggunaan subtotal laba operasi sebagai langkah awal menyajikan laporan arus kas metode tidak langsung dan peniadaan bagi sebagian besar entitas terkait alternatif penyajian bagi arus kas bunga dan dividen, terutama dari aktivitas pendanaan dan aktivitas investasi (IASB, 2024). Sementara itu, perubahan pada seluruh jenis laporan keuangan berkaitan dengan agregasi akun-akun yang memiliki karakteristik serupa dan disagregasi akun-akun yang memiliki karakteristik berbeda. Prinsip ini harus diterapkan tanpa mengubah informasi yang disajikan. Sebagai contoh, dalam analisis beban operasi, pengelompokan dapat dilakukan berdasarkan karakteristik sifat beban atau fungsi beban (Sitawati, n.d.).

 

 

IFRS 18’s Broader Impacts

Investor Semakin Diuntungkan

IFRS 18 tidak hanya berdampak terhadap metode pelaporan keuangan saja, tetapi juga berdampak pada performa saham suatu perusahaan. Laporan keuangan yang transparan dan detail akibat penerapan IFRS 18 dapat menunjukkan performa baik atau buruk perusahaan. Tidak hanya itu, laporan keuangan yang transparan dan lengkap menjadi faktor utama investor untuk membuat keputusan investasi di suatu perusahaan (Ritter, 2024). Itulah mengapa IFRS 18 menjadi penolong baik trader maupun investor agar tidak salah menginvestasikan uang mereka di suatu perusahaan.

Income statement bagi investor merupakan pilar utama dalam menentukan arah investasi mereka (Cascino et al., n.d.). Akan tetapi, income statement terkadang tidak dapat mengakomodasi semua informasi sehingga dibuatlah catatan atas laporan keuangan. Pada IFRS 18 ini, International Accounting Standard Board (IASB) mewajibkan perusahaan untuk melaporkan cost by nature perusahaan agar dapat melacak alokasi biaya yang tercatat di income statement.

Untuk memahami dampak IFRS 18 pada catatan atas laporan keuangan dengan lebih baik, berikut ini ilustrasi yang menjelaskan skenario PT IDE yang melakukan kecurangan di laporan keuangan mereka, lebih tepatnya pada biaya Research and Development (RnD) di income statement. PT IDE merupakan perusahaan pengembangan software yang memiliki biaya RnD $100.000. Akan tetapi, hanya $20.000 yang digunakan untuk pembelian software RnD, $80.000 sisanya digunakan untuk membayar mahal gaji karyawan perusahaan.

Gambar 1: RnD expenses pada income statement PT IDE

Pada aturan lama, IAS 1, PT IDE dapat melaporkan total biaya RnD  saja, yaitu $100.000. Investor melihat ini sebagai jumlah yang cukup besar dan menganggap bahwa PT IDE memiliki keseriusan dalam melakukan inovasi.

Gambar 2: Catatan atas laporan keuangan PT IDE yang disusun by nature

Berbeda halnya dengan IFRS 18, standar ini mewajibkan perusahaan untuk melaporkan cost by nature pada catatan atas laporan keuangan. Penerapan standar ini akan “memaksa” perusahaan untuk memberikan rincian dana yang digunakan oleh perusahaan. Berdasarkan catatan atas laporan keuangan PT IDE setelah menggunakan standar IFRS 18, PT IDE harus menjabarkan secara terpisah jumlah gaji dan biaya amortisasi untuk pembelian software. Pelaporan biaya secara detail yang ditawarkan oleh IFRS 18 tidak memberi celah sedikitpun bagi perusahaan untuk menyembunyikan alokasi dana mereka. PT IDE yang awalnya terlihat menarik oleh investor karena mendorong inovasi perusahaan, ternyata tidak cukup inovatif sebab hanya 20% dana yang dialokasikan untuk pembelian software. Secara tidak langsung, IFRS 18 mencegah dana investor dialokasikan pada perusahaan yang salah.

 

Lembaga Kredit Semakin Percaya Diri

Selain investor, penerapan IFRS 18 juga memberi dampak yang signifikan bagi pemberi kredit. Pemberi kredit, yaitu bank, menjadi lebih percaya diri dengan kehadiran IFRS 18. Hal ini dikarenakan perusahaan yang menerapkan IFRS 18 menjadi lebih mudah dinilai dan dipertimbangkan prospek bisnisnya. Tidak hanya itu, penerapan IFRS 18 yang meningkatkan komparabilitas antarperusahaan dapat membantu bank menilai tingkat solvabilitas dan likuiditas suatu perusahaan dibandingkan dengan perusahaan lain dalam industri sejenis.

Salah satu aspek kebaruan dari IFRS 18 adalah Management-defined Performance Measures (MPMs). Hal yang melatarbelakangi munculnya MPMs adalah banyak perusahaan menyertakan analisis pribadi perusahaan (EBITDA, EBIT, normalized profit, dan lain-lain) untuk ditampilkan pada laporan keuangan mereka. Akan tetapi, perusahaan tidak transparan terhadap komponen apa saja yang disertakan dan dikecualikan dalam perhitungan tersebut. Kondisi ini dapat menyebabkan kreditur merugi karena ada beberapa informasi yang ditutupi dan tidak dijelaskan sumbernya.

Untuk memahami konsep MPMs, ingat kembali PT IDE merupakan perusahaan pengembangan software. Pada tahun 20X4 perusahaan tersandung kasus copyright software dan memberi pesangon untuk karyawan yang terkena PHK. Dalam laporan keuangan tahun 20X4, PT IDE melaporkan keuntungan sebesar $50.000, menurun dari $100.000 pada tahun sebelumnya, sebagaimana tercantum dalam catatan adjusted profit. PT IDE berencana mengajukan pinjaman, tetapi pihak bank ragu untuk memberikannya karena kondisi likuiditas perusahaan dinilai bermasalah, ditunjukkan oleh penurunan profit hingga 50%.

Gambar 3: Adjusted operating profit PT IDE sebelum IFRS 18

Pada aturan sebelumnya, penyajian analisis oleh PT IDE hanya menampilkan hasil perhitungan adjusted operating profit. PT IDE tidak menjelaskan dari mana asal gain on disposal, mengapa employee benefit ditambahkan, dan lain-lain. Kondisi ini menyebabkan bank enggan memberi pinjaman karena kurangnya informasi.

Gambar 4: MPMs IFRS 18

Pada IFRS 18, MPMs dilengkapi dengan footnote yang menjelaskan sebab akibat kejadian ekonomi di perusahaan dan format laporan yang diseragamkan. Standar ini juga membantu user untuk mengetahui:

  1. Biaya yang terjadi berulang atau tidak;
  2. Alasan terjadi kerugian;
  3. Dampak ke arus kas perusahaan.

Standar baru ini, mempermudah lembaga kredit mengevaluasi keuangan perusahaan secara objektif. Bank yang semula ragu dengan kinerja PT IDE akhirnya menyetujui pengajuan pinjaman setelah IFRS 18 diterapkan (King, 2023). Tidak hanya itu, MPMs ini juga akan menjadi objek audit sehingga kredibilitas dan akuntabilitasnya dapat diukur (Dharan, 1992).

 

 

Tantangan dalam Penerapan Standar IFRS 18

Kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM)

Implementasi IFRS 18 memerlukan pemahaman baru terhadap struktur penyajian laporan keuangan yang lebih kompleks dan prinsip-prinsip klasifikasi aktivitas keuangan. Sayangnya, tidak semua praktisi akuntansi di Indonesia, khususnya di daerah atau di sektor usaha mikro dan kecil, memiliki akses terhadap pelatihan atau sumber daya yang memadai mengenai IFRS terbaru. Selain itu, perubahan ini juga menuntut auditor dan regulator untuk menyesuaikan metode pengawasan dan pemeriksaan laporan keuangan. Tanpa pelatihan yang terstruktur dan menyeluruh, potensi terjadinya kesalahan interpretasi terhadap standar baru cukup tinggi, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keandalan laporan keuangan.

 

Biaya Implementasi

Penerapan IFRS 18 tidak hanya menuntut perubahan dalam pelaporan, tetapi juga menuntut perusahaan untuk melakukan investasi finansial yang cukup besar. Perusahaan perlu menyesuaikan sistem pelaporan internalnya, termasuk software akuntansi dan sistem Enterprise Resource Planning (ERP), agar mampu mengakomodasi klasifikasi dan pengungkapan baru yang diwajibkan IFRS 18. Biaya implementasi ini bisa sangat signifikan, terutama untuk perusahaan skala menengah ke bawah yang belum memiliki sistem keuangan yang fleksibel. Selain itu, pelatihan karyawan, konsultasi dengan ahli, dan uji coba pelaporan menjadi elemen tambahan yang membutuhkan alokasi anggaran khusus untuk menjawab tantangan tantangan dari segi kesiapan sumber daya termasuk SDM dalam mengadopsi standar terbaru ini.

 

Kompleksitas Teknis

IFRS 18 mengklasifikasikan laporan laba rugi ke dalam tiga kategori utama: aktivitas operasional, investasi, dan pendanaan. Selain itu, standar ini mengharuskan pengungkapan “Management Performance Measures” (MPM), yaitu ukuran kinerja yang digunakan manajemen secara internal dimana pada saat ini penggunaannya sudah diatur oleh IFRS 18. Hal ini menuntut akuntan untuk melakukan penilaian profesional yang lebih tinggi dalam menentukan klasifikasi aktivitas dan dalam menyusun narasi yang menjelaskan MPM secara transparan. Kompleksitas ini bisa menyulitkan, terutama bagi entitas yang belum terbiasa dengan pendekatan prinsip-based yang digunakan oleh IFRS.

 

Skala Perusahaan di Indonesia

Tantangan lainnya muncul dari keragaman skala dan kompleksitas perusahaan di Indonesia. Memang, sebagian besar perusahaan atau unit usaha di Indonesia masih didominasi oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Sayangnya, banyak di antara UMKM tersebut belum memiliki sistem keuangan yang mapan atau pelaporan yang tertata dengan baik. Oleh karena itu, tuntutan dalam IFRS 18 untuk menyajikan informasi yang lebih rinci dan terstruktur dapat menjadi beban tersendiri. Meskipun IFRS pada dasarnya ditujukan bagi entitas yang memiliki akuntabilitas publik, penerapan standar ini secara luas tetap akan berdampak pada berbagai jenis perusahaan, termasuk yang belum terbiasa menyusun laporan keuangan berdasarkan standar internasional. Terlebih lagi, perusahaan-perusahaan besar masih tetap menjalin hubungan dengan UMKM dalam berbagai aktivitas bisnis, seperti pengadaan barang dan jasa, konsultasi, maupun penjualan.

 

 

Proses Harmonisasi Sistem dan Regulasi Nasional yang Panjang

Indonesia memiliki standar akuntansi tersendiri yaitu Standar Akuntansi Keuangan yang disusun oleh DSAK IAI. Meskipun SAK mengacu pada IFRS, penerapannya perlu mempertimbangkan lingkungan hukum, ekonomi, dan sosial di Indonesia yang bisa berbeda dari yurisdiksi IFRS. Hal ini dapat menjadi tantangan dalam penerapannya di Indonesia Selain berada di bawah kewenangan Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK IAI), penerapan IFRS di Indonesia juga melibatkan lembaga regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI). Hal ini disebabkan karena standar pelaporan keuangan, dapat berdampak langsung pada tata kelola pelaporan di sektor keuangan. Sebagai contoh menetapkan pedoman pelaporan keuangan bagi emiten di pasar modal yang harus konsisten dengan prinsip-prinsip pelaporan yang diakui secara nasional maupun internasional. Sementara itu, Bank Indonesia berperan dalam mengatur pelaporan keuangan perbankan dan lembaga keuangan lainnya, yang dapat terdampak oleh perubahan struktur laporan kinerja keuangan sesuai IFRS 18. Tanpa adanya koordinasi dan harmonisasi regulasi antar lembaga, terdapat potensi munculnya regulasi yang tumpang tindih atau bahkan bertentangan. Oleh karena itu, sinergi antara DSAK IAI, OJK, dan BI sangat penting untuk memastikan adopsi IFRS 18 dapat berjalan secara konsisten dan tidak membingungkan pelaku usaha, khususnya di sektor keuangan.

 

 

 

Daftar Pustaka 

Cascino, S., Clatworthy Beatriz, M., Osma, G., Gassen, J., Imam, S., & Jeanjean, T. (n.d.). AUTHORS: Professional Investors and the Decision Usefulness of Financial Reporting-EFRAG-ICAS Report Professional Investors and the Decision Usefulness of Financial Reporting-EFRAG-ICAS Report.

Dharan, B. G. (1992). Auditing as a Signal in Small Business Lending. The Journal of Entrepreneurial Finance, 2(1), 1–11. https://doi.org/10.57229/2373-1761.1128. 

Ernst & Young. (2024). Applying IFRS: A Closer Look at IFRS 18. EY Global. Diakses pada 3 April 2025, dari https://www.ey.com/en_gl/technical/ifrs-technical-resources/applying-ifrs-a-closer-look-at-ifrs-18.

Ikatan Akuntan Indonesia. (2024). IASB Menerbitkan IFRS 18 Presentation and Disclosure in Financial Statements. IAI. Diakses pada 6 April 2025, dari https://web.iaiglobal.or.id/Berita-IAI/detail/iasb_menerbitkan_ifrs_18_presentation_and_disclosure_in_financial_statements#gsc.tab=0. 

International Accounting Standards Board. (2024). New IFRS Accounting Standard Will Aid Investor Analysis of Companies’ Financial Performance. IFRS Foundation. Diakses pada 5 April 2025, dari https://www.ifrs.org/news-and-events/news/2024/04/new-ifrs-accounting-standard-will-aid-investor-analysis-of-companies-financial-performance/.

International Accounting Standards Board. (2024). Project Summary: IFRS 18 Presentation and Disclosure in Financial Statements. IFRS Foundation. Diakses pada 5 April 2025, dari https://www.ifrs.org/content/dam/ifrs/project/primary-financial-statements/ifrs-standard/projectsummary-ifrs18-april2024.pdf​.

King, H. (2023). Assessing the Impact of Audit Quality on Accountability and Transparency among Financial Institutions in the United States: A Systematic Review and Meta-Analysis. Journal of Finance and Accounting, 7(2), 11–21. https://doi.org/10.53819/81018102t4130. 

PwC. (2024). IFRS 18 is Here: Redefining Financial Performance Reporting. PwC – Viewpoint UK. Diakses pada 6 April 2025, dari https://viewpoint.pwc.com/dt/uk/en/pwc/in_briefs/in_briefs_INT/in_briefs_INT/ifrs-18-is-here-redefining-financial-performance-reporting.html#pwc-topic.dita_c6df8709-2419-4baa-8a4c-3a59e36983ae. 

Ritter, C. (2024). Financial Reporting: A Key Pillar of Transparency And Accountability. In Business Studies Journal (Vol. 16, Issue 2).

Sitawati, Riana. (n.d.). IFRS 18: Latar Belakang, Tujuan, dan Perubahan. Riana Sitawati Kantor Jasa Akuntan Web. Diakses pada 7 April 2025, dari https://www.kja-rianasitawati.com/ifrs-18-latar-belakang-tujuan-dan-perubahan-2/ 

Mengapa Metode Pencatatan LIFO Dilarang untuk Diterapkan di Indonesia?

IDE TimesIDE Times (Accounting Article) Friday, 8 November 2024

Author: Farabiana Indira Pamungkas, Felita Aisha Maharani, Hana Hafizhah, Mirza Rashid

 

Latar Belakang 

Bagaikan tiang yang menyangga rumah, begitulah penerimaan pajak dianalogikan. Indonesia merupakan negara berkembang yang mengandalkan pajak sebagai sumber terbesar dalam pendapatan negara. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penerimaan pajak pada tahun 2023 adalah sebesar Rp 2.118,34 triliun atau sekitar 80,32% dari total penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN). Proporsi ini tidak berubah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, seperti pada tahun 2021 dan 2022, proporsi penerimaan pajak berturut-turut adalah 76,93% dan 77,19%. Data tersebut memperlihatkan bahwa Indonesia masih menggantungkan pendapatan negaranya pada penerimaan pajak dari masyarakat. 

Penerimaan pajak terbagi menjadi dua kategori, salah satunya adalah penerimaan pajak utama.  Sektor penerimaan pajak utama terdiri dari PPh 21, PPh 22, PPh Orang Pribadi, PPh Badan, PPh 26, PPh Final, PPN Dalam Negeri, dan PPN Impor. Berdasarkan data Kementerian Keuangan tahun 2023, salah satu penyumbang terbesar pada sektor penerimaan pajak utama adalah PPh Badan dengan kontribusi sebesar 21,93% atau sekitar 409,91 triliun. PPh Badan dibayar oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia, seperti PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. sebagai perusahaan dagang yang menaungi Alfamart.  

Sumber: Laporan Keuangan PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk. Tahun 2023

 

Besaran Pajak Ditentukan Laba Perusahaan  

Perlu diperhatikan bahwa besaran pajak yang dikenakan ke perusahaan dagang berasal dari perhitungan laba bersih yang dihasilkan oleh perusahaan. Laba bersih atau net profit berasal dari laba kotor atau gross profit dikurangi dengan biaya-biaya operasional perusahaan. Laba kotor didapatkan dari selisih antara penjualan bersih dengan harga pokok penjualan (HPP). Metode yang digunakan dalam perhitungan persediaan akan memiliki pengaruh pada besaran HPP yang dihasilkan sehingga akan berdampak besaran laba. Berikut ini contoh laporan laba rugi perusahaan dagang untuk menunjukkan pengaruh HPP terhadap besaran laba dan pajak. 

Sumber : Laporan Keuangan PT Sumber Alfaria Trijaya, Tbk. Tahun 2024

 

Metode Perhitungan Persediaan 

Besaran HPP diperoleh dari perhitungan metode persediaan. Berdasarkan peraturan International Financial Reporting Standard (IFRS) dan Generally Accepted Accounting Principles (US GAAP), terdapat tiga metode perhitungan persediaan, yakni FIFO, LIFO, dan weighted average. First-in, first-out (FIFO)  adalah metode yang mengasumsikan bahwa barang yang masuk pertama kali akan dijual lebih dahulu dan persediaan akhir adalah barang yang terakhir dibeli. Last-in, first-out (LIFO)  adalah metode yang mengasumsikan bahwa barang yang terakhir masuk akan dijual lebih dahulu dan persediaan akhir adalah barang yang pertama kali dibeli (Tardi, 2024). Weighted average adalah metode penentuan biaya setiap barang yang berasal dari rata-rata jumlah total nilai persediaan awal dan pembelian barang selama periode tertentu. Menurut peraturan IFRS, penggunaan metode LIFO tidak diperbolehkan sehingga perusahaan hanya diperbolehkan menggunakan metode FIFO dan weighted average. Hal ini disebabkan besaran laba yang dihasilkan weighted average tidak jauh berbeda dari FIFO sehingga penulis hanya mengkomparasikan perhitungan antara metode FIFO dan LIFO untuk melihat besaran laba yang dihasilkan yang akan berpengaruh pada pajak.

 

Perbandingan Perhitungan Metode FIFO dan LIFO 

Untuk melihat perbedaan dari penggunaan metode FIFO dan LIFO, dapat menggunakan permisalan sebagai berikut. 

Perusahaan A dalam satu periode bulan Desember 2024 melakukan pembelian barang dagang berupa raket nyamuk sebanyak tiga kali dan menjual sebanyak satu kali. Tabel berikut meringkas transaksi pembelian dan penjualan barang dagang.

Perbandingan perhitungan HPP pada akhir periode dengan metode LIFO dan FIFO.

Perbandingan perhitungan nilai persediaan akhir metode FIFO dan LIFO.

Perbandingan dampak pada laporan keuangan.

Jika diasumsikan rata-rata harga jual raket nyamuk per unit adalah Rp50.000, didapatkan total penjualan 55 unit x Rp50.000 = Rp2.750.000. Asumsi nilai penjualan ini dapat digunakan untuk menghitung laba bruto dan dampaknya terhadap perkenaan pajak perusahaan. 

Laba bruto (dengan asumsi nilai penjualan sebesar Rp2.750.000): 

  • Laba Bruto FIFO: Rp2.750.000 – Rp1.825.000 = Rp925.000
  • Laba Bruto LIFO: Rp2.750.000 – Rp1.922.500 = Rp827.500

Dapat dilihat bahwa metode LIFO menghasilkan HPP yang lebih tinggi dengan laba bruto yang lebih rendah, sedangkan metode FIFO menghasilkan HPP yang lebih rendah dengan laba bruto yang lebih tinggi. Jika tarif pajak yang berlaku sebesar 20%, 

  • Besaran pajak dengan metode FIFO sebesar 20% x Rp925.000 = Rp185.000.
  • Besaran pajak dengan metode LIFO sebesar 20% x Rp827.500 = Rp165.500.

Berdasarkan kasus tersebut, apabila Perusahaan A menggunakan metode LIFO, pajak yang dibayarkan harus lebih rendah, yaitu sebesar Rp165.500, dibandingkan dengan menggunakan metode FIFO sebanyak Rp185.000. Hasil ini tentunya menjadi landasan atas standar akuntansi yang diterapkan di Indonesia.

 

LIFO Dilarang di Indonesia

Standar praktik akuntansi di Indonesia mengacu pada Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang disusun dan diterbitkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan di bawah naungan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Di dalam SAK, terdapat  Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) yang mengatur tentang bagaimana seharusnya kegiatan akuntansi dilakukan. Pada 1970-an, SAK berkiblat pada standar akuntansi Amerika Serikat, US GAAP, sebelum berpindah haluan secara perlahan-lahan menuju International Accounting Standard (IAS) pada 1990-an. SAK akhirnya mengadopsi penuh IFRS, kelanjutan dari IAS, pada awal 2015. Proses tersebut tentunya menimbulkan perubahan ketentuan pencatatan, termasuk penghapusan metode penilaian persediaan LIFO dari PSAK No. 14 pada 2008 yang menyebutkan bahwa persediaan hanya dapat dinilai dengan metode FIFO dan weighted average saja. Revisi PSAK No. 14 ini merujuk pada penetapan International Accounting Standard Board (IASB) yang melarang penggunaan metode LIFO di standar pencatatan keuangannya, IFRS. Namun, mulai 1 Januari 2024, PSAK No. 14 ini diubah penomorannya menjadi PSAK No. 202 setelah disahkan pada 12 Desember 2022, tetapi garis besar isinya tetap sama.

Alasan IAI tidak lagi mengadopsi metode LIFO sejalan dengan alasan IASB. Anggapan bahwa metode LIFO dapat mendistorsi laporan keuangan karena hasil perhitungan laba yang lebih kecil dibandingkan metode FIFO menjadi pendorong keduanya untuk menghapus metode LIFO. Selain itu, perolehan laba yang lebih kecil juga meminimalkan beban pajak yang ditanggung suatu perusahaan. Pelarangan metode LIFO di Indonesia diperkuat dengan adanya Pasal 10 ayat 6 UU No. 36 tahun  2008 tentang Pajak Penghasilan yang berbunyi “Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan cara mendahulukan persediaan yang diperoleh.”

 

IFRS vs US GAAP

 Saat ini, peraturan pencatatan akuntansi di setiap negara umumnya mengacu pada salah satu dari dua ‘raksasa’ pengatur standar akuntansi, yakni IFRS, produk dari IASB yang berkantor pusat di Inggris, serta US GAAP sebagai produk dari Financial Accounting Standard Board (FASB) yang berkantor pusat di Amerika Serikat. Meskipun keduanya sama-sama mengatur standar pencatatan akuntansi, IASB dan FASB memiliki basis yang berbeda. IASB cenderung condong pada sifat principles-based, sedangkan FASB bersifat rules-based. 

Perbedaan itu menimbulkan adanya konvergensi di antara kedua produk standar akuntansi dari masing-masing organisasi yang bertanggung jawab menetapkan standar akuntansi tersebut. Salah satu yang dapat dilihat adalah IFRS melarang penggunaan metode LIFO, tetapi sebaliknya, US GAAP memperbolehkan praktik perhitungan persediaan akhir tersebut di negara yang menerapkannya, yakni Amerika Serikat. Walaupun mayoritas perusahaan di negara tersebut menggunakan metode FIFO dan weighted average, beberapa perusahaan masih memakai LIFO untuk menghindari pajak yang tinggi.

 

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. (2024). Realisasi Pendapatan Negara (Milyar Rupiah), 2022-2024. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2024, dari https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTA3MCMy/realisasi-pendapatan-negara–milyar-rupiah-.com

Ikatan Akuntansi Indonesia. (2022). PSAK Umum. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2024, dari  https://web.iaiglobal.or.id/PSAK-Umum/16#gsc.tab=0 

Islami, Kurnia. (2022). Perbedaan Standar Akuntansi Keuangan SAK, PSAK, ISAK. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2024, dari https://spi.unisma.ac.id/perbedaan-standar-akuntansi-keuangan-sak-psak-isak/

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024). APBN KITA Kinerja dan Fakta: Kaleidoskop 2023. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2024, dari https://www.kemenkeu.go.id/apbnkita 

KPMG International. (2021). Inventory accounting: IFRS® Standards vs US GAAP. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2024, dari https://kpmg.com/us/en/articles/2023/inventory-accounting.html 

Tardi, C. (2024). FIFO vs. LIFO Inventory Valuation – Accounting. Investopedia. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2024, dari  https://www.investopedia.com/articles/02/060502.asp 

Thomson Reuters Tax & Accounting. (2024). Understanding GAAP Rules. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2024, dari https://tax.thomsonreuters.com/blog/understanding-gaap-rules/ 

Warsono, S., Natalia, I., & Candrasari, R. (2013). Akuntansi Pengantar 1 Sistem Penghasil Informasi Keuangan Adaptasi IFRS. AB Publisher. 

Lack of Accounting Professionals, More of A Structural Problem?

IDE TimesIDE Times (Accounting Article) Friday, 2 August 2024

Author: Keyra Audrey Annabelle Christian, Devita Ananda Pohan, Muh. Taswin

 

Next Generation Gap in the US

“The US is battling a shortage of new recruits into the accounting profession compelling AICPA to reduce the amount of university education needed to qualify as a CPA.” -Financial Times

Kekurangan tenaga kerja baru dalam profesi akuntansi bersertifikat di Amerika Serikat terus mengalami tren peningkatan, hal ini menjadi isu yang memprihatinkan. Berbagai faktor yang menyebabkan kekurangan ini terus terjadi, berbagai upaya pemerintah dan sektor swasta pun telah dilakukan untuk mengatasi kekurangan akuntan di Amerika Serikat. Lebih dari 300.000 akuntan dan auditor telah meninggalkan profesi sejak tahun 2020 dan 75% akuntan publik Amerika Serikat telah mencapai masa pensiun pada tahun 2020 (Ellis, 2022). Pada saat yang sama, pendaftar di program studi Akuntansi juga mengalami penurunan, di mana tingkat penurunan lulusan Akuntansi sebesar 7,8% dari sebelum tahun 2021 (AICPA, 2023). Terdapat berbagai dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari kurangnya profesi akuntan di Amerika Serikat, bahkan firma akuntansi secara nasional.

 

Indonesia Mengalami Kekurangan Tenaga Akuntansi

Indonesia termasuk dalam negara yang mengalami kekurangan profesi akuntan, apalagi Indonesia yang terus mengalami pertumbuhan ekonomi, sehingga membutuhkan permintaan yang tinggi atas akuntan dan auditor. Berdasarkan penuturan Guru Besar Ilmu Akuntansi Keuangan dan Audit Universitas Pelita Harapan (UPH), Prof. Dr. Drs. Antonius Herusetya, rasio perbandingan akuntan publik di Indonesia 1:121.000 dari jumlah penduduk di Indonesia dengan kekurangan ini menyebabkan perusahaan mengalami berbagai kesulitan dalam pelayanan kantor akuntan. Indonesia yang hanya memiliki 4.000 orang CPA (Certified Public Accountant) dibandingkan dengan Thailand yang mencapai 12 ribu orang (Antonius H., 2023).

Informasi pasar tenaga kerja di Indonesia menunjukkan peningkatan permintaan akan tenaga ahli di bidang akuntansi sehingga peluang kerja bagi lulusan akuntansi semakin terbuka lebar. Namun, kenyataannya jumlah akuntan publik di Indonesia tidak bertambah secara signifikan dari tahun ke tahun. Dalam hal kualitas, pasar lebih menyukai jasa kantor akuntan publik (KAP)  global yang dianggap lebih memenuhi standar internasional. Kelebihan pasokan di pasar kerja KAP memang memberikan keuntungan bagi perusahaan dalam hal perekrutan, tetapi juga menimbulkan tantangan dalam hal menemukan karyawan dengan keterampilan khusus. Di sisi lain, kekurangan pasokan di industri akuntansi secara keseluruhan dapat menghambat pertumbuhan bisnis dan inovasi. Dengan ini, perusahaan yang tidak dapat mengakses layanan akuntansi dan kesulitan dalam mendapatkan tenaga kerja bidang akuntan yang berkualitas akan kesulitan bersaing di pasar global.

 

Unattractive Payoff

Fenomena kekurangan akuntan yang terjadi, baik di Amerika Serikat maupun Indonesia, dapat disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah ketidaksesuaian payback atau investasi terhadap sertifikasi akuntan tersebut tidak terkompensasi. Sertifikasi memang semakin sulit untuk didapatkan. Terlebih lagi KAP Big 4, yang merupakan pilihan utama pengguna jasa akuntan, menjadi satu-satunya ekspektasi kesuksesan terbesar bagi para calon lulusan Akuntansi. Padahal, KAP di luar Big 4 dapat memasarkan jasa mereka dengan lebih tepat sasaran sehingga lebih banyak calon akuntan yang berekspektasi bekerja di luar KAP Big 4 dan jasa mereka pun dapat digunakan oleh lebih banyak kalangan. Sertifikasi menjadi salah satu jaminan sekaligus ancaman bagi para lulusan Akuntansi. Dalam hitung-hitungan sederhana, mendapatkan sertifikasi akuntan publik atau CPA  membutuhkan biaya minimal Rp900.000 hanya untuk satu mata ujian atau tingkat paling dasar. Di Amerika Serikat, rentang harga yang berlaku untuk memperoleh CPA adalah $3000 – $5000. Ekspektasi gaji sebagai return on investment yang diharap dapat diterima oleh lulusan Akuntansi dinilai masih rendah dan tidak dapat mengompensasi biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh tingkat CPA tersebut.

Dalam menyiapkan CPA, para lulusan Akuntansi harus mempersiapkan banyak hal, mulai dari biaya pendaftaran ujian, biaya bimbingan, hingga biaya per mata ujian yang tidak kecil. Sayangnya, mereka juga masih berpatokan pada jalan karir menuju KAP Big 4. Anggapan bahwa satu-satunya jalan karir akuntan sukses adalah dengan masuk Big 4 tidak selamanya benar. Pada kenyataannya, KAP Big 4 memang dapat menjadi tempat yang baik untuk membentuk mental dan menambah wawasan ‘lapangan’. Namun, KAP non-Big 4 juga masih tetap dapat menjadi salah satu harapan utama lulusan akuntansi. Upaya pemasaran KAP non-Big 4 harus menjadi perhatian serius jika ingin menyaingi kredibilitas KAP Big 4 dan menjadi pilihan utama pengguna jasa akuntan.

 

Rising Trend of Outsourcing

Hasil survei CPA Trendlines Outlook menunjukkan bahwa 42% accounting firm menolak permintaan klien karena kekurangan staf untuk memenuhi kebutuhan klien mereka. Oleh karena itu, outsourcing akuntan dari berbagai negara, seperti India, Afrika Selatan, dan Filipina dapat menjadi solusi agar mereka bisa terus menerima klien baru dan bertumbuh di pasar yang kompetitif. KAP dapat berinvestasi di Centers of Excellence (COE) atau Global Delivery Centers, yang memanfaatkan sumber daya manusia lokal di negara-negara dengan kelebihan sumber daya manusia untuk memperkuat tim KAP di Amerika Serikat (AS) agar dapat memberikan lebih banyak pekerjaan kepada klien secara efektif dan hemat biaya. 

Agar dapat mengoptimalkan outsourcing dari COE, KAP dapat bermitra dengan partner yang berpengalaman dalam mengelola outsourced team, yaitu yang memiliki track record dalam memberikan pekerjaan berkualitas kepada perusahaan-perusahaan AS. Salah satu contohnya adalah SAPRO, yaitu sebuah global talent outsourcing firm asal India yang menyediakan tenaga profesional di bidang Tax, Advisory dan Assurance. SAPRO juga memiliki anak perusahaan yang merupakan COE, yaitu BINDZ Consulting yang beroperasi di luar India. Contoh lainnya adalah Global Delivery Centers (GDC) yang dimiliki oleh Deloitte China, yaitu The Chongqing GDC yang juga menyediakan layanan bagi Deloitte Jepang dan Korea. Deloitte China telah merancang GDC-nya berdasarkan prinsip AS-India agar dapat memberikan layanan dengan kualitas terbaik bagi klien.

Selain talent outsourcing, terdapat solusi lainnya untuk menarik generasi muda dengan mempromosikan akuntansi sebagai pilihan bidang karier. Sebuah survei yang dilakukan oleh AICPA menunjukkan bahwa hanya 4% siswa sekolah menengah atas yang berminat untuk berkarier di bidang akuntansi. Hal ini menunjukkan kurangnya ketertarikan generasi muda terhadap profesi ini. Oleh karena itu, perguruan tinggi dan perusahaan dapat mempromosikan karir di bidang akuntansi melalui pemberian kesempatan bagi siswa untuk mengikuti professional development dan bagi bisnis untuk berinvestasi dalam program training and development. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui pengadaan webinar, workshop, bootcamp, bahkan program beasiswa seperti KPMG 4SEAS Scholarship, PwC’s CDP scholarship, The EY Scholarship, serta The Deloitte Scholarship. Inisiatif-inisiatif tersebut tidak hanya menarik individu berbakat yang mencari peluang karier, tetapi juga memfasilitasi pembelajaran berkelanjutan dan peningkatan keterampilan bagi anggota tim yang ada di perusahaan. Selain itu, KAP juga bisa menyelenggarakan kompetisi berhadiah internship sebagai peluang bagi mahasiswa untuk berkarir di KAP, seperti Deloitte Tax Challenge atau berkolaborasi sebagai case partner dalam lomba yang diselenggarakan oleh universitas.

 

Referensi

Deloitte. Global delivery center. Diakses dari https://www2.deloitte.com/cn/en/pages/technology/solutions/global-delivery-center.html.

Garima. (2024). Tackling the accountant shortage in the USA. Invedus. Diakses dari https://invedus.com/blog/accountant-shortage-in-the-usa/.

SAPRO. (2024). 42% of firms can’t take on new clients due to staffing shortages. Linkedin. Diakses dari https://www.linkedin.com/pulse/42-firms-cant-take-new-clients-due-staffing-shortages-ou3of/.

SAPRO.com. SAPRO: accounting workforce solutions. Diakses dari https://www.sapro.com/about.

Ellis, L. (2022). The Wall Street Journal: Why So Many Accountants Are Quitting. Diakses dari https://www.wsj.com/articles/why-so-many-accountants-are-quitting-11672236016.

Indriani. (2023). Antara: Guru Besar sebut Indonesia masih kekurangan akuntan publik. Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/3806781/guru-besar-sebut-indonesia-masih-kekurangan-akuntan-publik.

AICPA & CIMA. (2023). 2023 Trends Report. Diakses dari https://www.aicpa-cima.com/professional-insights/download/2023-trends-report.

Ryan, F. (2023). CFO.com: U.S. Accounting Graduates Fall Nearly 8%: AICPA. Diakses dari https://www.cfo.com/news/us-accounting-graduates-bachelors-degree-AICPA-CPA-exam-candidates/696932/.

Carbon Accounting: Balancing Profit and Planet

IDE TimesIDE Times (Accounting Article) Monday, 3 June 2024

Author: Muhammad Adam; Editor: Mohammad Fachri, Ratri Dwiyanti

“Climate change is fast, much faster than it seems we have the capacity to recognize and acknowledge; but it is also long, almost longer than we can truly imagine.”

Demikian kutipan dari David Wallace-Wells dalam bukunya yang berjudul “The Unhabitable Earth”. Dengan populasi bumi yang saat ini melampaui 8 miliar jiwa, aktivitas ekonomi produksi yang tak pernah berhenti, dan ketidakstabilan iklim yang semakin meningkat, tak heran apabila kemudian muncul sebuah pertanyaan—bagaimana kondisi bumi di masa depan?

 

A Brief History of Carbon Accounting

Kemunculan tren greenhouse gas accounting atau carbon accounting telah diperkenalkan pada awal tahun 1970-an. Namun isu ini baru mendapat perhatian yang substansial pada awal  tahun 2000-an setelah kesadaran akan urgensi krisis iklim meningkat. Buah dari kesadaran ini adalah ditandatanganinya Paris Agreement, yang secara hukum mengikat 196 negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca nasional, untuk memerangi dampak terburuk dari kondisi iklim saat ini. Perjanjian yang diadopsi pada tahun 2015 ini juga memainkan peran penting dalam mendorong dunia bisnis untuk mengurangi emisi karbon dan memonitor aktivitas penghasil karbon dengan menggunakan carbon accounting.

 

Principles of Carbon Accounting and Why It’s Essential

Carbon accounting merupakan salah satu bentuk aksi nyata dalam mewujudkan SDGs yang khusus mengatasi permasalahan iklim. Carbon accounting dapat didefinisikan sebagai proses penghitungan atau pencatatan jumlah emisi karbon yang dihasilkan (Kezia, 2024) baik secara langsung maupun tidak langsung dari aktivitas suatu organisasi atau entitas bisnis. Aktivitas bisnis atau organisasi akan menyumbang residu seperti karbon ke lingkungan yang menambah dampak buruk terhadap iklim. Aktivitas tersebut bisa berupa aktivitas langsung seperti proses manufaktur atau penjualan, maupun aktivitas tidak langsung seperti rantai pasok dari hulu ke hilir (konsumen).

Sumber: Crippa et al. (2023)

Data tersebut menunjukkan emisi gas rumah kaca tahunan secara global dari tahun 1970 hingga 2022, diukur dalam miliar metrik ton setara CO2. Pada tahun 1970, emisi global tercatat sekitar 25 miliar metrik ton setara CO2 dan mengalami peningkatan yang hampir terus menerus hingga mencapai sekitar 50 miliar metrik ton setara CO2 pada tahun 2022. Selama periode tersebut, terjadi beberapa fluktuasi kecil, terutama sekitar tahun 2008 dan 2020, yang dapat dikaitkan dengan krisis ekonomi global dan pandemi COVID-19. Peningkatan emisi gas rumah kaca berada dalam satu dekade tertinggi dengan total produksi CO2 sebanyak lebih dari sepuluh miliar ton metrik periode tahun 2000–2010. Ini menunjukkan eskalasi masalah yang memerlukan respons global yang komprehensif dan terkoordinasi. Secara keseluruhan, tren ini menunjukkan peningkatan signifikan dalam emisi gas rumah kaca, menyoroti tantangan yang dihadapi dalam upaya mitigasi perubahan iklim global.

Sumber: Crippa et al. (2023)

Berdasarkan data tersebut, sektor pembangkit listrik, transportasi, dan limbah pembakaran industri adalah tiga besar penyumbang  emisi CO2 global pada tahun 2022. Upaya pengurangan emisi harus difokuskan pada sektor-sektor tersebut untuk mencapai dampak yang signifikan dalam mitigasi perubahan iklim. Inisiatif seperti peningkatan efisiensi energi, adopsi energi terbarukan, dan peralihan ke transportasi berkelanjutan akan menjadi respons yang sangat dibutuhkan. Sektor-sektor lain seperti industry process juga perlu dioptimalkan untuk mengurangi emisi. Meski pertanian menyumbang bagian yang kecil, upaya pengurangan emisi di semua sektor tetap penting untuk mencapai tujuan iklim global.

Carbon accounting memiliki kepentingan yang luar biasa besar karena peran kritis dan tak tergantikan yang dimainkan oleh bisnis dengan kontribusinya dalam menyumbang emisi. Menurut laporan Carbon Disclosure Project (CDP), hanya 100 perusahaan yang bertanggung jawab atas 70% emisi GHG industri dunia pada tahun 2017. Statistik ini menyoroti begitu besarnya dampak  yang dihasilkan  oleh sejumlah perusahaan terhadap perubahan iklim global.

 

How Carbon Accounting Works

Seperti yang telah diketahui, carbon accounting berusaha untuk mengkuantifikasi jumlah emisi yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dengan melacak dan menghitung jumlah karbon yang dikeluarkan dari seluruh kegiatan perusahaan dalam value chain. Jumlah emisi yang dihasilkan ini biasanya disebut sebagai greenhouse gas (GHG) atau sederhananya sebagai gas rumah kaca. CO2 menjadi gas yang paling umum ditemukan dan sering diklasifikasikan sebagai emisi, hal ini membuatnya dijadikan sebagai metrik utama dalam pengukuran GHG. Selain itu, untuk menghitung total emisi yang dikeluarkan, perusahaan juga harus mengalikan GHG dengan Global Warming Potential (GWP), yaitu suatu rasio yang menghitung seberapa besar energi dari satu ton emisi sebuah gas yang dapat diserap pada suatu periode dibandingkan dengan emisi dari satu ton CO2. Maka dari itu, semakin tinggi GWP, semakin besar pula porsi GHG tersebut berkontribusi terhadap pemanasan global.

Sumber: National Grid (2023)

Menurut  GHG Protocol, sebuah badan organisasi pembentuk dasar standarisasi seperti IFRS khusus untuk carbon accounting, emisi gas rumah kaca yang dihasilkan perusahaan dibagi menjadi tiga kategori. Ketiga kategori tersebut terdiri dari lingkup 1 dan 2 yang wajib dilaporkan serta lingkup 3 bersifat opsional tetapi paling sulit dilacak. Perusahaan yang secara lengkap melakukan pelaporan atas ketiga lingkup tersebut tentunya mendapatkan manfaat yang lebih besar dan dapat meningkatkan keunggulan kompetitifnya dalam jangka panjang.

Pada lingkup pertama, emisi gas rumah kaca dihitung berdasarkan banyaknya karbon yang dihasilkan dari kegiatan atau aset yang dimiliki perusahaan. Dengan kata lain, emisi yang dikeluarkan menuju udara adalah hasil dari kegiatan operasional perusahaan. Apabila perusahaan tidak melakukan aktivitas operasionalnya sehingga tidak mengeluarkan emisi karbon, maka nilai emisi karbon lingkup 1 adalah nihil. Contoh dari emisi gas lingkup pertama adalah penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil untuk aktivitas operasional perusahaan. Karena itu, apabila perusahaan menggunakan kendaraan listrik, emisi perusahaan berubah menjadi kategori lingkup kedua.

Kategori emisi lingkup kedua sering disebut sebagai  indirect owned emission. Hal ini disebabkan perusahaan menghasilkan emisi secara tidak langsung melalui pembelian bahan bakar untuk menghasilkan energi yang digunakan dalam kegiatan operasional perusahaan. Kategori lingkup kedua memberikan definisi yang lebih luas dalam mengakui jumlah emisi yang dihasilkan. Perusahaan bisa saja menggunakan energi bersih yang tidak menghasilkan emisi dalam kegiatan operasionalnya, melainkan energi bersih tersebut berasal dari sumber yang menghasilkan emisi. Pada contoh kendaraan listrik, energi bersih yang digunakan tentunya tidak diklasifikasikan sebagai kategori lingkup 1 karena pada kegiatan operasionalnya, kendaraan listrik tersebut tidak menghasilkan emisi. Namun, apabila ternyata sumber listrik berasal dari pembangkit listrik tenaga uap yang menghasilkan emisi, tentunya perusahaan wajib mengakui emisi tersebut dalam laporannya. GHG Protocol mewajibkan untuk melaporkan kedua lingkup kategorisasi tersebut sebagai bentuk pelaporan penuh atas segala aktivitas perusahaan, tidak hanya melihat dari segi produksinya saja.

Lingkup kategori ketiga mencakup segala bentuk emisi yang dihasilkan dari keseluruhan value chain perusahaan mulai dari upstream hingga downstream. Emisi pada lingkup ketiga adalah keseluruhan emisi dikurangi dengan kategori lingkup pertama dan kedua. Emisi yang dihasilkan bukan berasal dari perusahaan itu sendiri namun dari seluruh pihak yang memiliki hubungan dengan perusahaan terlapor. Contohnya adalah ketika dalam instalasi atau perbaikan untuk stasiun pengisian daya mobil listrik perusahaan menggunakan jasa dari pihak lain. Seluruh emisi yang dihasilkan dari pihak tersebut dalam melakukan perbaikan akan dihitung sebagai emisi kategori lingkup ketiga. GHG Protocol tidak mewajibkan untuk melaporkan lingkup ketiga karena perusahaan terlapor sejatinya tidak memiliki kendali penuh dalam mengontrol jumlah emisi dari pihak-pihak yang berhubungan dengannya.

 

Accounting and Its Grand Opportunity

Carbon accounting tidak hanya menjadi sebuah kewajiban atau pertanggungjawaban semata atas jejak karbon yang dihasilkan, tetapi lebih dari itu, carbon accounting memberikan kesempatan-kesempatan bagi perusahaan untuk mengelola efisiensi emisi karbon untuk keberlanjutan. Dalam hal operasional, carbon accounting memungkinkan perusahaan untuk mengidentifikasi sumber utama emisi GHG dalam operasi mereka. Dengan data yang tepat dan akurat, perusahaan dapat mengoptimalkan proses operasional mereka untuk mengurangi emisi, seperti meningkatkan efisiensi energi atau mengurangi limbah. 

Di tengah isu iklim dan lingkungan yang semakin menjadi sorotan, penggunaan carbon accounting menjadi sebuah keunggulan kompetitif tersendiri untuk perusahaan. Transparansi dalam carbon accounting dapat membangun kepercayaan dengan pemangku kepentingan, termasuk pelanggan, investor, dan regulator. Perusahaan yang terbuka tentang jejak karbon mereka dan langkah-langkah yang diambil untuk menguranginya lebih mungkin mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Selain itu, perusahaan yang menunjukkan komitmen terhadap pengurangan emisi karbon dapat menggunakan hal ini sebagai bagian dari strategi branding dan pemasaran mereka. Reputasi sebagai perusahaan yang bertanggung jawab secara lingkungan dapat meningkatkan daya tarik bagi pelanggan yang sadar lingkungan.

Komitmen bersama terhadap emisi karbon pada akhirnya menghasilkan wadah transaksi/perdagangan karbon. Menurut Bank Dunia dalam laporan “State and Trends of Carbon Pricing 2023” yang dirilis pada 23 Mei, saat ini, hampir seperempat emisi gas rumah kaca global atau 23 persen sudah tercakup oleh 73 instrumen pengurangan karbon, baik dalam bentuk ETS maupun pajak karbon. Cakupan itu meningkat dari tujuh persen pada satu dasawarsa lalu ketika Bank Dunia memulai laporan itu. Sebuah pasar pasti ada pembeli dan penjual yang saling berinteraksi. Dalam pasar karbon istilah pembeli merujuk kepada perusahaan yang menghasilkan CO2 dalam volume yang tinggi melakukan pembelian kredit karbon terhadap perusahaan yang sedikit sekali menghasilkan CO2. Sebaliknya, penjual adalah perusahaan yang menjual kredit karbon kepada perusahaan yang menghasilkan emisi CO2 yang tinggi.

Ketika dunia bisnis berkembang semakin pesat, tak terelakkan bahwa emisi karbon yang dihasilkan akan semakin meningkat. Hal ini berimplikasi kepada pemanasan global yang semakin signifikan. Oleh karena itu, pencatatan emisi karbon menjadi alat yang penting untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Dalam beberapa waktu ke depan, seiring berkembangnya ekosistem teknologi dan regulasi, diharapkan carbon accounting mewujudkan SDGs untuk dunia yang lebih baik.

 

Referensi

Aiuto, K., Huckins, S., & Momblanco, H. (2024). What are greenhouse gas accounting and corporate climate disclosures? 6 questions, answered. World Resources Institute. Diperoleh dari https://www.wri.org/insights/ghg-accounting-corporate-climate-disclosures-explained

Crippa, M., et al. (2023). GHG EMISSIONS OF ALL WORLD COUNTRIES JRC SCIENCE FOR POLICY REPORT. Diperoleh dari https://edgar.jrc.ec.europa.eu/booklet/GHG_emissions_of_all_world_countries_booklet_2023report.pdf 

Farbstein, E., Vallinder, A., & Buchmann, L. (2024, April 10). Carbon accounting, explained. Normative. Diperoleh dari https://normative.io/insight/carbon-accounting-explained/

Farnham, K. (2024, February 19). Carbon accounting guide: Standards, best practices & choosing the right software. Diligent Corporation. Diperoleh dari https://www.diligent.com/resources/blog/carbon-accounting

Jackman, H. (2022, July 8). What are carbon reporting scopes? ESG pro Ltd. Diperoleh dari https://esgpro.co.uk/what-are-carbon-reporting-scopes/

National Grid. (2023, June 13). What are scope 1, 2 and 3 carbon emissions?. National Grid Group. Diperoleh dari https://www.nationalgrid.com/stories/energy-explained/what-are-scope-1-2-3-carbon-emissions 

World Bank. (2024). State and trends of carbon pricing 2024. Washington, DC: World Bank. Diperoleh dari https://www.worldbank.org/en/news/press-release/2024/05/21/global-carbon-pricing-revenues-top-a-record-100-billion

Kajian Kolaborasi: Komersialisasi Pendidikan Tinggi Departemen Kajian dan Aksi Strategis x Intellectual Development BEM FEB UGM x IMAGAMA

IDE Times (Accounting Article)Uncategorized Thursday, 18 April 2024

Read more >>>

https://drive.google.com/file/d/1yusyoEnCKN5__Zxe8auTSb7cmikjnXk8/view?usp=drive_link

Kejatuhan Silicon Valley Bank: Kontribusi Pencatatan Available-for-Sale (AFS) dan Held-to-Maturity (HTM)

IDE TimesIDE Times (Accounting Article) Saturday, 6 April 2024

Author: Azzura Adnan K., Luthfida Aufa S. R., Martin Andini, Ratri Dwiyanti; Editor: Mohammad Fachri

Sudah jatuh, tertimpa tangga. Mungkin kalimat tersebut merupakan salah satu istilah yang paling tepat untuk menggambarkan keadaan Silicon Valley Bank (yang selanjutnya akan disebut sebagai SVB) pada Maret 2023. Bank yang berbasis di California ini ditutup oleh California Department of Financial Protection and Innovation (CDFPI) setelah nilai obligasinya mengalami penurunan nilai yang signifikan sehingga para nasabah menarik uang mereka dalam jumlah yang besar, tentu di antara faktor-faktor lainnya. Pada bulan yang sama, First Citizens Bank membeli semua deposito dan pinjaman dari bank yang bangkrut tersebut.

 

SVB dan Start-Up

SVB didirikan pada tahun 1963. Selama lebih dari empat dekade, bank ini telah bertransformasi menjadi bank terbesar ke-16 di Amerika Serikat (AS)–sebelum mengalami kolaps. Menurut Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), per Desember 2022, total aset SVB mencapai $209 miliar. SVB menyediakan layanan perbankan untuk berbagai perusahaan, tetapi lebih berfokus pada perusahaan start-up yang didukung oleh investor modal ventura.

Dalam beberapa tahun terakhir, start-up telah menjadi tujuan utama bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Pendanaan masif dari para investor tentunya tidak bisa secara langsung digunakan sepenuhnya oleh start-up, membuat sebagian besar dana tersebut untuk sementara ditempatkan pada instrumen likuid dan rendah risiko, salah satunya deposito. Pada saat itu, banyak dari mereka memilih untuk menyimpan hasil pendanaan pada SVB. Oleh karena itu, deposito SVB melonjak tiga kali lipat, dari $62 miliar pada akhir tahun 2019 menjadi $189 miliar pada akhir tahun 2021.

Banyak nasabah SVB memiliki modal begitu besar sehingga mereka pun jarang membutuhkan pinjaman dari bank. Apabila dibandingkan dengan model bisnis mayoritas bank yang memfokuskan alokasi dana nasabah melalui penyaluran pinjaman, SVB berfokus pada penempatan dana di instrumen obligasi pemerintah AS yang memiliki profil risiko lebih rendah, tetapi juga harus mengorbankan tingkat pengembalian (return rate) lebih rendah. SVB menyimpan sebagian kecil dari deposito tersebut dalam bentuk tunai, sementara sebagian besar dialokasikan untuk investasi dalam obligasi negara pemerintah AS dan sekuritas berbasis hipotek atau KPR sebanyak $111 miliar atau 55% dari total aset SVB pada tahun buku 2022. Meskipun tujuan awal SVB adalah untuk menjaga keamanan dan likuiditas dana, tetapi strategi ini dianggap kurang baik karena bank seharusnya mendiversifikasi asetnya secara proporsional.

Dengan asumsi untuk memaksimalkan pendapatan, mayoritas sekuritas yang dibeli oleh SVB memiliki waktu jatuh tempo yang panjang. SVB menetapkan mayoritas sekuritasnya sebagai aset held-to-maturity (HTM), mengindikasikan bahwa bank tidak bertujuan untuk menjualnya dalam waktu dekat sehingga tidak akan dinilai ulang berdasarkan harga pasar dalam catatan neraca bank. Strategi ini terbukti efektif selama periode pertumbuhan ekonomi karena menghasilkan pendapatan bunga dari sebagian besar investasi dengan risiko yang rendah. Akan tetapi, strategi ini juga membuat bank menghadapi risiko suku bunga yang signifikan ketika pasar mengalami penurunan.

Sumber: SVB Financial Group’s 2022 10-K

Dalam laporan neracanya per Desember 2022, terlihat bahwa SVB mengkategorikan sekuritasnya ke dalam dua jenis— available-for-sale (AFS) dan held-to-maturity (HTM). Standar akuntansi di AS, GAAP, mensyaratkan agar aset AFS dicatat berdasarkan harga pasar yang merepresentasikan nilai aktual dari sekuritas tersebut. Akan tetapi, GAAP juga memperbolehkan pencatatan sekuritas HTM dengan pencatatan melalui face value dan biaya amortisasi setelah dikurangi alokasi kerugian kredit (The Rational Walk, 2023). Lalu, apakah benar metode pencatatan ini menjadi salah satu faktor utama kolapsnya SVB?

 

Metode Available-for-Sale (AFS)

Available-for-sale (AFS) adalah suatu metode pencatatan sekuritas yang dibeli dengan tujuan untuk dijual sebelum mencapai jatuh tempo. Nilai dari sekuritas ini akan dilaporkan sesuai dengan fair value. Keuntungan atau kerugian yang timbul dari perubahan sekuritas AFS tidak akan langsung dimasukkan ke dalam pendapatan bersih, tetapi akan dicatat dalam other comprehensive income (OCI). Oleh karena itu, keuntungan atau kerugian yang belum direalisasikan dari sekuritas AFS tidak akan tercermin dalam laporan laba rugi, tetapi akan terlihat dalam laporan neraca, tepat di bawah laba ditahan dalam bagian ekuitas. 

Sumber: SVB Financial Group’s 2022 10-K

 

Metode Held-to-Maturity (HTM)

Held-to-maturity (HTM) adalah sekuritas yang dibeli dan dimaksudkan untuk dipegang hingga jatuh tempo oleh perusahaan. HTM securities umumnya memiliki risiko yang sangat rendah. Dengan asumsi bahwa penerbit obligasi tidak gagal bayar, maka pengembaliannya akan dijamin secara konsisten. Sekuritas ini tidak rentan terhadap sebuah peristiwa atau tren bisnis karena pengembaliannya sudah ditentukan pada saat pembelian (seperti nilai nominal dan tanggal jatuh tempo). Perbedaan antara HTM securities dan jenis sekuritas lain terletak pada pencatatannya. HTM dicatat dengan purchase cost atau biaya beli aslinya, bukan berdasarkan pada market value-nya. Ini berarti bahwa dari satu periode akuntansi ke periode berikutnya, nilai sekuritas di neraca perusahaan cenderung menunjukkan angka yang konstan. Setiap keuntungan atau kerugian akibat perubahan suku bunga (untuk obligasi dan instrumen utang lainnya) akan dicatat ketika sekuritas mencapai jatuh tempo. Pada laporan neraca bank di atas, terlihat bahwa sekuritas HTM yang dimiliki oleh SVB tercatat pada nilai $91,3 miliar per tanggal 31 Desember 2022, tetapi fair value-nya jauh lebih rendah daripada itu, yakni sebesar $76,2 miliar.

 

Kutukan dalam Akuntansi: Amortized Cost vs Fair Value

Pada akhir 2021, SVB mengklasifikasikan residential mortgage-backed securities (RMBS) yang diakuisisinya sebagai HTM. Posisi total HTM pada akhir periode ini memiliki nilai sebesar $98 miliar berdasarkan biaya amortisasinya dari total aset sebesar $211 miliar, mencapai 46% dari total aset dalam neraca SVB. Secara retrospektif, pengklasifikasian ini—dengan banyak instrumen yang pada saat itu jatuh tempo jauh di atas lima tahun—sebagai HTM terlihat sebagai praktik yang diragukan, mengingat hubungan harmonis antara SVB dengan perusahaan start-up. Namun, praktik ini sebenarnya memberikan satu keuntungan yang penting, bahwa pencatatan tersebut akan dinilai berdasarkan biaya amortisasi, bukan pada fair value. Oleh karena itu, perubahan pada harga pasar tidak langsung memengaruhi profitabilitas. 

Sumber: Hauf dan Posth (2023)

Denise Lugo, jurnalis dari Reuters, menyebut bahwa praktik akuntansi tersebut telah ditemui dalam Topik 320 FASB, mengenai Investments-Debt and Equity Securities, dan telah menjadi objek diskusi yang cukup kontroversial di masa lalu. Melalui aturan-aturan ini, perubahan nilai yang terjadi berdasarkan perubahan suku bunga diabaikan. Posisi SVB memang aman dalam konteks risiko kredit karena hanya transaksi kredit dalam investasi sekuritas HTM yang perlu diakui dan akan mempengaruhi neraca secara langsung. Akan tetapi, kerugian dari market value dapat membawa kesulitan bagi SVB apabila bank harus mengatasi kekurangan likuiditas. Baik menjual maupun meminjamkan sekuritas dari portofolio investasi HTM bukanlah pilihan yang nyata lagi bagi SVB. Grafik di atas menggambarkan perbedaan antara biaya amortisasi dan fair value, menunjukkan kerugian yang belum direalisasikan lebih dari $15 miliar per 31 Desember 2022. 

 

Waktu yang Tidak Tepat

Sebagian besar investasi dari SVB adalah surat utang berkualitas tinggi dari segi kredit. Namun, sama seperti semua sekuritas dengan imbal balik yang tetap, instrumen-instrumen investasi ini akan mengalami penurunan yang tajam akibat kenaikan suku bunga. Sayangnya, hal inilah yang terjadi pada Silicon Valley Bank.

Setelah kuartal pertama pada tahun 2022, bank sentral Amerika Serikat, The Fed, mulai menaikkan suku bunga secara berkala untuk menjaga stabilitas harga dan mengecilkan tingkat inflasi. Suku bunga mulai naik pada Maret 2022 menjadi 0,5% dan secara bertahap meningkat menjadi 4% pada November 2022. Alih-alih mendapatkan pendapatan dari sekuritas HTM yang dipegangnya, kenaikan suku bunga yang diterapkan oleh The Fed mengurangi nilai obligasi dari SVB. Tabel yang dirilis oleh Vo dan Le (2023) menampilkan hasil regresi dari rasio kerugian yang belum direalisasikan terhadap keseluruhan total aset yang dimiliki SVB, menunjukkan adanya korelasi positif yang signifikan antara suku bunga (FEDFUND) dan kerugian yang belum direalisasikan (UNLAT). Dengan kata lain, kenaikan suku bunga akan menyebabkan bank mengalami unrealized losses yang lebih tinggi, bahkan setelah mempertimbangkan variabel makroekonomi lainnya. Hasil ini terbukti karena kepemilikan besar bank atas surat utang yang  menyebabkan kerugian belum terealisasi setidaknya sebesar 14,80% dari nilai surat utang sebesar $125 miliar.

Sumber: Vo dan Le (2023)

Berita mengenai kerugian yang dialami oleh SVB memicu para nasabah untuk mulai menarik dana mereka. Untuk menghadapi penarikan tersebut, SVB harus menjual obligasinya. Akibatnya, obligasi tersebut tidak lagi dapat dianggap sebagai held-to-maturity (HTM) dan harus dikategorikan sebagai available-for-sale (AFS). Sehingga, obligasi tersebut dinilai turun dalam laporan keuangan SVB dan penjualan portofolio sekuritas tersebut menyebabkan unrealized losses menjadi terealisasi. Mengapa demikian?

 

SVB dan Ketidakberpihakkan Waktu

Pada dasarnya, ketika sebuah bank memutuskan untuk mengklasifikasikan sekuritasnya sebagai held-to-maturity (HTM), menunjukkan bahwa bank berniat untuk mempertahankan sekuritas tersebut sampai jatuh tempo, bukan menjualnya di pasar dalam waktu dekat. Dengan mengesampingkan kemungkinan terjadinya gagal bayar, bank dapat mengharapkan pembayaran bunga dan pokok sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Dilihat dari kacamata SVB, kerugian yang tidak terealisasi yang dicatat pada 2022 akan berbalik di masa depan. Dengan kata lain, alasan untuk memperbolehkan pelaporan sekuritas HTM dengan biaya amortisasi adalah bahwa kerugian yang tidak terealisasi tersebut bersifat sementara dan akan berbalik seiring berjalannya waktu. Namun, penting untuk memahami bahwa ini didasarkan pada asumsi bahwa bank adalah sebuah entitas yang going concern—beroperasi secara berkelanjutan, bukan dihadapkan pada keharusan untuk mengembalikan deposito dan melikuidasi asetnya dengan segera. 

Ketika mengalami bank run, nasabah bank menarik semua dana mereka pada rentang waktu bersamaan, bank harus melepas sekuritas yang sebelumnya diklasifikasikan sebagai HTM, hal ini berarti kerugian yang sebelumnya tidak terealisasi harus dicatat pada laporan laba rugi. Selain itu, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang status sisa portofolio HTM tersebut. Sekuritas yang sebelumnya direncanakan untuk dipegang hingga jatuh tempo tiba-tiba harus dianggap sebagai AFS. Dalam situasi semacam ini, nilai sekuritas harus ditetapkan berdasarkan nilai pasar dalam neraca, dan akibatnya, ekuitas pemegang saham bank dapat mengalami penurunan yang signifikan. Bagi SVB, prospek untuk mengembalikkan kerugian yang tidak terealisasi pada portofolio HTM-nya hanyalah sebuah ilusi dan angan-angan. Waktu menunjukkan ketidakberpihakkan pada pihak manajemen. 

Portofolio tersebut menghasilkan sekitar 1,79%, jauh di bawah yield obligasi pemerintah AS dengan jatuh tempo 10 tahun saat itu yang sekitar 3.9%. Akibat penurunan nilai obligasi ini, bank mengalami kerugian sebesar $1.8 miliar. Pada tanggal 8 Maret, SVB merilis pengumuman penting mengenai posisi keuangannya—mereka mengumumkan niatnya untuk menjual saham senilai $2,25 miliar untuk memperkuat neraca mereka (SVB Financial Group, 2023). Namun, waktu perilisan pengumuman ini pun lagi-lagi terbukti merugikan. 

Di era digital ini, media sosial X (yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter) telah menjadi sumber berita yang menjadi rujukan khalayak, dengan banyaknya investor yang mengandalkan platform ini untuk berbagi dan mendapatkan informasi secara cepat. Selain itu, sebagian besar pelanggan SVB memiliki saldo rekening yang melebihi batas maksimum asuransi oleh FDIC sebesar $250.000, membuat mereka sangat rentan terhadap kepanikan dan ketakutan akan informasi yang tersebar di internet. Sebagai hasilnya, pengumuman tentang penjualan pada tanggal 8 Maret memicu gelombang kepanikan, yang mengakibatkan penarikan dana sebesar $42 miliar pada tanggal 9 Maret (Bales & Burghof, 2023). 

Seperti yang diungkapkan oleh Haulf dan Posth (2023), dalam situasi ketika kepercayaan terhadap kemampuan suatu bank untuk menjaga solvabilitas dan likuiditasnya menghilang, setiap bank berada dalam risiko kegagalan yang besar. Ini menyoroti pada pentingnya kepercayaan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Pada tanggal 10 Maret, saham SVB mengalami penurunan yang signifikan sebesar 61,2%, mencerminkan ketidakpastian dan kekhawatiran pasar terhadap masa depan bank tersebut. Dampak penurunan nilai saham ini mengarah pada keputusan tegas dari FDIC untuk menutup bank tersebut, yang menegaskan seriusnya situasi keuangan yang dihadapi oleh SVB. Ini adalah contoh nyata dari bagaimana hilangnya kepercayaan dapat berakibat fatal bagi keberlangsungan operasi sebuah lembaga keuangan.

 

Setelah 1 Tahun, Apa yang Bisa Dipelajari?

  • Assets-Liabilities Mismatch. Ketidaksesuaian aset dan liabilitas merupakan situasi ketika bank menghadapi risiko karena perbedaan antara sumber dana yang tersedia dengan penggunaan dana yang dilakukan. Deposito adalah sumber utama dana bagi bank, tetapi sebagian besar dapat ditarik kapan saja tanpa pemberitahuan sebelumnya. Di sisi lain, bank menggunakan sebagian besar dana tersebut untuk memberikan pinjaman, yang biasanya memiliki jangka waktu lebih lama. Hal ini menyebabkan ketidaksesuaian karena bank tidak memiliki uang tunai yang cukup untuk membayar semua nasabahnya jika mereka menarik dana secara bersamaan. Selain itu, aset utama bank tidak dapat dengan cepat dijual untuk mendapatkan uang tunai, terutama jika bank menginginkan harga yang sesuai dengan par value. Meskipun manajemen bank perlu memperhatikan risiko dari aset yang mereka akuisisi untuk mempertahankan solvabilitasnya, tidak ada bank yang bisa memiliki likuiditas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jika semua nasabahnya menarik dana secara bersamaan karena bank memiliki fungsi utama untuk meminjam dana dalam jangka pendek dan memberikan pinjaman dalam jangka panjang. Ketidaksesuaian ini diperparah oleh yield curve, ketika suku bunga cenderung naik seiring dengan jangka waktu pinjaman yang lebih lama. Ini mendorong bank untuk meminjam dalam jangka pendek dan memberikan pinjaman dalam jangka panjang, yang dapat menyebabkan ketidaksesuaian seperti yang dialami oleh SVB.
  • Kepercayaan merupakan hal penting karena nasabah menempatkan uang mereka di bank dengan harapan untuk keamanan dan likuiditas. Jika kepercayaan ini tidak dapat dijaga dengan baik, nasabah akan cenderung menarik dana mereka, yang dapat menyebabkan bank mengalami kesulitan likuiditas dan bahkan kebangkrutan. Oleh karena itu, menjaga kepercayaan nasabah adalah hal yang sangat penting bagi bank.

 

Suatu Pembelajaran Berharga

Kegagalan SVB menjadi pengingat akan kerentanan dan keterhubungan dalam sektor perbankan, terutama saat menghadapi tantangan baru dan kejadian tak terduga. SVB tumbuh dengan cepat berkat industri teknologi yang berkembang pesat di Silicon Valley, menghasilkan kesuksesan yang cukup mengejutkan banyak ahli industri. Namun, sedikit yang memperhatikan kelemahan dalam model bisnis yang sangat terpusat pada satu sektor seperti yang dilakukan oleh bank ini. Kegagalan bank dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk dampak media sosial yang memicu kepanikan, kegagalan dalam praktik manajemen risiko yang kurang efektif, serta eksposur signifikan terhadap suku bunga. 

SVB tidak melakukan aksi fraud atau manipulasi laporan keuangan apapun. Kebijakan akuntansi AFS dan HTM adalah suatu bentuk penyajian relevan dan merepresentasikan keadaan ekonomi suatu perusahaan dengan baik. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas informasi keuangan guna membantu para pengguna laporan keuangan tersebut dalam menentukan kualitas dan nilai perusahaan.  

Kejatuhan SVB justru dapat lebih diatribusikan kepada kebijakan manajemen perusahaan dalam hal alokasi dana nasabah. Strategi alokasi SVB yang terkonsentrasi pada surat hutang obligasi maupun hipotek memang terlihat berhasil pada era Zero Interest Rate Policy (ZIRP). Sayangnya, manajemen tidak mampu beradaptasi ketika terdapat perubahan signifikan pada kondisi makroekonomi yang telah berubah 180 derajat, tentunya disebabkan oleh peningkatan tingkat suku bunga oleh The Fed. Bisnis bank tidak dapat dipisahkan dari manajemen risiko, bank haruslah konservatif dan dapat mendiversifikasi asetnya dengan baik, hal ini menjadi suatu pembelajaran berharga yang harus dibayar mahal oleh para nasabah SVB. 

Setelah kejatuhan bank, intervensi pemerintah menunjukkan komitmen untuk mengendalikan kerusakan dan mencegah krisis perbankan yang lebih luas. Namun, ada banyak kritik terhadap cara pemerintah menangani situasi tersebut yang menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan penggunaan dana publik. Untuk mencegah insiden serupa di masa depan, bank-bank harus meningkatkan praktik manajemen risiko, mendiversifikasi deposito, dan mempertahankan modal ekuitas yang cukup untuk menghadapi penurunan pasar. Regulator dan pembuat kebijakan harus terus menyempurnakan dan menyesuaikan regulasi untuk mengatasi risiko-risiko baru dan ancaman-ancaman potensial terhadap stabilitas keuangan. Regulator dan pembuat kebijakan harus senantiasa menyesuaikan regulasi untuk mengatasi risiko-risiko baru dan ancaman-ancaman terhadap stabilitas keuangan. Namun, seringkali reaksi regulator terlambat, mereka lebih fokus pada menangani penyebab krisis masa lalu daripada mencegah masalah baru yang mungkin saja muncul.

Meskipun sistem keuangan AS telah berangsur stabil sejak kebangkrutan SVB, mengingat dan belajar dari krisis ini adalah suatu bentuk keniscayaan. Insiden tersebut memang memicu gelombang refleksi pada awal kejadiannya, tetapi lebih dari setahun berlalu, belum terjadi perubahan struktural yang signifikan dari para regulator. 

Hal ini menyisakan satu pertanyaan, 

Setelah 12 purnama, apakah krisis SVB pada akhirnya hanya sebuah “insiden” semata atau memang hasil dari sebuah sistem keuangan yang telah terdegradasi?

 

Referensi

Bales, S., & Burghof, H.-P. (2023). Public attention, sentiment and the default of Silicon Valley Bank. SSRN Electronic Journal. DOI: https://doi.org/10.2139/ssrn.4398782 

Gobler, E. (2024, February 27). What happened to Silicon Valley Bank?. Investopedia. Diperoleh dari https://www.investopedia.com/what-happened-to-silicon-valley-bank-7368676 

Hauf, P., & Posth, J.-A. (2023). Silicon Valley Bank – (why) did regulation and risk management fail to uncover substantial risks? SSRN Electronic Journal, 8–13. DOI: https://doi.org/10.2139/ssrn.4411102 

Hetler, A. (2024, March 13). Silicon Valley Bank collapse explained: What you need to know. WhatIs. Diperoleh dari https://www.techtarget.com/whatis/feature/Silicon-Valley-Bank-collapse-explained-What-you-need-to-know 

Huynh, M. (2024, February 19). The failure of Silicon Valley Bank. Seven Pillars Institute. Diperoleh dari  https://7pillarsinstitute.org/the-failure-of-silicon-valley-bank/#:~:text=To%20meet%20the%20sudden%20withdrawals,statements%2C%20intensifying%20depositors’%20worries  

Lugo, D. (2023, March 15). Silicon Valley Bank’s failure sparks speculation that FASB Accounting Rules for held-to-maturity debt securities should be revised. Thomson Reuters Tax & Accounting News. Diperoleh dari https://tax.thomsonreuters.com/news/silicon-valley-banks-failure-sparks-speculation-that-fasb-accounting-rules-for-held-to-maturity-debt-securities-should-be-revised/ 

Marks, H. (2023, April 17). Lessons from Silicon Valley Bank. Oaktree Capital. Diperoleh dari https://www.oaktreecapital.com/insights/memo/lessons-from-silicon-valley-bank  

Murphy, C. B. (2020, November 28). Held-to-maturity (HTM) securities: How they work and examples. Investopedia. Diperoleh dari https://www.investopedia.com/terms/h/held-to-maturity-security.asp  

The Rational Walk. (2023, March 11). The fall of silicon valley bank. The Fall of Silicon Valley Bank. Diperoleh dari https://newsletter.rationalwalk.com/p/the-fall-of-silicon-valley-bank.   

Vipond, T. (2023, December 4). Available for sale securities. Corporate Finance Institute. Diperoleh dari  https://corporatefinanceinstitute.com/resources/accounting/available-for-sale-securities/ 

Vo, L. V., & Le, H. T. (2023). From hero to zero – the case of silicon valley bank. SSRN Electronic Journal, 2–7. DOI: https://doi.org/10.2139/ssrn.4394553 

Pengembalian £15 Juta ke Santander, Apa Kesalahan EY?

IDE Times (Accounting Article) Monday, 30 October 2023

Author : Azzura Adnan Krisnamurti, Devita Ananda Pohan, Keyra Audrey Annabelle Christian, Vina Ashima Fibranawa
Siapa yang tidak mengenal EY? Salah satu Kantor Akuntan Publik (KAP) berskala internasional itu dikenal memiliki komitmen yang sangat kuat terhadap inovasi. Melalui inisiatif seperti
EY wavespace™ dan program The EY Innovation Realized, EY memanfaatkan teknologi dan menumbuhkan budaya inovasi untuk melayani klien dengan lebih baik. Namun, mengapa EY harus mengembalikan uang sebesar £15 juta kepada klien dengan tuntutan pelayanan yang buruk? Apa yang menjadi penyebabnya?

Dilansir dari Financial Times, EY dilaporkan telah mengembalikan uang Santander, sebuah perusahaan perbankan dan jasa keuangan multinasional yang berbasis di Spanyol, sebesar £15 juta setelah bank tersebut tidak puas dengan upaya EY untuk memperbaiki masalah financial crime yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Pendapatan EY pun mengalami pukulan serius akibat masalah tersebut. 

Pada Desember 2022, Financial Conduct Authority (FCA) mendenda Santander sebesar £108 juta karena kegagalan Anti-Money Laundering (AML) yang berulang setelah bertahun-tahun melakukan pemantauan yang tidak akurat dan di bawah standar terhadap akun berisiko tinggi. Denda tersebut adalah salah satu penalti dengan jumlah terbesar yang pernah diberikan. Regulator memperkirakan bahwa bank tersebut telah mencuci hampir £300 juta dana kriminal antara tahun 2012 dan 2017. Kemudian, perusahaan diperintahkan untuk merombak sistem dan kontrolnya setelah dijatuhkan salah satu hukuman terbesar hingga saat ini.

Sejak tahun 2012, departemen audit internal Santander UK telah memberi tahu manajemen senior bahwa tata kelola dan kerangka kerja AML mereka buruk sehingga memerlukan perbaikan besar-besaran. Menurut laporan FCA, bank tersebut terus merekrut bantuan eksternal hingga tahun 2017. Bank Santander mengaku telah menginvestasikan £700 juta selama kurang lebih 5 tahun untuk memperbaiki sistem kejahatan keuangannya, meskipun belum terkonfirmasi apakah proyek ini merupakan proyek pengerjaan EY atau bukan.

Dalam rentang waktu 2014–2016, terdapat satu kasus menarik mengenai Santander. Berdasarkan laporan FCA, seorang pelanggan baru telah membuka rekening sebagai bisnis kecil dengan perkiraan setoran bulanan sebesar £5.000. Dalam waktu enam bulan, mereka menerima simpanan jutaan dolar, dan dengan cepat mentransfer uang tersebut ke rekening terpisah. Meskipun rekening tersebut direkomendasikan untuk ditutup oleh tim AML bank tersebut pada bulan Maret 2014, proses dan struktur yang buruk menyebabkan hal ini tidak dilakukan hingga bulan September 2015. Akibatnya, nasabah terus menerima dan mentransfer jutaan pound melalui rekening tersebut. Santander menyetujui permintaan penegak hukum untuk tetap membuka akun pada bulan September 2015, tetapi mereka gagal memenuhi permintaan ini dan akun tetap terbuka hingga FCA menulis surat kepada Santander pada bulan Desember 2016.

Akibat permasalahan EY dengan Santander ini, EY diperkirakan mengumumkan PHK dalam beberapa bulan mendatang, setelah mengisyaratkan akan mengurangi 150 orang dari tim financial crime sebagai bagian dari pengurangan jumlah konsultan yang lebih luas. Kegagalan proyek Santander kemungkinan besar akan mengakibatkan pengurangan jumlah karyawan lebih lanjut.

Sejak terjadinya kasus Proyek Morgan, EY melakukan beberapa strategi untuk memperbaiki kesalahan dan mengembangkan perusahaannya. Pada awal September 2023, EY mengumumkan kemitraannya dengan Microsoft, yang bertujuan untuk menghadirkan assurance technology platform terbarunya. Kolaborasi dan peluncuran produk ini merupakan bagian dari program investasi sebesar USD 1 miliar. Kesepakatan strategis ini merupakan kelanjutan dari penyelesaian investasi 12 bulan pertama EY sebesar USD 1 miliar untuk platform assurance. Pendanaan tersebut diberikan berdasarkan rencana jangka waktu empat tahun dan merupakan bagian dari fokus keberlanjutan perusahaan dalam mempertahankan kualitas audit yang optimal. Selain itu, perusahaan juga memprioritaskan peningkatan efisiensi dalam bisnis dan pasar modal, serta menyediakan audit terukur yang selaras dengan agenda pengembangan perusahaan.

Saat ini, EY berfokus untuk mendorong transformasi dan pengembangan melalui penggunaan layanan akses data dan analitik yang dioptimalkan serta Artificial Intelligence (AI). Sebelumnya, pada bulan Agustus 2023, EY US berkolaborasi dengan perusahaan AI, SaaS SymphonyAI untuk meningkatkan perkembangan organisasi dengan menggunakan platform layanan ritel dan keuangan. Kemitraan ini menawarkan penerapan artificial intelligence software kepada perusahaan dalam skala besar untuk mengoptimalkan efisiensi dan kinerja bisnis secara keseluruhan.

Perusahaan-perusahaan tersebut berfokus pada pencegahan kejahatan keuangan dan kepatuhan terhadap peraturan. Tindakan EY ini menunjukkan peningkatan kekhawatiran dan perhatian bagi klien keuangan besar. Ketika perusahaan lainnya menjadi lebih canggih dalam melakukan transaksi penipuan, penghindaran sanksi, dan pencucian uang, EY berfokus pada pencegahan tindakan-tindakan tersebut dengan menawarkan layanan keamanan dan privasi yang lebih baik kepada klien.

Daftar Pustaka

Consultancy.uk. (2023, October 3). Santander Ditches EY as Financial Crime Consultant. Diakses pada 8 Oktober 2023, dari

https://www.consultancy.uk/news/35512/santander-ditches-ey-as-financial-crime-consultant

Taylor, M. (2023, September 27). EY Refunds Santander £15m for Poor Service. AccountingWEB. Diakses pada 8 Oktober 2023, dari

https://www.accountingweb.co.uk/business/finance-strategy/ey-refunds-santander-ps15m-for-poor-service

The Paypers. (2023, September 28). EY Refunds GBP 15 million to Santander Over Alleged Failings. Diakses pada 21 Oktober 2023, dari

https://thepaypers.com/online-mobile-banking/ey-refunds-gbp-15-million-to-santander-over-alleged-failings–1264665#

Goingconcern. (2023, September 28). EY’s Work on This One Bank Project Was So Bad They Had to Refund the Client. Diakses pada 21 Oktober 2023, dari 

https://www.goingconcern.com/ey-santander-anti-money-laundering-contract/ 

 

Sempat Viral Karena Dianggap Sebagai Dalang Bangkrutnya Garuda Indonesia, Apa isi PSAK 73?

IDE TimesIDE Times (Accounting Article) Monday, 18 September 2023

Author: Aurel Diyah, Aurora Btari, dan Della Nurhaliza

Utang Garuda Indonesia meningkat sebesar 229% tahun 2020 dibandingkan dengan 2019 akibat penerapan PSAK 73. Perusahaan mencatat peningkatan yang signifikan dalam beban depresiasi dan beban keuangan, yaitu sebesar 738% dan 296. Informasi ini telah diungkapkan oleh perusahaan dalam catatan yang terdapat pada laporan keuangan konsolidasian perusahaan per tanggal 31 Desember 2020. Selain itu, total liabilitas perusahaan juga mengalami peningkatan drastis, mencapai US$12,73 miliar, naik sebesar 228,75% dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang sebesar US$3,87 miliar.

 

Mulanya, lonjakan utang ini disebabkan oleh meningkatnya permintaan jasa yang memaksa Garuda untuk terus menambah kemampuan kapasitas industri. Namun, jika kita tinjau dari status quo, ternyata Garuda lebih memilih untuk menyewa aset tetap melalui leasing daripada membelinya. Leasing merupakan pilihan yang dapat mengurangi resiko keuangan perusahaan untuk alasan pertumbuhan dan perluasan operasi usaha. Secara khusus, pemilihan opsi sewa dapat lebih efisien karena metode ini dapat membantu menekan modal investasi.

 

Peningkatan utang yang mencolok ini berdampak pada total aset perusahaan, yang mencatat kenaikan sebesar 142%, mencapai US$10,78 miliar dari posisi sebelumnya sebesar US$4,45 miliar pada tahun 2019. Peningkatan ini terutama terjadi pada aset tidak lancar, yang meningkat menjadi US$10,25 miliar dari sebelumnya US$3,32 miliar, dengan peningkatan yang signifikan pada aset tetap. 

 

Pada bulan September 2021, laporan keuangan Garuda Indonesia mencatat posisi defisit sebesar USD 2,8 miliar. Keadaan ini merupakan salah satu faktor teknis yang menyebabkan Garuda menghadapi masalah keuangan yang serius. Salah satu penyebab penurunan signifikan dalam neraca keuangan Garuda Indonesia adalah penerapan PSAK 73 oleh perusahaan selama tahun 2020-2021. Hal ini berkontribusi pada penurunan ekuitas yang semakin dalam, terutama karena pengakuan utang yang harus dibayar kepada lessor di masa depan.

 

Berdasarkan PSAK 73, transaksi sewa dikenakan prinsip pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan yang bertujuan untuk memastikan bahwa penyewa dan pesewa menyediakan informasi yang relevan dan akurat mengenai transaksi sewa. Informasi ini menjadi dasar bagi para pemakai laporan keuangan untuk menilai dampak transaksi sewa terhadap posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas perusahaan. PSAK 73, yang diterbitkan oleh IAI, menggantikan beberapa PSAK dan ISAK yang sebelumnya ada, seperti PSAK 30 tentang Sewa, ISAK 8 yang membahas penentuan apakah suatu perjanjian termasuk sewa, ISAK 23 yang mengatur sewa operasi insentif, ISAK 24 yang mengevaluasi substansi transaksi yang melibatkan bentuk hukum sewa, dan juga ISAK 23 yang berfokus pada Hak atas Tanah. PSAK 73 memperkenalkan model akuntansi tunggal untuk transaksi sewa, yang mana salah satu poin pentingnya adalah kewajiban penyewa untuk mengungkapkan aset hak guna dan liabilitas sewa pembiayaan dalam laporan keuangan mereka. Selain itu, pengklasifikasian antara sewa pembiayaan dan sewa operasi harus diakui secara berbeda oleh pesewa.

 

Sejak 1 Januari 2020, PSAK 73 mulai berlaku efektif dan beberapa entitas publik yang mengikuti IFRS. Penerapan ini pastinya akan berdampak pada cara laporan keuangan disajikan, terutama dalam hal pengakuan aset hak guna dan liabilitas sewa. Model akuntansi sewa tunggal yang diperkenalkan oleh PSAK 73 juga mempengaruhi cara pencatatan dan pengakuan beban serta liabilitas sewa. Perubahan dalam standar akuntansi ini memiliki dampak yang cukup signifikan, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara yang mengadopsi IFRS. Sebuah studi yang dilakukan oleh PwC pada tahun 2016 mengenai dampak kapitalisasi sewa terkait penerapan IFRS 16 menunjukkan bahwa rata-rata utang dari 3.199 entitas di seluruh dunia mengalami peningkatan sebesar 22%.

 

PSAK 73 membawa perubahan signifikan dalam pengakuan transaksi sewa, khususnya dalam hal sewa pembiayaan. Standar ini mengenalkan kriteria yang lebih luas untuk mengklasifikasikan transaksi sewa sebagai sewa pembiayaan. Dalam peraturan sebelumnya, terdapat sejumlah kriteria yang harus dipenuhi agar suatu transaksi dianggap sewa pembiayaan. Namun, PSAK 73 memfokuskan pada dua kriteria utama: jangka waktu sewa yang pendek (kurang dari 12 bulan) dan nilai sewa yang rendah. Ini berarti bahwa transaksi sewa yang sebelumnya mungkin dianggap sebagai sewa operasi sekarang harus diakui sebagai sewa pembiayaan. Perubahan ini bertujuan untuk mendorong perusahaan agar lebih transparan dalam mencerminkan komitmen keuangan mereka terkait dengan transaksi sewa.

 

Dalam melaksanakan PSAK 73 Sewa, perusahaan perlu memperhatikan beberapa aspek penting berikut:

1.Identifikasi Apakah Terdapat Kontrak Sewa atau Tidak

Perusahaan yang menyewa harus mampu mengklasifikasikan segala transaksi atau aktivitas sewa yang terjadi, termasuk sewa guna usaha dan sewa operasi sejak awal kontrak sewa terbentuk. Namun, dalam beberapa situasi tertentu, seperti sewa berjangka pendek (kurang dari 12 bulan), sewa aset bernilai rendah (seperti komputer atau laptop), atau jika perjanjian sewa tidak memiliki dampak material, perusahaan dapat memutuskan untuk tidak menganggapnya sebagai kontrak sewa.

2. Biaya yang Terkait dengan Kontrak Sewa

PSAK 73 juga mengatur mengenai biaya yang melekat pada kontrak sewa. Ini mencakup biaya-biaya seperti perawatan, renovasi, restorasi, dan biaya lain yang tercantum dalam kontrak sewa. Semua biaya ini harus diperhatikan dengan seksama dalam proses pengakuan dan pengukuran sewa.

3. Pengakuan Aset Hak Guna dan Liabilitas

PSAK 73 memperkenalkan aturan tentang pengakuan aset hak guna dan liabilitas yang berkaitan. Pengakuan aset hak guna harus dilakukan sebagaimana pengakuan aset lainnya, dan liabilitas hak guna harus diukur sesuai dengan prinsip pengukuran liabilitas keuangan lainnya. Aset hak guna merupakan aset yang diperoleh melalui kontrak sewa, dan perusahaan harus mengakui aset ini pada saat kontrak disahkan. Di samping itu, perusahaan juga harus mengidentifikasi liabilitas yang terkait dengan kontrak sewa dan mencatatnya sebagai liabilitas pada saat kontrak disahkan.

 

Penerapan PSAK 73 juga memerlukan penyesuaian retrospektif terhadap kontrak sewa yang sudah ada pada awal periode penerapannya. Banyak perusahaan harus mengubah saldo neracanya karena sejumlah besar transaksi sewa yang sebelumnya diabaikan harus sekarang diakui sebagai liabilitas sewa pembiayaan. Meskipun penyesuaian ini bisa menjadi tantangan, hal ini memastikan bahwa laporan keuangan mencerminkan dengan akurat posisi keuangan perusahaan.

 

Industri penerbangan adalah salah satu contoh yang menggambarkan dampak perubahan ini. Sebelum PSAK 73 diberlakukan, maskapai penerbangan sering tidak mencatat pesawat dalam laporan keuangan mereka, yang membuat rasio utang mereka terlihat rendah. Namun, sebenarnya mereka memiliki kewajiban pembayaran sewa jangka panjang yang signifikan. Dengan penerapan PSAK 73, transparansi meningkat dan perusahaan harus mencatat sewa pesawat sebagai liabilitas sewa pembiayaan, mencerminkan kewajiban yang sebenarnya. Ini membantu pengguna laporan keuangan untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang kondisi keuangan perusahaan tersebut.

 

Pergantian dalam perlakuan akuntansi yang diperkenalkan oleh PSAK 73 telah mengubah cara perusahaan mengelola transaksi sewa dalam laporan keuangan mereka. Klasifikasi transaksi sewa sebagai sewa pembiayaan atau sewa operasi sekarang tergantung pada kriteria tertentu, seperti durasi sewa dan nilai aset yang disewa. Perusahaan harus mengakui aset sewa hak guna yang sebelumnya tidak diakui sebagai aset dan mengklasifikasikannya sebagai aset tidak lancar. Selain itu, mereka juga harus mengakui liabilitas sewa yang sesuai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran, yang dapat menjadi liabilitas jangka pendek atau jangka panjang. Hal ini merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa laporan keuangan mencerminkan dengan akurat dampak transaksi sewa terhadap posisi keuangan perusahaan.

Daftar Pustaka

Bayuaji, K. (2023). Analisis Kilas Balik Utang Garuda Indonesia (GIAA) Melonjak 229% Akibat Penerapan PSak 73. Medium. Diakses dari https://medium.com/@k.bayuaji/analisis-kilas-balik-utang-garuda-indonesia-giaa-melonjak-229-akibat-penerapan-psak-73-namun-ff0e4ba67d28

Bisnis.com. (2021). Utang Garuda (GIAA) Melonjak 229 Persen Akibat Penerapan PSak 73. Diakses dari https://market.bisnis.com/read/20210808/192/1427324/utang-garuda-giaa-melonjak-229-persen-akibat-penerapan-psak-73

Deloitte. (2016). Leases : a guide to IFRS 16.

IAI Global. (2023). Pernyataan SAK 84 (PSAK 73): Sewa. Diakses dari http://iaiglobal.or.id/v03/standar-akuntansi-keuangan/pernyataan-sak-84–psak-73-sewa

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). (2018). Draft Eksposur (DE) PSAK 73 atas Sewa

PwC. (2016). A study on the impact of lease capitalisation IFRS 16: The new leases standard. PwC network.

Tirani, U. G. (2018). Analisis dampak implementasi PSAK 73 terhadap laporan posisi  keuangan dan rasio keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

123…11

Recent Posts

  • Creative Accounting: Kecerdikan ataukah Fraud?
  • [Kolaborasi IDE Times X ESC] THR dan Ekonomi Lebaran: Antara Euforia Konsumsi dan Inflasi Musiman
  • Perang Dagang dan Pelaporan Keuangan: Implikasi Tarif terhadap Persediaan, Aset, dan Laba
  • IFRS vs GAAP, Serupa Tapi Tak Sama
  • Get to Know IFRS 18: Better Information for Better Analysis
Universitas Gadjah Mada

Faculty of Economics & Business
Universitas Gadjah Mada
Student Club Lounge, 1st Floor, North Wing
Sosio Humaniora Street, Number 1
Bulaksumur, Yogyakarta, 55281
Indonesia

Email : imagama.feb@ugm.ac.id

   

Your Lifetime Partner,
IMAGAMA

© IMAGAMA FEB UGM 2024

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY