Author: Adrianus Marselinus Senayuda Dhityra, Gheriya Zahra Aryahiyyah, Muhammad Fadhlan Hakim, Pijar Sahistya Mahiswara; Editor: Farabiana Indira Pamungkas, Mirza Rashid
Setiap menjelang Hari Raya Idul Fitri, satu topik yang hampir selalu menjadi perhatian publik adalah Tunjangan Hari Raya (THR). Baik di meja makan keluarga, grup WhatsApp kantor, hingga lini masa media sosial, THR menjadi topik hangat bukan sekadar soal “dapat atau tidak”, tetapi juga bagaimana uang tersebut akan digunakan. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ribuan perusahaan telah menyalurkan THR kepada para pekerja. Beberapa bahkan melengkapinya dengan bingkisan Lebaran sebagai bentuk apresiasi. Misalnya di Semarang, seorang pekerja produksi di PT AST Indonesia mengaku menerima THR sebesar Rp3,4 juta yang langsung masuk ke rekeningnya sebelum pertengahan Ramadhan. Sementara itu, di Bogor, pekerja PT Coats Rejo bersuka cita karena tak hanya menerima THR, tetapi juga paket Lebaran dari perusahaan. Fenomena ini menunjukkan bagaimana THR menjadi aliran dana besar yang tidak hanya menyentuh dompet para pekerja, tetapi juga menggerakkan perekonomian secara lebih luas.
Namun, di balik euforia tahunan ini, THR sesungguhnya memiliki peran ekonomi yang jauh lebih besar daripada sekadar tambahan pendapatan pribadi. Ia berfungsi layaknya stimulus musiman yang memicu konsumsi, menghidupkan sektor-sektor tertentu, dan mendorong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB). Dalam perspektif ekonomi makro, THR dapat dilihat sebagai penggerak money supply, pemicu inflasi musiman, dan saluran desentralisasi pendapatan dari pusat-pusat likuiditas ke sektor konsumsi rakyat. Dengan mengacu pada teori-teori klasik seperti teori kuantitas uang oleh Irving Fisher dan teori fungsi konsumsi oleh Keynes, kita dapat menelusuri bagaimana THR membentuk pola ekonomi tahunan yang sangat khas di Indonesia.
Pembahasan berikut ini akan menguraikan lebih dalam tentang peran strategis THR dalam siklus ekonomi Indonesia, mulai dari sisi permintaan, produksi, distribusi pendapatan, hingga efek penggandanya terhadap PDB. Tidak hanya berdasarkan teori, tetapi juga dikuatkan oleh data dan fenomena empiris yang terjadi di lapangan.
THR dan Dampaknya terhadap Money Supply
Setiap tahun menjelang Hari Raya Idul Fitri, pemerintah dan pelaku usaha swasta memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada para pekerja. Dalam konteks ekonomi makro, THR dapat diibaratkan sebagai tombol stimulus ekonomi yang ditekan oleh pemerintah dan pelaku ekonomi lainnya. Sekali tekan, uang dalam jumlah besar bahkan mencapai miliaran hingga triliunan rupiah langsung mengalir deras ke tangan masyarakat.
Dalam istilah ekonomi, fenomena ini dikenal sebagai penambahan money supply yang beredar di masyarakat. Namun penting untuk dicatat bahwa, THR tidak menciptakan uang baru, melainkan mengedarkan uang yang sebelumnya tidak aktif atau tidak beredar secara luas. Hal ini mirip dengan kebijakan ekspansi moneter, di mana uang yang sebelumnya mengendap kini beredar kembali melalui konsumsi masyarakat.
Mengacu pada prinsip-prinsip makroekonomi yang dijelaskan oleh N. Gregory Mankiw, peningkatan jumlah uang beredar di masyarakat akan menyebabkan pergeseran dari money supply awal ke money supply yang lebih besar. Uang yang lebih banyak di tangan masyarakat akan mendorong konsumsi, meningkatkan permintaan agregat, dan akhirnya menaikkan tingkat harga. Fenomena ini lazim disebut sebagai inflasi musiman, di mana harga-harga barang dan jasa meningkat karena konsumsi masyarakat melonjak dalam waktu singkat, terutama menjelang dan saat Lebaran. Peningkatan konsumsi tersebut juga mendorong pergeseran kurva aggregate demand short run, menandai fase booming ekonomi jangka pendek. Pada titik ini, sektor ritel hidup kembali, pusat perbelanjaan penuh sesak, dan transaksi meningkat pesat. Namun, fase ini bersifat sementara. Ketika euforia Lebaran mulai surut dan dana THR habis terpakai, masyarakat dihadapkan pada kenyataan bahwa pendapatan kembali normal sementara harga-harga masih tinggi. Konsumsi pun menurun, menyebabkan permintaan agregat bergeser kembali posisi semula.
Secara teori, penurunan konsumsi dapat mendorong produsen untuk menyesuaikan output yang tercermin dalam pergeseran kurva aggregate supply ke kiri. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti kontrak upah, ekspektasi inflasi, hingga rigiditas struktural di pasar tenaga kerja. Namun, dalam konteks Indonesia, koreksi justru lebih sering terjadi di sisi permintaan. Setelah Lebaran, daya beli masyarakat menurun drastis, khususnya di kalangan pekerja informal dan ritel kecil. Karena sektor ini sangat responsif terhadap perubahan konsumsi, maka tekanan terhadap harga pun mereda. Akibatnya, harga-harga yang sempat melonjak, sering kali kembali ke level semula. Ini menandakan bahwa inflasi musiman akibat THR tidak bersifat permanen, selama tidak disertai dengan ekspektasi harga tinggi yang terus-menerus.
Fenomena peredaran uang yang cepat akibat pemberian THR ini dapat dijelaskan melalui konsep kecepatan peredaran uang atau velocity of money. Dalam ekonomi makro, kecepatan uang dihitung dengan rumus: V = (P × Y) / M, dengan V adalah velocity of money, P adalah tingkat harga, Y adalah output riil (seperti PDB riil), dan M adalah jumlah uang beredar. Rumus ini berasal dari persamaan kuantitas uang, yaitu: M × V = P × Y, yang diperkenalkan oleh ekonom klasik, Irving Fisher. Persamaan ini menunjukkan bahwa total pengeluaran dalam suatu perekonomian (jumlah uang dikali kecepatan uang beredar) akan selalu sama dengan nilai nominal output (harga dikalikan output riil).
THR tidak menambah jumlah uang secara nominal, tetapi mengaktifkan uang yang sebelumnya mengendap sehingga meningkatkan kecepatan peredaran uang (V) di masyarakat, meskipun hanya sementara. Akibatnya, permintaan terhadap barang dan jasa meningkat, mendorong naiknya P × Y baik dalam bentuk kenaikan harga barang (inflasi), peningkatan transaksi, atau keduanya.
Setelah masa THR berakhir dan konsumsi kembali normal, velocity juga ikut melambat. Artinya, aktivitas ekonomi yang sempat menguat akan mengalami penyesuaian kembali, mengikuti pola musiman yang berulang setiap tahunnya.
Dampak THR dalam Perspektif Teori Konsumsi Keynes
Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan merupakan insentif tambahan yang dibayarkan pada hari besar keagamaan di Indonesia seperti hari Lebaran. THR diberikan kepada pegawai sebelum masa Lebaran yaitu saat bulan Ramadan sesuai peraturan pemerintah yang berlaku. THR bukan hanya sekedar tambahan pendapatan bagi para pekerja, tetapi juga berperan sebagai stimulus ekonomi musiman. Sebagai tambahan pendapatan di luar gaji rutin, THR meningkatkan daya beli masyarakat secara mendadak (Purwanto, 2024). Prinsip “people respond to incentives” menjelaskan bahwa insentif finansial mendorong perubahan perilaku konsumen berupa peningkatan konsumsi.
John M. Keynes merumuskan fungsi konsumsi C = a + bYd, dengan a merupakan konsumsi otonom, b adalah Marginal Propensity to Consume (MPC), dan Yd adalah pendapatan disposabel. Ketika masyarakat menerima THR, Yd meningkat secara tiba-tiba sehingga mendorong kenaikan konsumsi (C) secara proporsional terhadap nilai b (Huzaemah, 2015). Dengan rumus MPC = ΔC / ΔY artinya MPC mengukur seberapa besar tambahan konsumsi yang akan dilakukan seseorang ketika pendapatan mereka meningkat. Dengan demikian, tambahan pendapatan dari THR menjadi pemicu utama peningkatan konsumsi selama periode menjelang lebaran.
Konsumsi tersebut umumnya tertuju pada sektor-sektor, seperti ritel, pangan, transportasi, dan pariwisata. Peningkatan konsumsi ini membuat uang lebih cepat berpindah tangan dalam kegiatan jual beli sehingga perputaran uang di pasar meningkat. Lonjakan permintaan dari sisi konsumen terjadi secara simultan dan dalam waktu yang singkat dapat menciptakan tekanan pada sisi penawaran. Jika produsen tidak mampu merespons kenaikan permintaan secara cepat, ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran akan menyebabkan kenaikan harga. Peristiwa ini dikenal sebagai inflasi yang didorong oleh permintaan (demand-pull inflation), yaitu suatu konsep yang dijelaskan dalam teori Keynesian ketika permintaan agregat melampaui kapasitas produksi jangka pendek (Habibi, 2020). Dalam kasus Indonesia, hal ini terjadi secara musiman dan berulang setiap tahun saat Lebaran. Nugroho, Irfani, dan Aliyani (2023) menegaskan bahwa peningkatan konsumsi masyarakat selama Ramadan dan Lebaran menimbulkan kelebihan permintaan yang tidak diimbangi oleh jumlah pasokan yang cukup sehingga memicu inflasi musiman.
Dari sisi empiris, data Badan Pusat Statistik (BPS, 2024) menunjukkan bahwa kelompok bahan makanan mengalami inflasi bulanan lebih dari 0,5% pada bulan Ramadan, sementara bulan berikutnya mengalami deflasi moderat. Hal ini menandakan bahwa telah terjadi fluktuasi musiman yang kuat. Purwanto (2024) mencatat bahwa THR juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi jangka pendek dengan tambahan Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 0,2–0,3 % pada kuartal kedua tahun 2023. Belanja masyarakat selama periode mudik, yang melibatkan sekitar 193 juta perjalanan, juga meningkatkan aktivitas ekonomi di daerah tujuan mudik, terutama pada sektor konsumsi lokal. Namun, di sisi lain, pekerja sektor informal yang tidak memperoleh THR menghadapi tekanan harga tanpa adanya tambahan pendapatan sehingga memperbesar ketimpangan ekonomi antar kelompok masyarakat (Nugroho et al., 2023).
Dengan demikian, THR berfungsi sebagai stimulus konsumsi musiman yang selaras dengan teori konsumsi Keynes. Tambahan pendapatan disposabel tidak hanya meningkatkan permintaan agregat dan pertumbuhan ekonomi jangka pendek, tetapi juga menimbulkan inflasi musiman serta potensi ketimpangan. Kebijakan penyeimbang yang efektif dibutuhkan agar efek positif THR berlanjut sekaligus meminimalkan risiko makroekonomi yang mungkin muncul.
Reaksi Produsen Terhadap THR
Menjelang lebaran, kebijakan pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) oleh pemerintah menjadi salah satu instrumen yang secara langsung dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan bertambahnya pendapatan rumah tangga, konsumsi masyarakat cenderung meningkat secara signifikan dalam waktu singkat. Akibatnya, tingkat permintaan agregat terhadap barang dan jasa di pasar meningkat.
Kondisi ini menjadi sinyal kuat bagi pelaku usaha, khususnya produsen, bahwa terdapat peluang untuk menjual barang dengan harga yang lebih tinggi. Berdasarkan prinsip dasar ekonomi tentang hubungan antara permintaan dan penawaran, jika permintaan naik sementara kapasitas penawaran tetap atau terbatas dalam jangka pendek, harga pasar cenderung meningkat. Industri melihat situasi ini sebagai momentum yang menguntungkan dan secara strategis bersiap melakukan penyesuaian kapasitas produksi.
Industri-industri yang erat kaitannya dengan pola konsumsi saat lebaran seperti sektor makanan, minuman, tekstil dan, transportasi, hingga layanan keuangan cenderung merespons secara aktif. Mereka meningkatkan output dengan mengoptimalkan faktor produksi variabel, seperti memperpanjang jam kerja, menambah tenaga kerja temporer, hingga meningkatkan pengadaan bahan baku. Selain itu, produsen juga kerap melakukan stockpiling, yaitu menahan stok barang untuk kemudian dijual ke pasar pada saat permintaan mencapai titik puncaknya. Strategi ini dirancang untuk memaksimalkan margin keuntungan saat daya beli konsumen berada dalam fase tertingginya selama periode lebaran.
Selain peningkatan produksi fisik, fenomena THR juga mendorong pelaku usaha untuk merancang proyeksi permintaan jangka pendek berbasis pola musiman. Kebiasaan masyarakat yang rutin meningkatkan konsumsi menjelang hari raya membuat industri mengembangkan strategi antisipatif yang terstruktur. Perusahaan tidak hanya bereaksi terhadap permintaan saat ini, tetapi juga menyiapkan diri berdasarkan tren historis, seperti peningkatan transaksi tahun-tahun sebelumnya. Dengan pendekatan ini, pelaku industri dapat mengatur ritme operasionalnya secara lebih efisien dan tepat sasaran. Persiapan seperti pengadaan bahan baku secara bertahap, penyesuaian distribusi logistik, hingga peluncuran promosi tematik menjadi bagian dari manuver strategis yang terencana untuk menyambut lonjakan konsumsi dalam periode terbatas.
Di sisi lain, dalam teori produksi jangka pendek, perusahaan menghadapi keterbatasan kapasitas karena sebagian besar faktor produksi bersifat tetap. Oleh karena itu, cara yang umum digunakan adalah mengoptimalkan faktor produksi variabel, seperti lembur dan perekrutan tenaga kerja sementara. Strategi ini memungkinkan perusahaan meningkatkan output dalam waktu singkat, namun tetap memiliki batas efisiensi. Ketika permintaan melebihi kapasitas produksi yang optimal, biaya produksi per unit dapat meningkat secara signifikan, dan hal ini berpotensi memicu kenaikan harga dari sisi penawaran. Oleh karena itu, perusahaan perlu menyeimbangkan antara dorongan produksi dan efisiensi operasional agar tidak terjebak dalam risiko biaya tinggi atau kerugian akibat stok berlebih setelah periode puncak konsumsi berlalu.
THR Sebagai Saluran Desentralisasi Pendapatan
THR yang dibayarkan oleh pemerintah dan perusahaan kepada pegawainya menunjukkan pergeseran likuiditas pada peredaran uang. Uang yang semula tersentralisasi, dapat terdistribusi secara merata ke karyawan mereka. Karyawan inilah yang nantinya akan membelanjakan uang mereka pada bisnis skala kecil-menengah. Kondisi tersebut menunjukkan telah terjadinya desentralisasi pendapatan karena pembayaran THR. Namun, apakah ini benar-benar sebuah fakta atau hipotesis semata?
Survei yang dilakukan Bank BTPN menunjukkan bahwa 52% uang yang diterima dari THR digunakan untuk kegiatan konsumsi dan sisanya ditabung. Sumber lain mengatakan bahwa 90% dari THR digunakan untuk melakukan belanja, baik online maupun offline, mengingat pembagian THR berdekatan dengan Hari Raya Lebaran. Kebiasaan konsumsi ini tentu menunjukkan bahwa THR merupakan bentuk desentralisasi pendapatan. Sekali lagi, apakah ini cukup untuk mengatakan bahwa THR merupakan bentuk desentralisasi pendapatan?
Mari cari benang merah lainnya!
Laporan yang diterbitkan Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa terdapat 41% masyarakat Indonesia yang bekerja di sektor formal. Laporan ini juga mengatakan bahwa mereka menghabiskan 70% pendapatannya pada bisnis skala kecil-menengah. Kondisi ini menyebabkan perubahan pola investasi pada bisnis skala kecil-menengah.
Pada saat institusi yang mempekerjakan mereka mengalami penurunan likuiditas karena pembengkakan biaya THR, justru bisnis masyarakat kecil semakin menggeliat. Contohnya, pedagang nasi goreng membeli kompor baru, pedagang kain membeli rak baru, bakso keliling membeli gerobak baru, dan investasi pada aset tetap lainnya oleh bisnis skala kecil-menengah. Hal ini semakin membuktikan bahwa THR merupakan salah satu bentuk saluran distribusi pendapatan di masyarakat.
Melipatgandakan PDB
Konsep desentralisasi pendapatan yang dijelaskan sebelumnya, ternyata memiliki korelasi dengan konsep multiplier effect. Multiplier effect merupakan konsep ekonomi yang menggambarkan tentang bagaimana suntikan dana awal (seperti THR) dapat menghasilkan dampak ekonomi total yang lebih besar daripada jumlah awal yang dikeluarkan.
Berikut ini adalah contoh sederhana dampak suntikan THR terhadap PDB negara. Asumsikan pemerintah dan perusahaan menggelontorkan 1 triliun untuk THR, apabila rantai ekonomi di atas berjalan dengan MPC 0.9, maka:
Perhitungan tersebut membuktikan bahwa 1 triliun THR yang didistribusikan ke masyarakat dan digunakan untuk konsumsi secara berulang dapat meningkatkan PDB hingga sepuluh kali lipat dari dana yang disuntikkan (1 triliun) dengan asumsi MPC 0.9. Perhitungan ini juga membuktikan bahwa THR merupakan langkah negara dalam meningkatkan PDB.
DAFTAR PUSTAKA
Akerlof, G. A., & Shiller, R. J. (2009). Animal Spirits: How Human Psychology Drives the Economy, and Why It Matters for Global Capitalism. Princeton University Press. https://www.jstor.org/stable/j.ctv36mk90z
Badan Pusat Statistik. (2024). Perkembangan Indeks harga konsumen Februari 2024. https://www.bps.go.id
DetikFinance. (2025, 27 Maret). Kemnaker Terima 1.725 Aduan Pencairan THR, Pengusaha Nakal Bisa Didenda. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis
Fisher, I. (1911). The Purchasing Power of Money.
Habibi, Y. (2020). Analisis Pengaruh Inflasi, Bagi Hasil, Produk Domestik Bruto, Jumlah Kantor Terhadap Deposito Bank Syariah Mandiri Periode 2013-2018. Universitas Raden Intan. https://repository.radenintan.ac.id/10782/1/pusat.pdf
Huzaemah, M. (2015). Pengaruh inflasi terhadap konsumsi masyarakat berdasarkan teori Keynes. Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar. https://repositori.uin-alauddin.ac.id/2870/1/munawwarah%20huzaemah.pdf
Jatengprov.go.id. (2025, 17 Maret). Di Depan Gubernur, Pekerja Ini Senang Perusahaannya Taat Bayar THR. https://jatengprov.go.id/publik
Kompas.com. (2025, 31 Maret). Kemnaker Catat 2.295 Pengaduan THR Karyawan. https://money.kompas.com
Mankiw, N. G. (2020). Principles of Economics (8th ed.).
Marketeers. (2024, March 28). Riset Jenius Ungkap Pergeseran Alokasi THR, 52% Digunakan untuk Belanja. www.marketeers.com. https://www.marketeers.com/riset-jenius-ungkap-pergeseran-alokasi-thr-52-digunakan-untuk-belanja/
Nugroho, M. B., Irfani, M., & Aliyani, R. (2023). Kajian literature: Pengaruh Hari Besar Islam terhadap ekonomi syariah. Journal Islamic Education, 1(4), 764–768. https://maryamsejahtera.com/index.php/Education/article/view/853/750
Purwanto, A. (2024, 20 Maret). Menakar efek THR bagi perekonomian nasional. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/riset/2024/03/20/menakar-efek-thr-terhadap-perekonomian-nasional