Panama Papers merupakan julukan untuk sebuah dokumen rahasia milik suatu perusahaan jasa yang beroperasi di Panama bernama Mossac Fonseca. Dirintis oleh Jürgen Mossack dan Ramón Fonseca pada tahun 1977, perusahaan ini merupakan entitas yang legal karena sudah memiliki sertifikat sebagai badan hukum. Mossac Fonseca menyediakan jasa pelayanan bagi perusahaan lain meliputi pembentukan, pengelolaan, hingga manajemen aset. Panama Papers berisi nama-nama klien yang bekerja sama dengan perusahaan tersebut. Ada sebanyak 11,5 juta dokumen didalamnya yang berupa dokumen digital, foto, serta surat-surat perjanjian dan transaksi usaha.
Dokumen Panama menyimpan rahasia penghindaran pajak terbesar keempat di dunia, setelah Swiss, Hong Kong, serta Amerika Serikat. Dokumen ini memuat sebuah jaringan usaha yang sangat besar nilai materialnya. Penghindaran pajak yang dilakukan didasarkan pada keprihatinan terhadap tingginya beban pajak yang dibebankan pada para pengusaha. Namun pada praktiknya, terdapat penyelewengan etika usaha yang sudah melampaui batas. Hal ini terjadi karena Perusahaan Mossac Fonseca melakukan usaha yang sedemikian rupa untuk menutupi kewajiban pajak dan arus keuangan dari para kliennya yang berada di berbagai belahan dunia. Lebih dari itu, Panama Papers ini juga berpotensi menjadi bentuk penyelewengan politik uang untuk mendongkrak kekuasaan politik sebagian pihak. Pasalnya dalam dokumen tersebut terdapat nama pimpinan lima negara. Diantaranya masuk sebagai lima negara terkaya di Timur Tengah, yakni Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Islandia sedangkan sisanya adalah nama pemimpin negara Argentina dan Ukraina. Selain lima nama pemimpin negara tersebut ada pula pejabat negara dan kepala pemerintahan lain beserta kerabat dekat mereka yang tersebar di kurang lebih 40 negara berbeda. Tercantum setidaknya lebih dari 140 nama badan luar negeri di dalam Panama Papers tersebut.
Panama Papers dan dokumen-dokumen serupa lain membuka rahasia mengenai penyimpangnan etika yang terjadi. Hal tersebut jelas karena pada praktiknya perusahaan-perusahaan penyedia jasa seperti Mossac Fonseca justru menjadi surga bagi para pengusaha dari luar daerahnya yang mana terdampak pajak tinggi . Mossac Fonseca yang berbasis di Panama menerapkan sebuah “kebijakan” bernama tax havens melalui kerjasama dengan lembaga keuangan yang besar serta memiliki kekuatan yang mendominasi. Perusahaan tersebut membangun kompleksitas jaringan yang menyebabkan alur transaksinya sulit dilacak oleh para kolektor pajak dari satu tempat ke tempat lainnya di berbagai belahan dunia. Posisi Panama sebagai tax havens ini selanjutnya akan berpotensi menyebabkan negara lain merugi. Secara lebih lanjut, tax heaven atau yang sering dijuluki tax havens merupakan sistem penerapan pajak yang sangat rendah pada sebuah negara. Negara yang menggunakan sistem ini akan memberikan proteksi pajak bagi warga negaranya berikut dengan seluruh investasi yang ada di negara tersebut. Tax havens merupakan suatu negara yang dapat dijadikan surga bagi para investor yang menginginkan laba maksimal dalam investasinya karena negara tersebut menerapkan pungutan pajak yang sangat rendah atau bahkan 0%. Namun, perlu digarisbawahi bahwa tidak semua penerapan tarif pajak yang rendah merupakan tax havens , bisa jadi pajak yang rendah tersebut merupakan konsekuensi atas negosiasi antar negara.
Dalam sejarahnya, tax havens muncul akibat adanya peningkatan pajak di berbagai lini secara signifikan pasca terjadinya Perang Dunia I. Dampak yang dirasakan pasca Perang Dunia I merambat pada penurunan ekonomi di sebagian besar negara pada berbagai belahan dunia. Kelesuan ekonomi ini mendorong pemerintah masing-masing negara untuk mendapatkan suntikan dana yang cepat melalui penerapan pajak yang tinggi. Kemudian, istilah tax havens muncul dan pertama kali digunakan oleh majalah The Times 17 Mei 1894 karena pada saat itu banyak warga Inggris memindahkan kekayaannya untuk menghindari pajak (Suryowati, 2016). Swiss menjadi negara yang mempelopori lahirnya tax havens ini, dimulai dari Kota Zurich, Geneva, dan Basel sebagai pusat penghindaran pajak yang legal. Hal ini sebagai konsepsi etis mengingat adanya hak-hak warga negara yang harus dilindungi dari kepentingan pemerintah untuk mengembalikan kekuatan perekonomian mereka secara masif.
Pada masa kini, keberadaan tax havens tak dapat dipungkiri akan “melicinkan” niat Multi-National Enterprise s yang ingin melakukan strategi penghindaran pajak. Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) merupakan salah satu strategi tax planning untuk menghindari pajak dengan cara menyembunyikan atau mengalihkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak yang lebih kecil atau bahkan ke negara yang bebas pajak (OECD, 2013). Strategi tersebut dapat dilakukan dengan memanfaatkan celah-celah yang ada dalam peraturan perpajakan. Celah yang dimaksud dapat timbul karena peraturan perpajakan tidak berkembang secepat perkembangan globalisasi dan teknologi informasi. Alhasil, para pelaku pengemplang pajak akan memilih jalan pintas dengan memanfaatkan negara-negara tax havens sebagai tempat untuk mengalihkan hartanya.
BEPS akan sangat merugikan apabila perusahaan-perusahaan multinasional yang seharusnya berkontribusi besar atas pemasukan pajak suatu negara dibiarkan begitu saja menyembunyikan hartanya hingga terbebas dari kewajiban membayar pajak. Selain itu, BEPS menimbulkan ketidakadilan serta persaingan tidak sehat dalam perekonomian dunia yang juga akan mengancam kestabilan keuangan global. Oleh karena itu, muncul berbagai upaya dalam melawan BEPS tersebut, salah satunya yaitu dengan “ BEPS Action Plan ” yang telah dirumuskan oleh The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Terdapat 15 rencana aksi yang dapat membantu pemerintah suatu negara dalam merumuskan kebijakan yang sesuai untuk mengatasi masalah BEPS. Ke-15 rencana aksi tersebut juga sekaligus akan meningkatkan koherensi kebijakan antar negara dalam perpajakan internasional. Salah satu dari rencana aksi tersebut berbunyi “ require taxpayers to disclose their aggressive tax planning arrangements ”. Aggressive tax planning merupakan upaya penghindaran pajak yang tidak diperkenankan. Salah satu contohnya adalah memindahkan subjek dan/atau objek pajak ke negara-negara tax havens semata-mata untuk penghindaran pajak, bukan untuk tujuan bisnis. Dalam rencana aksi tersebut, pemerintah suatu negara harus berupaya untuk memperoleh informasi mengenai perencanaan pajak sedini mungkin agar dapat mendeteksi adanya skema aggressive tax planning . Cara yang dapat dilakukan yaitu antara lain dengan aturan kewajiban pengungkapan tax planning sebelum atau bersamaan penyampaian SPT. Dengan itu, negara akan dapat mengidentifikasi resiko serta resolusi atas skema tersebut sehingga akan mengecil kemungkinan bagi para pelaku pengemplang pajak untuk menyembunyikan hartanya di negara tax havens .
Ditemukannya Panama Papers menjadi bukti masih sangat diperlukannya upaya untuk mengatasi BEPS maupun strategi penghindaran pajak lainnya. Kebijakan masing-masing negara mutlak perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan kondisi yang ada sekarang, yaitu dengan memperhatikan globalisasi dan perkembangan teknologi informasi serta menjaga koherensi-nya dengan kebijakan multilateral seperti BEPS Action Plan . Antar negara pun dibutuhkan kerjasama yaitu untuk saling membuka informasi yang berguna dalam mengungkap berbagai kasus yang mungkin saja masih tersembunyi. Sehingga, ke depan diharapkan Panama Papers lainnya akan segera terungkap dan mampu membersihkan dunia perpajakan dari kecurangan.
Sumber:
Suryowati, Estu. 2016. Mengenal “Tax Haven” atau Suaka Pajak, dan Fakta Mencengangkan di Baliknya .https://ekonomi.kompas.com/read/2016/04/11/060300926/Mengenal.Tax.Haven .atau.Suaka.Pajak.dan.Fakta.Mencengangkan.di.Baliknya. Diakses 20 Mei 2018.
OECD. 2013. Addressing Base Erosion and Profit Shifting . OECD Publishing, Paris. https://simpan.ugm.ac.id/s/hZUcwCjHuUYIwy6. Diakses 20 Mei 2018. Darussalam dan Ganda C Tobing. 2014. Rencana Aksi Base Erosion Profit Shifting dan Dampaknya terhadap peraturan pajak di Indonesia . https://workingpaper.ddtc.co.id/wp-0714/mobile/index.html#p=18. Diakses 20 Mei 2018.
Darussalam, dan Danny Septriadi. 2009. Tax Avoidance, Tax Planning, Tax Evasion, dan Anti Avoidance Rule. http://www.ortax.org/ortax/?mod=issue&page=show&id=36&q=&hlm=1. Diakses 20 Mei 2018