FIFA 2018, AFF Championship 2018, hingga Asian Games 2018 berhasil membuat sepak bola menjadi salah satu olahraga yang menarik untuk diikuti bagi berbagai kalangan. Akan tetapi, lebih dari sekedar hiburan, industri ini telah disulap menjadi sebuah alat penghasil uang. Hingga saat ini, sepak bola menjadi sebuah olahraga yang paling menguntungkan. Harjai, (2018), mengungkapkan dalam Economicswire, bahwa sepak bola telah menguasai setidaknya 36,7% pendapatan dari industri olahraga.
Layaknya sebuah entitas bisnis pada umumnya, sebuah club membutuhkan sumber daya manusia untuk beroperasi. Dalam konteks sepak bola, club membutuhkan pemain. Transfer pemain antara satu club ke club lain merupakan hal yang lumrah terjadi. Proses pembelian pemain pun terjadi pada suatu bursa. Pada saat pembelian pemain, club tentunya mengorbankan sejumlah sumber daya ekonomi untuk memperolehnya—umumnya kas. Club yang melakukan pembelian tentunya akan mengurangi kas yang dimiliki perusahaan. Yang menjadi topik untuk digarisbawahi adalah pemain yang dibeli dengan menggunakan aset club terkait. Hal ini menimbulkan sebuah pertanyaan, apakah bisa sebuah club mencatat nilai suatu pemain bola sebagai aset atau hanya mengakuinya sebagai expired cost, atau memperlakukannya sebagai off-balance sheet?Apakah melakukan pencatatan terhadap nilai pemain bola dapat memastikan bahwa laporan keuangan telah disajikan secara benar dan wajar (true and fair)?
Membebankan masing-masing pemain sebagai biaya (expired cost) memang sejalan dengan prudence concept—Pada Conceptual Framework tahun 2010 (IASB, 2010), konsep ini menjelaskan diperlukannya kehati-hatian dalam melakukan estimasi terhadap penilaian/pengukuran/pengakuan saat menghadapi kondisi ketidakpastian agar aset atau pendapatan tidak overstated dan liabilitas ataupun biaya tidak understated. Akan tetapi, membebankan seluruh pembelian pemain bola sebagai biaya juga tidak dapat dibenarkan. Pasalnya, sejak tahun 2010, prudence concept sudah dihapus dari Conceptual Framework oleh International Accounting Standard Boards (IASB)—walaupun pada Conceptual Framework tahun 2018, IASB kembali memperjelas peran prudence concept dalam IFRS. Selain itu, pencatatannya sebagai biaya akan merusak matching principle, karena manfaat yang diterima tidak dapat diterima langsung pada periode diakuinya biaya—ini juga berkaitan dengan effort and accomplishment. Hal ini disebabkan kontrak pemain sepak bola yang berjangka lebih dari satu tahun (satu periode fiskal), sehingga biaya yang diakui pada saat membeli pemain tidak dapat langsung disandingkan dengan manfaat yang seharusnya dapat diterima dalam masa kontraknya—kecuali kontrak pemain dilakukan dalam satu periode fiskal saja.
Pencatatan sumber daya manusia dengan nilai yang sama tentunya tidak memberikan gambaran yang jelas kepada pengguna laporan keuangan, mengenai berapa aset yang dimiliki perusahaan terkait. Dalam sebuah klub sepak bola, masing-masing pemain memiliki kapabilitas yang berbeda. Misal, apakah nilai seorang Christiano Ronaldo dapat disamakan dengan Gianluigi Buffon? Tidak bukan, keduanya bahkan memiliki peran yang berbeda di dalam lapangan. Christiano Ronaldo berada pada posisi centre forward dan berperan sebagai striker. Di sisi lain, Gianluigi Buffon berbanding terbalik dengan Ronaldo, Ia berperan sebagai goalkeeper. Keduanya memiliki expertise yang berbeda, sehingga tidak dapat dinilai dan dicatat pada laporan keuangan dengan cost yang sama.
Karenanya, semenjak IAS 38 keluar—mengenai intangible assets—pemain sepak bola akhirnya ditetapkan harus di-capitalized (Oprean and Oprisor, 2014). Akan tetapi, bukan sebagai tangible assets, melainkan sebagai intangible assets dan objek yang dicatat pada laporan keuangan bukanlah pemainnya secara langsung, melainkan kontrak pemain .Namun, yang perlu diperhatikan kembali dalam industri sepak bola adalah banyaknya jenis pemain sepak bola (football players). Masing-masing dari jenis pemain bola tersebut memiliki metode pengukuran yang berbeda. Berdasarkan Opreon dan Oprisor (2014) ada tiga cara pengakuisisian pemain bola, antara lain:
- Menetapkan kontrak dengan melakukan transfer pemain
- Melakukan kontrak dengan pemain yang ditetapkan sebagai free agent
- Pemain muda yang baru memasuki regu sepakbola dari akademi sepak bola, disebut sebagai youth players.
Perlu ditekankan, bahwa ketiga jenis pemain tersebut diasumsikan akan memberikan manfaat ekonomi (generate economic benefits) kepada klub. Asumsi ini bertujuan agar masing-masing dari jenis pemain memenuhi karakteristik dari aset. Berdasarkan Conceptual Framework for Financial Reporting 2018, diungkapkan setidaknya ada tiga karakteristik dari sebuah aset, (1) sumber daya yang dikendalikan atau dikuasai oleh entitas tertentu, (2) merupakan hasil dari kejadian di masa lampau (berupa transaksi), (3) Pemanfaatannya diperkirakan akan memberikan manfaat ekonomi di masa mendatang kepada entitas. Oleh karena itu, asumsi nomor tiga ditekankan pada masing-masing jenis pemain.
Penilaian transfer players relatif lebih mudah dibandingkan dua jenis pemain lainnya. Klub yang membayar sejumlah uang untuk membeli licensed—agar memperoleh hak menggunakan—pemain bola yang bersangkutan, mencatat sebesar transfer fee. Penilaian berdasarkan transfer fee dapat dibenarkan untuk transfer player karena memang ada pasar yang aktif dalam memperjualbelikan pemain. Untuk menerapkan matching principle, kontrak tersebut yang diperlakukan sebagai intangible assets diamortisasi dengan metode garis lurus—umumnya selama 5 tahun. Cost dari pemain juga dapat diturunkan (impairment) apabila diperkirakan kinerja dari pemain turun karena hal-hal yang tidak dapat diduga (unpredictable), seperti konflik, cedera, dan lain-lain.
Permasalahan kemudian muncul apabila kontrak dari player telah habis dan klub yang terkait tidak lagi menawarkan kontrak dengan nilai dan klausa yang sama, maka player dikategorikan sebagai free agent. Saat memperoleh status sebagai free agent, maka seorang player dapat menegosiasikan kontraknya dengan klub yang tertarik dengan dirinya secara langsung. Karena dalam negosiasi dan pembelian kontraknya tidak ada transfer fee, maka seorang free agent umumnya meminta gaji yang lebih tinggi (Oprean and Oprisor, 2014). Hal ini kemudian mempersulit proses pengukuran (measurement) player berjenis free agent. Mencoba melakukan kapitalisasi terhadap cost dari kontrak tidak dapat dijustifikasi, disebabkan total cost dari pemain tersebut bukan berasal dari pasar yang aktif—ingat, pembelian free agent dilakukan secara langsung antara player dengan club terkait, tanpa perantara dari bursa pemain.
Jenis pemain yang terakhir adalah, pemain muda. Jenis pemain ini tidak dapat dilaporkan sebagai intangible assets. Oprean and Oprisor (2014) mengungkapkan, ada syarat yang tidak dipenuhi oleh jenis pemain ini yang tidak sesuai dengan IAS38—mengenai intangible assets. Salah satunya adalah, entitas—dalam konteks ini adalah club—tidak memiliki kendali terhadap pemain muda. Setiap pemain muda dapat dikontrak dalam jangka waktu paling lama tiga tahun setelah cukup umur ke dalam club, tetapi tidak ada kewajiban yang mengikat untuk menerima kontrak tersebut. Selain itu, pemain muda kurang diyakini dapat menghasilkan manfaat ekonomik di masa mendatang. Karena nyatanya, aktivitas di akademik pelatihan justru lebih menghabiskan sumber ekonomi club. Oleh karena itu, umumnya, pemain yang dikembangkan sendiri oleh klub tidak dikapitalisasi. Lozano and Gallego (2011), mengungkapkan bahwa salah satu pemain profesional dunia, Leonel Messi, tidak memiliki nilai pada laporan keuangan. Dengan kata lain, tidak dikapitalisasi pada laporan keuangan pada saat dia menjadi pemain sepak bola.
Beberapa alternatif metode untuk melakukan valuasi terhadap dua jenis pemain bola lainnya—youth player dan free agent—juga sudah dikemukakan pada bebearpa literatur. Oprean dan Opresor, (2014), mengungkapkan bahwa teori Jan Erik Grojer dan Eric Flamholtz dapat mengatasi masalah tersebut. Grojer mengatasi masalah penilaian dengan melakukan kapitalisasi terhadap gaji yang diterima. Dengan teori grojer, penilai harus mengestimasi gaji dari pemain tersebut selama masa kontrak kemudian mencari present value dari gaji tersebut. Di sisi lain, Flamholtz menyatakan expenditure dari club yang dapat dikapitalisasi adalah recruitment cost, seperti kos pelatihan, gaji, hingga, kos untuk menyediakan fasilitas bagi pemain.
Kedua metode penilaian tersebut pun masih memiliki beberapa defisiensi. Misalnya, pengestimasian gaji dari pemain di masa mendatang akan cukup sulit bagi pemain bola. Lawrence Technological University, (2017), mengungkapkan ada sekitar 55 atribut untuk menentukan gaji yang diperoleh dari pemain bola. Salah satu dari atribut tersebut yang paling krusial adalah performance—sesuatu yang sulit untuk diprediksi. Bagaimana jika saat kontrak berjalan, pemain yang bersangkutan memiliki kondisi kinerja yang buruk dan kemudian gajinya turun atau sebaliknya. Jika pengestimasian gaji dilakukan secara rata-rata kemudian mencari present value-nya tentu akan melukai prudence concept. Nilai dari pemain bola akan cenderung overstated atau understated. Pada teori Flamholtz, sebagai mana yang dikemukakan Oprean and Opresor, (2014), bahwa recruitment cost cenderung bersifat umum. Kos yang timbul untuk menyediakan fasilitas kepada pemain, kos pelatihan cenderung bersifat umum pada seluruh anggota dalam akademi. Melakukan kapitalisasi terhadap hal tersebut tentunya tidak memberikan nilai yang reliable.
Namun, hingga saat ini, Penulis memiliki keraguan dengan konsep ini, yaitu perlakuan kapitalisasi terhadap pemain bola. Jika kita coba menilik dengan memulai dari makna aset sebenernya, dalam Agenda Paper 10B yang dikeluarkan IAS diungkapkan bahwa ada defisiensi dari definisi aset. Seharusnya, kata “expected” diganti dengan kata “potential to produce.” Artinya, sebuah aset harus dapat dipastikan memiliki potensi untuk menghasilkan manfaat ekonomik (di masa yang akan datang). Jika mengajuk pada Amerika, Financial Accounting Standar Boards (FASB) mengeluarkan Statement of Financial Accounting Concept (SFAC) 6. Dalam SFAC 6, diungkapkan, salah satu karakteristik aset adalah, “probable future economic benefit.” Dimana kata “probable” disamakan dengan sebuah kondisi bahwa manfaat ekonomik tersebut, “more likely than not to occur” (Kieso, 2014). Hal ini yang menjadi dasar kenapa Penulis berargumen bahwa pemain bola tidak dapat diidentifikasi sebagai aset, baik itu intangible asset maupun tangible asset. Pemain bola tidak dapat dipastikan (probable) menghasilkan manfaat ekonomik masa mendatang. Pertandingan sepak bola terlalu dinamis dan sulit untuk diprediksi. Jika demikian, bagaimana kita dapat menerapkan matching principle? Dengan amortisasi? Menurut Penulis kurang menggambarkan effort and accomplishment dan justru melukai matching principle itu sendiri. Pencatatannya sebagai aset akan melukai prudence concept.
Oleh karena itu, Penulis lebih setuju apabila pemain bola dicatat pada catatan atas laporan keuangan (CALK). Hal ini lebih dapat diterima, dikarenakan, menurut Penulis, pemain bola lebih tepat disebut sebagai contingent asset—sebuah aset yang tidak pasti dalam hal waktu maupun jumlah manfaat ekonomiknya, sehingga tidak diakui pada laporan keuangan, tetapi pada CALK (Kieso, 2014). Sebagaimana argumen sebelumnya, bahwa pemain bola tidak dapat memberikan kepastian yang cukup memadai akan memberikan manfaat ekonomik kepada entitas yang menguasainya. Dengan kata lain, tidak memiliki potential to produce untuk menghasilkan manfaat ekonomik di masa yang akan datang, sehingga hanya bisa dicatat pada CALK, bukan laporan keuangan.
Terlepas dari berbagai macam paradigma dalam hal perlakuan akuntansi terhadap pemain bola, kita hanya dapat menyampaikan pemikiran terhadap masalah tersebut. Mengkritisi menjadi hal yang fundamental bagi kita (mahasiswa). Sebagaimana yang diungkapkan Suwardjono, (2003), proses belajar sejatinya merupakan kegiatan mandiri yang sudah terstruktur dan kuliah merupakan kegiatan untuk penguatan (reinforcement) pemahaman mahasiswa. Oleh karena itu, penulis harapkan, tulisan ini dapat menjadi ajang konfirmasi atau penguatan pemahaman Penulis—baik oleh dosen, maupun sesama mahasiswa.
Reference:
Deloitte. Conceptual Framework-Agenda Paper 10B. Deloitte, 2016.
Financial Accounting Standard Boards. Statement of Financial Accounting Concept No.6. Connecticut: FASB, 1985.
Gallego, Lozano and. “Journal of Management Control.” Deficits of accounting in the valuation of rights to exploit the performance of professional players in football clubs. A case study, 2011.
Goshunova, Kulikova and. “Mediterranean Journal of Social Sciences.” Human Capital Accounting in Professional Sport: Evidence from Youth Professional Football, 2014: 4.
Harjai, Nouriel. The World’s Most Lucrative Sports. January 7, 2018. https://www.economicswire.net/the-worlds-most-lucrative-sports.html (accessed August 18, 2018).
International Accounting Standard Boards. Conceptual Framework for Financial Reporting. March 2018. https://www.ifrs.org/issued-standards/list-of-standards/conceptual-framework/ (accessed August 16, 2018).
Johan, Martin Bengstoon and Wallstrom. “Accounting and disclosure of football player registrations: Do they present a true and fair view of the financial statements?” 2014: 18.
Kieso, Donald E., dkk. Intermediate Accounting: IFRS Edition. Hoboken: Wiley, 2014.
Lawrence Technological University. Are the world’s highest paid football players overpaid? Big data says yes. July 31, 2017. https://www.sciencedaily.com/releases/2017/07/170731095413.htm (accessed August 16, 2018).
Lindholm, Cecilia. “Accounting in Football.” A Study on the Human resource accounting of football players in Alsvenskan, 2016: 39.
Oprean, Victor-Bogdan and Tudor Oprisor. “Emerging Markets Queries in Finance and Business.” Accounting for soccer players: capitalization paradigm vs expenditure, 2014: 4-6.
Suwardjono. Revolusi Paradigma Pembelajaran Perguruan Tinggi: Dari Penguliahan ke Pembelajaran, 2003: 7.