Bayangkan anda adalah seorang Akuntan dalam sebuah korporasi besar. Suatu ketika, Anda dihadapkan pada suatu fakta bahwa korporasi tempat Anda bekerja tersebut melakukan pencucian uang sebesar 1 Triliun Rupiah. Apakah yang akan Anda lakukan? Diam demi keselamatan keluarga Anda atau melaporkannya demi kebenaran & integritas?
Ketika kita dihadapkan pada hal demikian, timbul suatu dilema etika dalam benak kita. Di satu sisi, kita dituntut untuk bertindak sesuai norma, aturan, atau hukum yang ada. Di sisi lain, kejujuran ternyata membahayakan nyawa bahkan orang-orang terdekat kita. Orang yang mampu untuk membeberkan suatu tindak kejahatan/ilegal/tidak etis dalam suatu organisasi kepada suatu otoritas atau publik disebut dengan istilah “Whistleblower”.
Whistleblower bisa berasal dari pekerja dalam organisasi tersebut, supplier, klien, atau individu lainnya yang mengetahui informasi tentang kecurangan tersebut. Dengan perannya yang krusial ini, pihak-pihak yang merasa dirugikan akan berusaha untuk membungkam para whistleblower. Biasanya, dengan pesan-pesan bernada mengancam, tuntutan, hingga yang sangat ekstrim yakni pembunuhan.
Tentunya terdapat alasan yang menyebabkan seseorang merasa terancam ketika menjadi seorang “peniup-peluit”. Alasan-alasan tersebut menjadi dilema tersendiri bagi para Whistleblower di dalam melakukan pengungkapan terhadap praktik kecurangan yang dilakukan perusahaan. Beberapa alasan tersebut meliputi (Luke, 2017):
1.) Adanya ketidaksetujuan perusahaan terhadap praktik Whistle-Blowing. Menurut penelitian yang dilakukan oleh John P. Keenan dinyatakan bahwa karyawan tingkat bawah memiliki empati lebih besar terhadap kegiatan Whistle-blowing. Dalam hal ini, perusahaan berpikir bahwa hal tersebut akan merusak struktur yang telah diterapkan. Karyawan tingkat bawah seharusnya tidak ikut serta dalam kegiatan yang dilakukan oleh manajemen tingkat atas.
2.) Adanya ketidaksetujuan dari rekan kerja. Rekan kerja menjadi salah satu faktor dilema seorang Whistleblower. Mereka akan berpikir bahwa seorang Whistleblower merupakan pengkhianat dan hanya sekedar mencari keuntungan dari kegiatan yang dilakukan dalam mengungkap kecurangan.
3.) Pengaruh kepada karyawan secara personal. Luke menjabarkan bahwa ketika seseorang merasa tidak terlibat dan tidak terseret ke dalam kesalahan yang dibuat oleh perusahaan, maka karyawan tersebut akan menjaga reputasi perusahaan dengan baik. Begitu sebaliknya.
4.) Kesetiaan terhadap perusahan dimana ia bekerja. Ketika seorang karyawan merasa dirinya dianggap sebagai bagian yang penting oleh perusahaan, karyawan tersebut cenderung menjaga reputasi perusahaan agar tetap terjaga dengan baik.
5.) Tidak adanya bukti yang cukup memadai. Alasan ini menjadikan seorang Whistleblower merasa takut untuk muncul ke permukaan. Hal tersebut juga menghindari adanya tuduhan yang salah kepada orang – orang yang melakukan kecurangan.
Salah satu kasus yakni terkait seorang Auditor muda Bumiputera Malaysia Finance (BMF) yang terbunuh di Hongkong pada tahun 1983. BMF adalah bank terbesar kedua di Asia Tenggara. BMF mempunyai 3 peminjam utama di Hongkong. Salah satunya adalah Carrian Investment Limited (CIL). CIL yang merupakan sebuah perusahaan milik George Tan yang pada tahun 1981 hanyalah perusahaan berskala kecil mendadak menjadi salah satu perusahaan terbesar di Hongkong. Pada 1982, CIL mengalami masalah likuiditas. Jalil Ibrahim, selaku auditor, diminta untuk menilai aset CIL. Ternyata, ia menemukan indikasi adanya mark-up nilai aset sebesar 20 juta USD. Oleh karena itu, ia segera memberi tahu BMF tentang hasil pemeriksaannya dan memaksa BMF untuk membatalkan perjanjian pinjaman tersebut. Ia selaku penanggungjawab perjanjian hutang tidak meluluskan pinjaman yang diajukan oleh CIL. Namun, beberapa hari setelahnya, Jalil Ibrahim ditemukan terbunuh dan mayatnya dibuang di sebuah ladang pisang. Pada hari yang sama, pinjaman dikeluarkan untuk CIL.
Kala itu, Jalil Ibrahim tentunya dihadapkan pada suatu dilema etik. Di satu sisi, ia merasa ada ancaman terhadap dirinya. Sehari sebelum kematiannya, ia menulis surat yang ditujukan kepada istrinya. Di dalam surat tersebut, ia menceritakan kecemasan yang ia hadapi. Di sisi lain, ia merasa bahwa keputusan untuk membongkar adanya praktik kejahatan finansial di tubuh CIL harus dilakukan. Integritas inilah yang memang seharusnya dimiliki oleh setiap Akuntan di dunia.
Menilik dari Kode Etik Akuntan yang disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Jalil dihadapkan dengan ancaman intimidasi (intimidation threat), yakni ancaman yang terjadi ketika Akuntan Profesional dihalangi untuk bertindak secara objektif karena tekanan yang nyata atau dirasakan, termasuk upaya memengaruhi Akuntan Profesional secara tidak sepantasnya. Ancaman ini dapat menggoyahkan integritas seseorang dimana menyebabkan apa yang kita sebut diawal sebagai dilema etik.
Menurut Arens dan Loebecke (2008) dilema etika adalah: “Situasi yang dihadapi seseorang dimana keputusan mengenai perilaku yang pantas harus dibuat”. Intinya adalah dalam kehidupan sehari-hari seseorang selalu dihadapkan pada peperangan batin, antara melakukan sesuatu yang benar namun mengancam atau melakukan sesuatu yang tidak benar walaupun ia mengetahui yang sebenarnya. Analoginya seperti ketika seseorang menemukan sebuah cincin berlian di tengah jalan lalu ia dihadapkan pada suatu dilema apakah dia harus mengembalikan kepada pemiliknya atau mengambil cincin tersebut.
Menurut Kode Etik Akuntan, ketika seorang Akuntan meyakini adanya informasi keuangan yang mengandung kesalahan material atau pernyataan yang menyesatkan, ada tuntutan untuk mengambil tindakan dengan pertimbangan langkah-langkah yang sesuai dengan Prinsip Dasar Akuntansi dan akibat yang ditimbulkannya. Jika permasalahan tetap tidak dapat diselesaikan, Akuntan Profesional juga dapat berkonsultasi dengan orang yang tepat di Kantor Akuntan atau organisasi tempatnya bekerja, meminta saran profesional dari IAI secara anonim, atau dengan penasehat hukum tanpa melanggar prinsip kerahasiaan dibawah perlindungan hak istimewa (privilege) dalam hukum.
Perlindungan untuk Akuntan yang ingin mengungkap praktik kejahatan finansial atau memutuskan untuk menjadi Whistleblower sebenarnya sudah terkandung dalam perundang-undangan Indonesia, pada UU Ketenagakerjaan No 13 tahun 2006 yang berisi bahwa seorang pekerja boleh mengajukan surat pengunduran diri atas dasar penyuapan yang dilakukan orang yang mempekerjakannya. Pekerja tersebut harus diberikan hadiah/kompensasi atas jasanya sebagai Whistleblower.
Jadi, berdasarkan penjelasan tersebut apakah kamu akan tergerak menjadi seorang Whistleblower yang berkorban dan dapat diandalkan? Atau hanya menggigit jari dan membiarkan virus kejahatan menyebar di seluruh dunia?
REFERENSI :
citvasia.com. (n.d.). The Banker Who Knew Too Much. Diakses 8 April 2018 dari http://www.citvasia.com/shows/banker-who-knew-too-much
Elder Randal J, Mark S Beasley, Alvin A. Arens, Amir Abadi Jusuf. Auditing and Assurance Service: an Integrated Aproach An Indonesian Adaption. Edisi 12. New Jersey. Prentice Hall/Pearson Education. 2009
Ikatan Akuntan Indonesia. (2016). Kode Etik Akuntan Profesional. Diakses 16 Maret 2018,dari http://iaiglobal.or.id/v03/files/file_berita/Kode%20Etik%20Akuntan%20Profesional.p df
Luke, M. (2017). Five Ethical Dilemmas Faced by Employees in Whistle-Blowing. [online] Bizfluent. Available at: https://bizfluent.com/info-8546932-five-dilemmas-faced-employees-whistleblowing.h tml [Diakses 10 Maret 2018].